OLEH: LIA AYU KUSUMANINGRUM
Seperti
hari-hari sebelumnya, sang anak berada di atas tikar dengan kain sarung
menyelimutinya. Ia tersenyum menyambut sang ayah. Namun sang ayah datang
seperti biasa. Ditangannya hanya tergantung sebungkus nasi. Seketika, senyuman
itu tidak bertahan lama. “Dimana televisinya ayah?”
“Makanlah nasi
ini dulu.”
Mendengar
perkataan ayahnya ia segera bangkit dan melahap nasinya hingggga habis, tanpa
disuapi ayahnya.
“Dimana
televisinya ayah?”
Dengan senyuman
bangga sang ayah berkata, “minumlah obatmu dulu.”
Sekali lagi, ia
menuruti permintaan ayahnya. Diminumnya obat itu segera. Lagi-lagi ia
mengucapkan pertanyaan yang sama, “Dimana televisinya ayah?”
“Tidurlah, itu
akan siap besok pagi.”
Mendengar ucapan
ayahnya kali ini, ia menjadi murka. Bukan melakukan hal yang diminta ayahnya
itu, ia justru berlari keluar dan memuntahkan seisi perutnya. Ia tidak mual. Ia
hanya memaksa diri untuk membuat ayahnya khawatir.
Ayahnya dengan
menangis menyesal ia berkata, “Cukup nak. Baiklah, kau akan melihatnya malam
ini juga.”
“Harus malam
ini. Aku tidak bisa besok pagi, ayah.” Rengeknya dengan tangisan tersedu-sedu.
“Iya, ayah
berjanji.”
Mendengar
perkataan ayahnya, kali ini ia luluh. Badannya lemas sekestika. Meski sakit, ia
belum pernah menangis. Sang anakpun dibaringkan kembali ke tikarnya. Dan ayah mengambil
televisi yang dititipkannya pada rumah tetangga.
“Tidak jadikah
kau memberinya kejutan dengan memasangnya saat ia tidur?”
“Kurasa tidak.
Ia sudah tidak sabar.”
Usai itu,
akhirnya ia mempersiapkan televisi dengan antenanya. Antena pendeknya membuat
sinyal yang didapatpun minimal. Namun apa daya, hanya itulah yang sanggup
terlaksanakan saat ini.
Ditekan-tekan
tombol televisi untuk mengaturnya. Sang anak dengan penuh semangat terus
mengamati ayahnya yang kebingungan.
Hari semakin
malam. Dan televisipun siap dipertontonkan. Hanya beberapa stasiun televisi
yang dapat tampil, itupun agak pudar. Namun sang ayah masih saja mencari-cari
acara televisi yang cocok untuk putra kecilnya, kartun mungkin. “Sudah ayah.
Seadanya dulu saja.”
“Yang mana?”
“Terserah ayah.” www.arliasworld.blogspot.com
Dipilihnya
stasiun televisi yang paling jernih dibanding lainnya. Meski semut masih saja
mendominasi layar televisi. Sebuah acara berita.
Sang anak dengan
terkagum-kagum menatap gambar yang bergerak dalam kotak. Inilah kali pertama ia
menonton televisi bersama ayahnya. Sebelumnya ia hanya mampu mengintip televisi
milik tetangga dari luar jendela. Entah apa yang membuat para tetangga itu
seakan risi untuk mempersilakannya masuk. Hanya ada satu keluarga yang cukup
baik padanya, dan mereka jarang sekali berada di rumah. Membuat rumah mereka
sepi tanpa ada sorot layar televisi. Dan listrik untuk satu bohlam itu
merupakan bayaran untuk ayahnya yang mengawasi rumah mereka.
“Mereka sedang
apa ayah?” Tanya sang anak tanpa memalingkan pandangannya.
“Sedang berdemo.”
Jawab sang ayah yang turut menganga pada berita tentang sebuah demonstrasi yang
terjadi di Jakarta.
“Demo itu apa?”
“Mereka menuntut
supaya pejabat itu dihukum lebih berat.”
Sang ayah memang
belum sempat menyekolahkan putranya. Seharusnya di umurnya saat ini dia sudah
bisa membaca. Meski begitu, tiap harinya saat ia sehat ayah selalu mengajarinya
sedikit-sedikit membaca tulisan di koran. Dan tak segan-segan diajarinya
istilah atau pelajaran yang cukup dimengertinya. Karena ia sendiri dulunya
hanya lulusan sekolah dasar. Sesungguhnya, ingin dia sekolahkan anaknya
melebihi predikat yang dimilikinya. Namun hingga saat ini, ia tak juga memiliki
biaya.
Sekolah gratis,
namun tentunya memerlukan seragam, buku, juga membayar uang pembangunan
sekolah. Memang negerinya penuh misteri.
“Kenapa?” Kali ini putranya memandang ayahnya.
“Karena dia
sudah mencuri uang untuk orang-orang seperti kita.”
“Bukankah
pejabat itu kaya, ayah?”
“Iya, tapi dia
masih merasa kekurangan uang.”
“Kita miskin,
tapi tidak pernah mencuri.Berarti dia lebih miskin dari kita?” Kata sang anak
dengan pintarnya.
Membuat ayahnya
kagum dan tersenyum. “Mungkin saja.”
“Lalu dia
dihukum apa, ayah?”
“Dia dikurung di
kamar dan tidak boleh keluar.”
“Sampai kapan?”
“dua tahun.”
“Lalu kalau
mereka berdemo pejabat itu akan dihukum apa?”
“Tetap dua
tahun. Tuntutan mereka percuma.”
“Lalu kenapa
masih berdemo? Tidak lelah. Kalau aku lebih baik ke masjid dan berdo’a supaya
pejabatnya sadar dan sabar, ayah.”
Hatinya terhenyak
mendengar perkataan putra kecilnya. Mungkin seharusnya ia menyekolahkan
putranya itu. Membuatnya berpendidikan dan bermoral tinggi. Bisa saja, dialah
calon pemimpin negeri yang dapat mengubah semua misteri di negerinya sendiri.
Mungkin putra kecilnyalah yang ditunggu-tunggu rakyat Indonesia.
***
Mungkin malam
itu adalah malam terindah di hidup putranya.
Dan mungkin itu berlaku juga bagi sang ayah. Membahagiakan satu-satunya
orang yang dimilikinya adalah hal yang paling penting dari apapun. Istrinya
sudah lama pergi, dan tak pernah kembali. Bukan pergi karena tidak terima akan
keadaan suaminya. Namun ia pergi untuk memberi kebahagiaan pada suaminya
sebelum ia pergi.
Melahirkan
putranya.
***
Dan malam itu
akhirnya dia tertidur juga. Sementara putranya masih asyik menyaksikan televisi.
Dan di tengah malam semua itu terjadi. Namun ia beru menyadari saat mentari
sudah menyoroti tubuhnya. Televisi menyala semalaman. Dan putranya masih
tertidur di sebelahnya. Dipikir, putranya tengah bermimpi tentang televisi
barunya. Terbukti dengan bibirnya yang terus saja mengukir senyuman.
Seusai mandi dan
membelikannya nasi bungkus, sang ayah mulai geli. Tentu putranya terjaga hingga
larut malam. “Nak, bangun dan sarapan dulu.”
Namun putranya
tak juga bangun. Lalu dicoba sentuhnya kening sang anak. Dingin.
Dingin? Apakah
ia sudah sembuh?
“Nak, bangunlah.
Sudah pagi.” Ujar sang ayah dengan suasana hati cukup ceria.
Dibelikannya
televisi benar-benar membuat putranya langsung sembuh seketika. Tak
henti-hentinya ia bersyukur. Namun anaknya tidak juga mau bangun. Selelah
apapun putranya, ia tidak pernah sesulit ini untuk dibangunkan.
“Nak?”
Sebuah rasa
takut luar biasa menghantam perasaan sang ayah. Terpikir satu cara
mengetahuinya. Didekatkan ujung jarinya ke lubang hidung sang anak. Dia
menunggu. Terus menunggu. Namun selama apapun itu, ia sadar bahwa tidak akan
ada nafas berhembus di sana.
Dia pergi.
Putranya. Satu-satu yang ia milikki di dunia. Kini dia sendiri.
Uda baca dari awal sampe akhir. keren bgt ka. keep writing yaa... ;))
ReplyDelete