--- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice --- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice ---
RSS

Monday, June 13, 2011

Midnight Sun

EDWARD;s CULLEN story




1. Pandangan Pertama
Inilah saat dimana aku berharap bisa tidur.

Sekolah.

Atau, penyiksaan lebih tepatnya? Seandainya ada jalan lain menebus dosa-dosaku. Kejenuhan ini selalu sulit diatasi; setiap hari terasa lebih monoton dari sebelumnya.

Mungkin bagiku inilah tidur—jika didefinisikan sebagai bentuk berdiam diri disela aktivitas harian.

Aku menatap rekahan di pojok kafetaria, membayangkan bentuk-bentuk abstrak. Itu salah satu cara memelankan suara-suara riuh di kepalaku.

Beratus suara ini membuatku mati kebosanan.

Jika menyangut pikiran manusia, aku telah mendengar segalanya, dan lagi, hingga ratusan kali. Hari ini, semua tercurah pada sebuah peristiwa sepele, kedatangan seorang murid pindahan. Tidak terlalu sulit menyimpulkan pikiran-pikiran itu sekaligus. Aku telah melihat sosoknya berulang-ulang, dari pikiran ke pikiran, dari segala sudut. Cuma perempuan biasa. Kegemparan akibat kedatangannya mudah ditebak—sama seperti menunjukan benda berkilau pada anak kecil. Setengah laki-laki hidung belang bahkan sudah ingin bermeseraan dengannya, hanya karena ia anak baru. Aku mesti lebih keras mengacuhkan mereka.

Hanya empat suara yang coba kuredam demi kesopanan dan bukannya karena tak suka: milik keluargaku, yang terbiasa tanpa privasi disekitarku hingga tak perduli lagi. Aku coba menjaga ruang pribadi mereka sebisanya. Berusaha tidak mendengarkan, kalau itu mungkin.

Berupaya sekuatnya, tapi tetap saja...aku tau.

Rosalie sedang memikirkan, seperti biasa, tentang dirinya. Dia mendapati pantulan dirinya di kaca mata seseorang, dan puas pada kesempurnaannya. Pemikiran Rosalie agak dangkal. Tidak banyak kejutan.

Emmet masih menggerutu gara-gara kalah bertarung dengan Jasper tadi malam. Butuh segala kesabarannya yang pendek untuk bisa tahan hingga sekolah usai untuk mengajak Jasper tanding ulang. Aku tidak pernah terganggu dengan pikiran-pikiran Emmet. Dia jarang memikirkan sesuatu tanpa diucapkan keras-keras atau langsung dikerjakan. Aku lebih merasa bersalah membaca pikiran yang lainnya karena sebetulnya ingin disembunyikan. Jika pikiran Rosalie dangkal, maka Emmet selaksa danau tak berbayang, sangat jelas.

Sedang Jasper...menderita. Aku mesti menahan agar tidak mendesah.

Edward. Alice memanggil, dan langsung menarik perhatianku.

Itu seperti memanggil namaku keras-keras. Aku sedikit lega namaku telah ketinggalan jaman—biasanya menjengkelkan tiap ada orang memikirkan nama Edward yang lain, otomatis menoleh...

Ini aku tidak menoleh. Alice dan aku cukup mahir berbincang seperti ini. Jarang yang memergoki. Mataku masih tetap memandangi rekahan itu.

Bagaimana, apa dia masih bertahan? Tanya Alice padaku.

Aku sedikit merengut, hanya perubahan kecil di sudut bibir. Tidak ada artinya bagi yang lain. Mungkin dianggap eksrepresi jemu.

Alice langsung siaga. Kulihat pikirannya mengawasi Jasper lewat penglihatannya. Apa ada bahaya? Dia membaca lagi, sekilas kedepan, mencari tau sumber kegusaranku.

Aku menoleh sedikit kekiri, seakan sedang memperhatikan deretan bata di dinding, mendengus pelan, dan kembali ke kanan, pada celah di pojok. Hanya Alice yang tau aku sedang menggeleng.

Dia kembali tenang. Beritau aku jika kondisinya memburuk.

Hanya mataku yang bergerak, keatas ke langit-langit, dan kembali kebawah.

Terimakasih sudah mengawasinya.

Aku lega tidak perlu menjawabnya keras-keras. Apa yang mesti kukatakan? 'dengan senang hati'? Jujur saja tidak begitu. Aku sangat terganggung mendengar pergulatan Jasper. Apa perlu bereksperimen seperti ini? Bukannya lebih aman mengakui bahwa ia tidak akan mampu mengatasi rasa hausnya seperti kami, dan jangan terlalu memaksanya. Mengapa harus bermain-main dengan bencana?

Ini sudah dua minggu sejak terakhir berburu. Tidak terlalu sulit buat kami berempat. Agak tidak nyaman kadang-kadang—jika ada manusia berjalan terlampau dekat, atau jika angin bertiup ke arah yang salah. Tapi manusia jarang mendekat. Insting mereka memberitau apa yang tidak dimengerti kesadaran mereka: bahwa kami berbahaya.

Jasper sedang sangat berbahaya saat ini.

Tiba-tiba, seorang perempuan berhenti di meja sebelah, mengobrol dengan temannya. Dia menggoyang rambut pirang pendeknya, dan menelisipkan jemarinya. Pemanas ruangan meniup aromanya ke arah kami. Aku telah terbiasa dengan efeknya—perasaan terbakar yang meninju tenggorokan, hasrat lapar di perut, otot-otot yang menegang, dan liur yang menetes deras.

Semuanya normal, biasanya mudah diatasi. Tapi sekarang, ketika mengawasi Jasper, jadi lebih sulit. Godaannya lebih besar, dua kali lipat. Rasa haus ganda, bukan cuma dahagaku.

Jasper membiarkan imajinasinya berkeliaran. Dia menggambarkannya dengan jelas—membayangkan dirinya bangkit dari samping Alice dan berdiri di samping gadis itu. Membayangkan mencondongkan tubuhnya, seakan ingin membisikan sesuatu, lalu membiarkan bibirnya menyentuh lengkung tenggorokannya. Membayangkan denyut nadi yang mengalir dibalik kulit tipis itu terasa hangat di bibirnya.

Aku menendang kursinya.

Dia terkejut dan menatapku sebentar, kemudian tertunduk. Aku mendengar perasaan malu dan peperangan di kepalanya.

“Sori.” gerutu Jasper.

Aku mengangkat bahu.

“Kau tidak akan melakukan apapun.” Alice berbisik menghiburnya. “Aku bisa melihatnya.”

Aku coba tidak meringis agar tidak membongkar kegusaran Alice. Kami harus bekerja sama, aku dan Alice. Ini tidak mudah, mendengar suara-suara atau melihat masa depan. Itu adalah keanehan bagi kami yang sudah aneh. Kami saling menjaga rahasia.

“Bisa sedikit membantu jika kau pandang mereka sebagai manusia.” Saran Alice, nadanya yang tinggi mengalun bagai musik, terlalu cepat untuk telinga manusia. “Namanya Whitney. Dia memiliki adik perempuan kecil yang dia puja. Ibunya mengundang Esme di pesta kebun, kau ingat?”

“Aku tau siapa dia.” gerutu Jasper. Dia berpaling ke salah satu jendela kecil di bawah langit-langit. Nada gusarnya mengakhiri pembicaraan.

Dia harus berburu nanti malam. Sangat ceroboh mengambil resiko seperti ini, coba menguji kekuatannya, untuk membangun daya tahannya. Jasper sebaiknya menerima saja batasannya dan bertindak semampunya. Kebiasaan lamanya tidak cocok dengan gaya hidup kami; tidak seharusnya memaksakan diri.

Alice mendesah dan berdiri, mengambil nampan makannya—yang sekedar properti—dan berlalu sendirian. Dia tau kapan Jasper merasa cukup. Kendati Rosalie dan Emmet lebih mencolok kedekatannya, adalah Alice dan Jasper yang lebih saling memahami.

Edward Cullen.

Secara reflek aku menoleh begitu namaku dipanggil, walau tidak benar-benar diucap, hanya dipikirkan.

Kemudian, selama sepersekian detik mataku terpaku pada sepasang mata lebar manusia, berwarna coklat muda, pada wajah pucat yang menyerupai hati. Aku mengenalinya, meskipun belum melihatnya sendiri. Wajahnya hampir ada di seluruh kepala orang-orang. Si murid baru, Isabella Swan. Putri kepala polisi kota ini, yang terdampar karena soal perwalian. Bella. Dia mengoreksi yang memanggilnya dengan nama lengkap...

Aku berpaling darinya, bosan. Pada detik itu juga aku sadar bukan dia yang memikirkan namaku.

Tentu saja dia sudah jatuh cinta pada keluarga Cullen, kudengar pikiran tadi berlanjut.

Kukenali 'suaranya', Jessica Stanley—belum cukup lama sejak ia menggangguku dengan perbincangan di kepalanya. Betapa melegakan ketika akhirnya ketergila-gilaannya berakhir. Biasanya mustahil meloloskan diri dari lamunan konyolnya yang tak ada habisnya. Aku harap, ketika itu, bisa menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi jika bibirku, dan sederetan gigi dibaliknya, berada dekat di telinganya. Itu akan menghentikan fantasi-fantasinya yang menjengkelkan. Memikirkan bagaimana reaksinya hampir membuatku tersenyum.

Sedikit lemak akan lebih baik buatnya, Jessica melanjutkan. Dia bahkan tidak cakep. Entah kenapa Eric selalu menatapnya...atau Mike.

Dia mengernyit dipikirannya ketika menyebut nama yang terakhir. Pujaan barunya, Mike Newton yang populer, yang jelas-jelas cuek. Namun rupanya, bersikap sebaliknya pada si murid baru. Lagi-lagi seperti anak kecil yang melihat benda berkilau. Ini membuat Jessica gusar, meskipun tetap bersikap ramah dengan menjelaskan perihal keluarga Cullen. Murid baru itu pasti menanyakan kami.

Semua orang ikut memperhatikanku, sambil lalu Jessica puas dengan dirinya. Betapa beruntungnya Bella sekelas denganku di dua mata pelajaran...pasti Mike akan bertanya padaku apa yang dia--

Aku berusaha menghalau pembicaraan tolol itu, sebelum membuatku gila.

“Jessica Stanley sedang mengupas kebobrokan keluarga Cullen ke si Swan anak baru itu.” aku berbisik ke Emmet untuk mengalihkan perhatian.

Dia tertawa geli. Kuharap kisahnya menarik, pikirnya.

“Kurang imajinatif, sebetulnya. Cuma skandal-skandal kuno. Tidak ada bagian horornya. Sedikit mengecewakan.”

Dan si murid baru? Apa dia juga kecewa?

Aku mencari tau pikiran si murid baru ini, Bella, tentang cerita-cerita Jessica. Apa pendapatnya ketika melihat keluarga aneh, berkulit putih-kapur, yang diasingkan ini?

Itu tanggung jawabku buat mengetahui reaksinya. Aku bertindak sebagai pengawas—itu istilah yang peling mendekati—bagi keluargaku. Untuk melindungi kami. Jika seseorang curiga, aku bisa memberi peringatan awal dan mundur teratur. Itu sempat terjadi—beberapa manusia dengan imajinasi berlebihan mengaggap kami mirip dengan karakter di buku atau film. Biasanya tebakan mereka salah, tapi lebih baik menyingkir daripada mengambil resiko. Jarang ada yang menebak dengan tepat. Kami tidak memberi mereka kesempatan untuk menguji hipotesisnya. Kami langsung menghilang, dan sekedar jadi kenangan buruk...

Aku tidak mendengar apa-apa, meskipun telah menyimak disebelah monolog internal Jessica yang berhamburan tak karuan. Seperti tidak ada orang. Sangat ganjil, apa dia telah pindah? Sepertinya belum, Jessica masih berbincang dengannya. Aku mendongak memastikan, sedikit heran. Memastikan 'pendengaran' ekstraku—ini belum pernah dilakukan.

Kembali, pandanganku terpaku pada mata lebar coklat yang sama. Dia masih duduk disitu, sedang melirik kesini, sesuatu yang wajar, sementara Jessica meneruskan gosipnya.

Memikirkan tentang kami, itu juga wajar.

Tapi aku tidak mendengar bisikanpun.

Rona hangat merah muncul di pipinya ketika menunduk, malu kedapatan mencuri pandang. Untung Jasper tidak melihat. Sulit dibayangkan bagaimana reaksinya jika melihat rona merah itu.

Perasaannya tampak jelas di mimiknya, sejelas ada torehan huruf di keningnya: terkejut, begitu mendapati tanda-tanda perbedaan antara kaumnya dengan kami; penasaran, setelah mendengar dongeng Jessica; dan sesuatu yang lain...takjub? Itu bukan yang pertama. Kami terlihat indah bagi mereka, mangsa alami kami. Kemudian, malu setelah terpergok sedang memperhatikan diriku.

Tetap saja, meskipun tampak jelas pada matanya yang aneh—aneh, karena terlihat begitu dalam; mata coklat biasanya datar—aku tidak mendengar apapun kecuali keheningan. Tidak ada sama sekali.

Sejenak aku merasa tidak nyaman.

Ini sesuatu yang belum pernah kujumpai. Apa ada yang aneh denganku hari ini? Aku merasa baik-baik saja. Khawatir, aku mencoba lebih keras.

Suara-suara yang sebelumnya kujauhkan mendadak berteriak di kepalaku.

...kira-kira apa musik kesukaannya...mungkin aku bisa menyinggung CD baru itu...Mike Newton sedang berpikir, dua meja disebalahnya—memperhatikan Bella Swan.

Coba lihat bagaimana dia menatapnya... Eric Yorkie berpikir tak senang, juga masih sekitaran perempuan itu.

...benar-benar memuakan. Kau pikir dia itu terkenal atau bagaimana, bahkan Edward Cullen, menatapnya... Lauren Mallory sangat cemburu hingga wajahnya bisa-bisa menghijau. Dan Jessica, memamerkan teman barunya. Menggelikan... sindiran terus bermuntahan dari pikirannya.

...sepertinya semua orang sudah menanyakan hal itu ke dia. Tapi aku ingin ngobrol dengannya. Aku mesti memikirkan pertanyaan baru. Renung Asley Downing.

...mungkin ia akan ada di kelas bahasa Spanyolku... June Richardson berharap.

...banyak yang mesti dikerjakan nanti malam! Trigonometri, dan tes bahasa Inggris. Kuharap ibuku... Angela Weber, gadis pendiam. Pikirannya paling ramah. Satu-satunya di meja yang tidak terobsesi pada si Bella.

Aku dapat mendengar semuanya, tiap hal sepele yang terlintas di benak mereka. Tapi tidak dari murid baru dengan mata memperdaya itu.

Dan, tentu saja, aku bisa mendengar apa yang dibicarakannya ke Jessica. Tidak perlu membaca pikiran untuk mendengar suara lirihnya dengan jelas.

“Cowok berambut coklat kemererahan itu siapa?” aku dengar ia bertanya, mengerling dari sudut matanya, dan buru-buru menghindar ketika tau aku masih menatapnya.

Jika aku berharap suaranya bisa membantu menemukan pikirannya, yang hilang entah dimana, aku kecewa. Biasanya, pikiran orang-orang memiliki suara yang sama dengan aslinya. Tapi nada pelan dan pemalu ini terdengar asing, tidak ada diantara ratusan pikiran yang bersautan di seantero kafetaria. Aku yakin itu. Suaranya benar-benar baru.

Oh, selamat, idiot! Pikir Jessica sebelum menjawab pertanyaannya. “Itu Edward. Dia tampan, tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak berkencan. Kelihatannya tak satupun perempuan disini cukup cantik baginya.” Dia mendengus.

Aku memutar kepala menyembunyikan senyum. Dia tidak tau betapa beruntungnya mereka tidak memenuhi seleraku.

Dibalik kegetiran itu, muncul dorongan aneh, sesuatu yang tidak kupahami. Ini ada hubungannya dengan pikiran-pikiran tersembunyi Jessica...aku merasakan desakan aneh untuk turun tangan, melindungi Bella Swan ini dari kesinisan Jessica. Sungguh perasaan yang aneh. Coba menemukan motifasi dibaliknya, aku mempelajari murid baru itu sekali lagi.

Mungkin sekedar insting terpendam untuk melindunggi—yang kuat pada yang lemah. Perempuan ini kelihatan lebih rapuh dibanding yang lainnya. Kulitnya begitu tipis dan trasparan hingga sulit dibayangkan mampu melindunginya dari dunia luar. Aku bisa melihat darahnya berdenyut melewati pembuluhnya, dibawah membrannya yang pucat dan jernih... tapi sebaiknya tidak berkonsentrasi pada hal itu. Aku sudah cukup baik dengan pilihan hidupku, tapi sama hausnya dengan Jasper. Tidak ada untungnya mengundang godaan.

Ada kerut samar diantara alisnya yang tidak ia sadari.

Benar-benar menjengkelkan! Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia tersiksa disana, berbincang dengan orang asing, jadi pusat perhatian. Aku bisa merasakan perasaan malunya dari caranya menahan pundak-lemahnya. Curiga, seakan menunggu datangnya penolakan. Tapi tetap saja aku cuma bisa menilai. Cuma melihat. Cuma membayangkan. Tidak ada kecuali keheningan dari mahluk yang tidak istimewa ini. Aku tidak mendengar apa-apa. Kenapa?

“Ayo pergi.” Rosalie berbisik, memecah perhatianku.

Aku berpaling lega. Aku tidak ingin gagal lagi—itu membuat kesal. Dan aku tidak ingin tertarik pada pikirannya yang tersembunyi hanya karena tersembunyi dariku. Tak ada keraguan, ketika mampu menembus pikirannya—dan aku akan mencari cara—pasti sama sempit dan dangkalnya seperti manusia lainnya. Tidak sepadan dengan usahanya.

“Jadi, apa murid baru itu takut?” tanya Emmet, dia masih menunggu jawaban pertanyaan tadi.

Aku angkat bahu. Dan ia tidak terlalu tertarik untuk bertanya lebih jauh. Begitu juga denganku.

Kami bangkit dari meja dan berjalan keluar kafetaria.

Emmet, Rosalie, dan Jasper berakting sebagai senior; mereka pergi ke kelas mereka. Peranku lebih muda. Aku menuju kelas biologi, bersiap untuk bosan. Tidak mungkin bagi Mr. Banner, yang kecerdasannya rata-rata, menyinggung topik yang mengejutkan seseorang yang memegang dua gelar kedokteran.

Di kelas, aku duduk di kursiku dan mengambil buku biologi—satu lagi peralatan kamuflase lainnya; aku sudah menguasai semua isinya. Aku satu-satunya yang duduk sendirian. Manusia tidak cukup cerdas untuk tau mereka takut, tapi insting bertahannya cukup untuk membuat mereka menyingkir.

Ruangan mulai terisi setelah istirahat selesai. Aku bersandar di kursi dan menunggu waktu berlalu. Lagi, aku berharap bisa tidur.

Karena mungkin aku akan memikirkan tentang dia. Ketika Angela Weber masuk bersama murid baru itu, namanya memicu perhatian.

Bella kelihatannya sepemalu diriku. Pasti hari ini berat buat dia. Aku harap bisa mengucapkan sesuatu...tapi mungkin akan kedengaran bodoh...

Yes! Pikir Mike Newton, menggeser duduknya untuk melihat gadis itu.

Masih saja, dari tempat Bella Swan, tidak ada apa-apa. Ruang kosong dimana isi pikirannya seharusnya membuatku jengkel.

Dia mendekat, melintasi gangku menuju meja guru. Gadis malang; satu-satunya tempat kosong cuma di sampingku. Kubersihkan bagian mejanya, menyingkirkan buku-bukuku. Aku ragu ia akan nyaman. Dia mengambil satu semester penuh—di kelas ini, paling tidak. Mungkin, dengan duduk disampingnya, aku bisa memecahkan rahasianya...bukannya aku butuh posisi dekat sebelumnya...juga bukannya akan menemukan hal yang menarik...

Bella Swan berjalan melintasi hembusan pemanas ruangan yang bertiup ke arahku.

Aromanya langsung menghantamku dengan keras, seperti pendobrak yang tak kenal ampun. Tidak ada gambaran kekejian yang mampu mendeskripsikan dorongan yang tiba-tiba melandaku.

Dalam sekejap, aku tidak lagi mendekai seperti manusia; tidak ada lagi jejak kemanusiaan yang tersisa.

Aku adalah pemangsa. Dia buruanku. Tidak ada yang lebih penting selain itu.

Tidak ada ruangan penuh saksi—di pikiranku mereka telah jadi korban yang tak terelakan. Misteri pikirannya telah lenyap. Tidak ada artinya. Sebentar lagi ia tidak akan memikirkannya.

Aku adalah vampir, dan dia memiliki darah paling manis yang pernah kucium selama delapan puluh tahun.

Aku tidak pernah membayangkan aroma manis senikmat ini betul-betul ada. Jika aku pernah tau, aku telah memburunya sejak lama. Akan kususuri bumi mencarinya. Bisa kubayangkan sedapnya...

Rasa haus membakar kerongkonganku seperti tinju api. Mulutku hambar dan kering. Liur yang menetes deras tidak mampu mengusirnya. Perutku melilit oleh lapar akibat haus. Otot-ototku menegang siap terlontar.

Satu detik belum lagi lewat. Dia masih pada langkah yang sama ketika angin bertiup.

Setelah kakinya menjejak, matanya melirikku, gerakan yang maksudnya diam-diam. Pandangannya bertemu, dan kulihat bayangan diriku terpantul pada cermin lebar matanya.

Wajah shok yang kulihat menyelamatkan nyawanya seketika itu juga.

Dia tidak membuatnya lebih mudah. Ketika mengkaji ekspresiku, darah mengalir ke pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di otakku. Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk, memberontak, tak karuan.

Langkahnya lebih cepat, seakan tau saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya kikuk—dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih untuk ukuran manusia.

Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali. Monster dalam diriku—sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan puluhan tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!

Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir membuatku bertindak.

Jangan!

Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat dibalik meja.

Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari, meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.

Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...

Aku tau akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus membunuhnya.

Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan menyaksikannya.

Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji ini. Aku belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh tahun. Dan sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.

Sosok monster itu membuatku muak.

Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.

Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum seisi ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari yang sedang kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau kesakitan; aku tidak akan membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi pada monster dalam diriku, darahnya yang menggiurkan.

Tapi kemudian aku mesti mencegah mereka lari. Tidak ada masalah dengan jendela, terlalu tinggi dan kecil untuk dilewati. Hanya pintu—halangi dan mereka terperangkap.

Sedikit lebih sulit menghabisi mereka ketika panik dan berhamburan. Bukan tidak mungkin, tapi terlalu berisik. Akan ada banyak jeritan. Seseorang akan mendengar...dan terpaksa membunuh lebih banyak lagi.

Dan darahnya akan mendingin.

Aromanya menghantamku, menutup kerongkonganku dengan rasa sakit...

Maka saksinya lebih dulu.

Aku memetakan di kepalaku. Aku di tengah ruangan, di deretan terbelakang. Kuhabisi dulu sisi kanan. Bisa kupatahkan empat atau lima leher perdetik, begitu taksiranku. Tidak akan terlalu ribut. Mereka beruntung; tidak menyadari yang terjadi. Kemudian berputar di depan lalu menghabisi sisi sebelah kiri. Itu akan makan waktu, paling tidak, lima detik untuk menghabisi seisi ruangan.

Cukup lama bagi Bella Swan menyaksikan, sekilas, apa yang akan menimpanya. Cukup lama untuk ngeri. Cukup lama, jika shok tidak membuatnya membeku, untuk membuatnya menjerit. Satu jeritan halus yang tidak akan memanggil siapa-siapa.

Kutarik napas panjang. Aromanya bagai api yang berpacu di pembuluh darahku yang kering, membakar keluar dari jantungku, dan menghabiskan setiap sisi baik dalam diriku.

Dia baru saja membelok. Dalam beberapa detik, dia akan duduk dekatku.

Monster di kepalaku tersenyum.

Seseorang menutup bukunya dengan keras. Aku tidak melihat siapa manusia terkutuk itu. Tapi gerakannya mengirim gelombang kenormalan. Udara bersih terhembus ke mukaku.

Dalam satu detik yang singkat, pikiranku kembali jernih. Dalam detik yang berharga itu, aku melihat dua wajah bersebelahan.

Satu adalah diriku, atau lebih cocok: monster bermata merah yang telah membunuh banyak orang. Membenarkan pembunuhan itu. Algojo para pembunuh yang membunuh sesamanya, para monster yang tidak terlalu berbahaya. Itu memang berlagak seperti Tuhan; kuakui itu—memutuskan siapa yang pantas dihukum mati. Cuma itu pembelaan lemahku. Aku telah merasakan darah manusia, tapi hanya secara harafiah. Semua korbanku, tidak lebih manusia daripada ku.

Wajah yang lain adalah Calisle.

Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Bagai terang dan langit gelap.

Tak ada alasan untuk mirip. Carlisle bukan ayah biologisku. Kami tak memiliki ciri-ciri serupa. Kesamaan warna kulit cuma kekhasan untuk mahluk seperti kami; setiap vampir memiliki kulit pucat sedingin es. Kesamaan warna mata adalah hal yang lain—cermin dari gaya hidup bersama.

Tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar, wajahku telah mencerminkan dirinya, sampai tingkat tertentu, setelah tujuh puluh tahun berhasil mengikuti pilihan hidupnya. Penampakanku tidak berubah, tapi sepertinya kebijakannya telah membentuk diriku. Kasihnya terlihat pada bentuk mulutku. Kesabarannya terlihat pada alisku.

Semua itu kini tergantikan oleh sosok monster. Dalam sekejap, tidak ada yang tersisa dari jejak penciptaku, guruku, ayahku dalam segalanya. Mataku akan semerah iblis; segala kemiripan akan lenyap selamanya.

Dalam pikiranku, mata lembut Carlisle tidak menghakimi. Aku tau ia akan memaafkan tindakan mengerikanku. Karena dia menyayangiku. Karena pikirnya aku lebih baik dari itu. Dan ia akan tetap menyayangiku, bahkan setelah kutunjukan dia salah.

Bella Swan duduk di sebelahku, gerakannya canggung—agak takut? Bau darahnya mengembang dalam gumpalan awan yang tidak dapat ditolak lagi.

Akan kubuktikan ayahku salah. Kenyataan ini sama menyakitkannya dengan api yang membakar kerongkonganku.

Aku menjauh darinya—memberontak dari monster yang ingin segera menerjangnya.

Kenapa dia harus datang? Kenapa dia harus hidup? Kenapa dia harus merusak setitik kedamaian dari ke tak-hidupanku? Mengapa pengganggu ini dilahirkan? Dia akan menghancurkanku!

Aku membuang muka. Tiba-tiba kebencian meliputiku.

Siapa mahluk ini? Kenapa aku, kenapa sekarang? Kenapa aku mesti kehilangan segalanya hanya karena ia kebetulan memilih tinggal di kota ini?

Kenapa ia harus datang kesini!

Aku tidak mau menjadi monster! Aku tidak mau membunuh seisi kelas ini! Aku tak ingin kehilangan segala yang berhasil kuraih lewat pengorbanan dan penyangkalan seumur hidup!

Aku tidak mau. Dan dia tidak bisa memaksaku.

Bau adalah masalahnya, bau mengundang darahnya. Jika ada cara melawannya...jika saja sapuan angin segar menjernihkan pikiranku.

Tiba-tiba Bella Swan menggerai rambut panjangnya yang berwarna mahoni kesampingku.

Apa dia gila? Itu sama dengan menyemangati sang monster! Menggodanya.

Tidak ada lagi hembusan yang bisa mengusir wanginya. Sebentar lagi semua akan hilang.

Tidak, tak ada lagi angin yang membantu. Tapi, aku tidak harus bernapas.

Kuhentikan aliran udara di paru-paruku; sedikit lega, tapi masih jauh dari aman. Aku masih memiliki ingatan aromanya, rasanya di belakang lidahku. Aku tidak mampu menahannya terlalu lama. Tapi mungkin bisa untuk satu jam. Satu jam. Cukup untuk keluar dari ruangan penuh korban ini. Korban yang tidak seharusnya jadi korban. Jika aku bisa mehannya selama satu jam.

Ini tidak nyaman, tidak bernapas. Tubuhku tidak memerlukan oksigen, tapi itu berlawanan dengan instingku. Aku mengandalkan penciuman lebih dari indra lainnya ketika tertekan. Jadi penuntun ketika berburu. Itu adalah alarm awal ketika muncul bahaya. Aku belum pernah menemui situasi yang sangat berbahaya, tapi kewaspadaan kami melebihi manusia.

Tidak nyaman, namun dapat diatasi. Lebih dapat ditahan daripada mencium baunya tanpa menenggelamkan gigiku pada kulitnya yang tipis, tembus pandang, menggiurkan, dan kemudian merasakan basahnya, hangatnya, denyut—

Satu jam! Hanya satu jam. Aku tidak boleh memikirkan itu.

Gadis itu membiarkan rambutnya melewati bahu. Aku tidak bisa melihat wajahnya, untuk membaca emosinya lewat mata jernihnya yang dalam. Apa itu alasannya menggerai rambut? Menyembunyikan matanya dariku? Karena takut? Malu? Untuk menyimpan rahasianya?

Namun kejengkelan karena tidak mampu membaca pikirannya tidak sebanding dengan kebutuhan—dan kebencian—yang melanda kini. Betapa bencinya aku pada wanita lemah kekanakan disampingku ini. Membencinya dengan segenap rasa, sebesar seluruh tekadku, kecintaanku pada keluaragaku, anganku untuk menjadi lebih baik... Membencinya. Membenci bagaimana ia membuatku seperti ini—itu sedikit membantu. Ya, kemarahanku tadi masih kurang, tapi itu membantu. Jadi sebaiknya fokus pada emosiku agar tidak membayangkan mencicipi dia...

Benci dan marah. Gusar. Apa satu jam akan lewat?

Dan ketika satu jam berakhir... ia akan meninggalkan ruangan. Lalu apa yang kulakukan?

Aku bisa memperkenalkan diri. Hai, namaku Edward Cullen. Boleh kutemani ke kelas berikutnya?

Dia akan mau. Itu sesuatu yang sopan. Meskipun takut, ia akan mengikuti. Cukup mudah menyesatkannya. Batas luar hutan tidak jauh dari parkiran. Aku bisa beralasan ketinggalan buku di mobil...

Apakah ada yang menyadari aku bersamanya? Sekarang hujan, seperti biasa, dua orang bermantel berjalan di parkiran tidak akan mencurigakan.

Kecuali aku bukan satu-satunya yang seharian ini memperhatikan dirinya—meskipun tidak seorangpun sewaspada diriku. Mike Newton, terkecuali, dia cukup penasaran dengan kegelisahan Bella—dia tidak nyaman di dekatku, seperti yang lainnya, sebelum aromanya merusak segalanya. Mike Newton akan tau jika dia pergi denganku.

Jika mampu satu jam, bisakah dua jam?

Kusentak rasa terbakar yang perih ini.

Dia akan pulang ke rumah kosong. Sherif Swan bekerja seharian. Aku tau rumahnya, seperti kutau setiap rumah disini. Rumahnya di pinggir hutan. Tanpa tetangga. Bahkan jika sempat berteriak, yang sangat mustahil, tidak akan ada yang mendengar.

Itu cara yang lebih bertanggung jawab. Aku tahan puluhan tahun tanpa darah manusia. Jika menahan napas, aku bisa tahan dua jam. Dan saat ia sendirian, tidak ada orang lain yang terluka. Dan tidak perlu terburu-buru menikmatinya, monster di kepalaku setuju.

Meskipun aku membenci dirinya, aku tau itu tidak beralasan. Aku tau yang kubenci sebenarnya adalah diriku sendiri. Dan aku akan lebih membenci kami berdua ketika ia mati.

Kulewati menit demi menit dengan cara ini—membayangkan cara terbaik membunuhnya. Tapi aku menghindari bayangan saat mengeksekusinya. Itu terlalu berlebihan. Aku bisa kalah dan membunuh semuanya sekarang juga. Maka aku membuat strategi, tidak lebih. Dengan begitu satu jam akan berhasil kulalui.

Di penghujung, dia mencuri pandang lewat celah rambutnya. Kebencian mendalam langsung menusukku ketika pandangan kami bertemu—melihatnya di pantulan matanya yang ketakutan. Darah memerah di pipinya, dan aku sudah akan bergerak.

Tapi bel berbunyi. Selamat karena bel—Klise. Kami berdua sama-sama selamat. Dia, dari kematian. Aku, walau hanya menunda, dari perubahan menjadi mahluk mengerikan yang menjijikan.

Aku tidak berjalan sepelan semestinya ketika meluncur keluar. Mungkin mereka akan curiga ada yang tidak beres dengan gerakanku. Tapi tidak ada yang memperhatikan. Semua masih berkutat pada gadis yang telah dikutuk mati satu jam lagi.

Aku bersembunyi dalam mobil.

Sebenarnya aku tidak suka bersembunyi. Terlalu pengecut. Tapi ini pengecualian.

Aku sedang tidak tahan dekat-dekat manusia. Berkonsenstrasi untuk tidak mebunuh satu orang membuatku ingin melampiaskannya ke orang lain. Betapa sia-sia. Jika menyerah pada sang monster, sama saja kalah.

Kunyalakan CD yang biasanya menenangkan. Tapi efeknya cuma sedikit. Yang kubutuhkan adalah udara bersih, basah, dan dingin, yang mengalir bersama rintik hujan. Meskipun dapat mengingat bau darah Bella Swan dengan jelas, menghirup udara segar sama seperti membilas organ tubuhku dari infeksi.

Kini aku kembali waras. Aku bisa berpikir. Dapat bertarung lagi, melawan apa yang kutentang.

Aku tidak perlu ke rumahnya. Tidak perlu membunuhnya. Jelas, aku mahluk rasional, dan punya pilihan. Selalu ada pilihan.

Itu tidak kurasakan ketika di kelas...tapi sekarang sudah jauh darinya. Mungkin, jika menjauh dengan sangat, sangat hati-hati, hidupku tidak perlu berubah. Semua bisa berjalan seperti keinginanku. Kenapa membiarkan pengganggu-menggiurkan tak-berharga merusaknya?

Tidak perlu mengecewakan ayahku. Tidak perlu membuat ibuku tertekan, khawatir...terluka. Ya, itu akan melukai ibu angkatku. Dan Esme begitu penuh cinta, halus, dan lembut. Menyebabkan seseorang seperti Esme terluka tidak bisa dimaafkan.

Sungguh ironis tadi aku ingin melindunginya dari sindiran Jessica Stanley yang tidak berbahaya. Aku adalah orang terakhir yang akan jadi pelindung Isabella Swan. Aku adalah ancamannya paling berbahaya.

Dimana Alice? Apa dia belum melihatku membunuh si Swan dalam beragam cara? Kenapa dia tidak membantu—mengehentikan atau menolong membereskan bukti-bukti, apapunlah? Apa dia terlalu terlena mengawasi bahaya dari Jasper, hingga melewati kemungkinan yang lebih mengerikan? Apa aku sekuat yang dia pikirkan? Apa aku tidak akan menyentuh gadis itu?

Sepertinya itu tidak benar. Alice pasti sedang berkonsenstrasi pada Jasper.

Aku mencari posisinya, ke bangungan kecil kelas bahasa Inggris. Tidak sulit menemukan 'suaranya' yang sangat kukenal. Tebakanku betul. Segenap pikirannya tercurah pada Jasper, mengawasi secara ketat pilihan-pilihan kecil tiap menitnya.

Aku beraharap bisa minta saranya, tapi di sisi lain, aku lega ia tidak mengetahui apa yang mampu kulakukan. Bahwa ia tidak menyadari pembantaian yang kupertimbangkan tadi.

Terasa hal lain membakarku—rasa malu. Aku tidak ingin yang lain tau.

Jika bisa menghindar dari Bella Swan, jika mampu bertahan tidak membunuhnya—bahkan ketika memikirkannya, monster dalam diriku menggeliat dan menggeretakan gigi frustasi—maka tidak ada yang perlu tau. Jika aku menjauh dari baunya...

Tidak ada alasan untuk tidak mencoba. Pilih yang benar. Coba menjadi apa yang Carlisle pikirkan tentang diriku.

Jam terakhir sekolah hampir selesai. Kuputuskan menjalankan rencana itu. Lebih baik daripada menunggu di parkiran, bisa saja ia lewat dan merusak niatku. Lagi, kurasakan kebencian yang tak adil pada gadis itu. Aku benci karena ia hampir mengalahkanku. Bisa saja ia mengubahku menjadi sesuatu yang kukutuk.

Aku bergegas—sedikit terlalu cepat, tapi tidak ada yang melihat—melintasi parkiran menuju ruang Tata Usaha. Tidak mungkin berjumpa dengan Bella Swan disana. Dia mesti dihindari layaknya wabah menular.

Di dalam cuma ada seorang pegawai, yang memang ingin kutemui.

Dia tidak menyadari kedatanganku.

“Mrs. Cope?”

Perempuan yang rambutnya dicat merah itu mendongak dan matanya melebar. Selalu saja lengah. Sesuatu yang tidak mereka pahami, tak perduli berapa kalipun bertemu salah satu dari kami.

“Oh,” dia kaget, agak gugup. Dia merapihkan t-shirtnya. Konyol, pikirnya pada dirinya. Dia cukup muda untuk jadi anakku. Terlalu muda untuk memandangnya seperti itu... “Halo, Edward. Ada yang bisa dibantu?” bulu matanya bergoyang dibalik kacamatanya yang tebal.

Risih. Tapi aku tau caranya untuk mempesona ketika dibutuhkan. Mudah, mengingat aku bisa membaca pikiran sekaligus isyarat tubuhnya.

Aku bersandar kedepan, menatapnya seakan sedang menyelami mata coklatnya yang datar. Pikirannya sudah tidak karu-karuan. Ini akan mudah.

“Saya ingin minta tolong dengan jadwal saya,” kataku sehalus mungkin agar tidak menakutinya.

Detak jantungnya makin cepat.

“Tentu, Edward. Apa yang bisa saya bantu?” terlalu muda, terlalu muda, dia merapalnya berulang-ulang. Salah, tentu saja. Aku lebih tua dari kakeknya. Tapi berdasar tanggal di SIM, dia betul.

“Kira-kira apa saya bisa menukar jam pelajaran biologi saya? Dengan kelas senior mungkin?”

“Apa ada masalah dengan Mr. Banner?”

“Bukan itu, saya sudah pernah mempelajarai materinya...”

“Pada waktu di Alaska, ya...” bibir tipisnya mengkerut ketika mempertimbangkan ini. Mereka lebih pantas kuliah. Banyak guru yang mengeluh. Nilainya sempurna, tidak pernah ragu di kelas, tidak pernah salah ketika ujian—seakan selalu menemukan cara menyontek. Mr. Varner lebih memilih percaya mereka mencontek daripada beranggapan ada murid yang lebih pintar darinya... aku yakin ibunya mengajari mereka di rumah... “Sayangnya, Edward, semua kelas sudah penuh. Para guru tidak ingin kelasnya lebih dari duapuluh lima orang—”

“Saya tidak akan menyulitkan di kelas.”

Tentu saja tidak. Keluarga Cullen tidak akan begitu. “Saya tau itu, Edward. Tapi tidak ada cukup kursi...”

“Kalau begitu bisa saya batalkan kelasnya? Saya bisa belajar sendiri.”

“Membatalkan pelajaran biologi?” mulutnya terngaga. Itu gila. Apa susahnya duduk manis di mata pelajaran yang sudah dikuasai? Pasti ada masalah dengan Mr. Banner. Apa perlu nanti kubicarakan dengan Bob? “Nilaimu tidak akan cukup untuk lulus.”

“Saya akan mengejarnya tahun depan.”

“Mungkin kamu perlu ijin dulu dari orang tuamu.”

Pintu membuka di belakang, tapi siapapun itu tidak memikirkan diriku, jadi kuacuhkan. Aku mencondongkan tubuh lebih dekat, dan kubuka mataku lebih lebar. Akan lebih baik jika keemasan daripada hitam. Kelegamannya membuat orang takut, sebagaimana mestinya.

“Please, Mrs. Cope?” kubuat suranya semerdu mungkin—itu dapat sangat membujuk. “Apa tidak ada kelas apapun yang bisa saya tukar? Pasti ada kelas kosong lain? Kelas biologi itu tidak mungkin satu-satunya...”

Aku tersenyum, berhati-hati agar tidak memperlihatkan gigiku terlalu lebar dan membuatnya takut.

Jantungnya berdetak lebih kencang. Terlalu muda, dia mengingatkan dirinya dengan galau. “Mungkin saya bisa bicara dengan Bob—maksud saya Mr. Banner. Akan saya lihat jika—“

Satu detik lebih dari cukup untuk mengubah segalanya: suasana di dalam ruangan, tujuanku kesini, alasanku mencondongkan tubuh ke perempuan ini... semuanya lenyap.

Satu detik yang dibutuhkan Samantha Wells untuk membuka pintu dan menaruh laporan di rak, lalu keluar lagi. Satu detik yang dibutuhkan bagi hembusan angin dari pintu melabrakku. Satu detik yang kubutuhkan untuk menyadari mengapa pikiran orang pertama tadi tidak mengganggu.

Aku menoleh, meskipun tidak perlu. Aku menoleh pelan, berjuang agar otot-ototku tidak memberontak.

Bella Swan sedang berdiri dekat pintu. Secarik kertas ditangannya. Matanya melebar ketika mendapati tatapan ganas dan tak manusiawiku.

Bau darahnya memenuhi ruang kecil hangat ini. Kerongokonganku membara. Monster itu kembali menatapku dari matanya, topeng iblis.

Tanganku bersiap di meja. Tak perlu melihat untuk menjangkau kepala Mrs. Cope dan membenturkannya ke meja hingga membunuhnya. Dua nyawa, daripada duapuluh. Cukup adil.

Sang monster menuggu gelisah, lapar, ingin cepat-cepat menyelesaikannya.

Tapi selalu ada pilihan—pasti ada.

Kuhentikan napasku, dan menampilkan wajah Carlisle di depan mataku. Aku berbalik ke Mrs. Cope, dan 'mendengar' kekagetannya melihat perubahan ekspresiku. Dia mundur, tapi ketakutannya tidak terucap.

Menggunakan segala daya yang kulatih puluhan tahun menyangkal diri, aku berkata sehalus mungkin. Ada cukup udara di paru-paru untuk bicara sekali lagi, dengan cepat.

“Kalau begitu lupakan saja. Aku tau ini tidak mungkin. Terimakasih banyak atas bantuannya.”

Aku cepat-cepat keluar, berusaha tidak merasakan kehangatan darah gadis itu saat melewatinya.

Aku tidak berhenti sampai tiba di mobil, berjalan terlalu cepat. Kebanyakan sudah pada pulang, tidak terlalu banyak saksi. Aku mendengar suara D.J. Garret, melihat, kemudian mengabaikannya...

Darimana datangnya si Edward—seperti muncul begitu saja... mulai lagi, membayangkan yang aneh-aneh. Mom selalu bilang...

Ketika menyelinap kedalam mobil, semua sudah disitu. Aku berusaha mengatur napas, tapi justru terengah mencari udara segar seperti habis tercekik.

“Edward?” Alice bertanya, suaranya waspada.

Aku cuma menggeleng.

“Apa yang terjadi padamu?” Emmet mendesak khawatir. Pikirannya teralihkan, sementara, dari kenyataan bahwa Jasper sedang tidak mood untuk pertandingan ulang.

Bukannya menjawab, aku buru-buru memundurkan mobil. Aku mesti cepat-cepat meninggalkan parkiran sebelum Bella Swan datang. Bagiku dia setan yang menghantuiku... Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatanku sudah empat puluh mil sebelum keluar parkiran. Di jalan, aku mencapai tujuh puluh sebelum tiba di kelokan.

Tanpa menoleh, aku tau Emmet, Rosalie, dan Jasper menatap Alice. Dia cuma angkat bahu. Dia tidak dapat melihat yang lalu, hanya masa depan.

Dia mengeceknya sekarang. Kami sama-sama mengolah penglihatannya. Dan sama-sama terkejut.

“Kamu akan pergi?” dia berbisik sedih.

Yang lain menatapku.

“Apa aku begitu?” aku mendesis lewat sela-sela gigi.

Dia melihatnya kalau begitu, begitu aku mengambil keputusan, dan pilihan lainnya yang jauh lebih kelam.

“Oh!”

Bella Swan, mati. Mataku, merah terang oleh darah segar. Pencarian oleh penduduk. Penantian kami sebelum semua aman dan memulai lagi dari awal...

“Oh!” Alice kaget lagi. gambarannya jadi lebih detail. Aku melihat bagian dalam rumah Sherif Swan untuk pertama kalinya. Melihat Bella di dapurnya yang kecil dengan lemari kuning. Dia memunggungi ku ketika aku menyelinap dari balik bayangan...merasakan aromanya menuntunku...

“Stop!” aku mengerang, tidak tahan lagi.

“Sori,” bisiknya, matanya melebar.

Sang monster kegirangan.

Penglihatannya berubah lagi. Jalanan kosong malam-malam, pepohonan berselimut salju di sisinya, berlalu cepat dua ratus mil perjam.

“Aku akan merindukanmu,” ujar Alice, “Tak perduli seberapa singkat kau pergi.”

Emmet dan Rosalie bertukar pandang prihatin.

Kami hampir sampai di belokan jalan masuk ke rumah.

“Turunkan kami disini,” pinta Alice. “Kau sebaiknya memberitau Carlisle sendiri.”

Aku mengangguk, dan mobilnya mendecit berhenti.

Emmet, Rosalie, dan Jasper turun tanpa komentar; dia akan minta penjelasan Alice setelah ini. Alice menyentuh pundakku.

“Kau akan mengambil jalan yang benar.” ucapnya pelan. Bukan penglihatan kali ini—sebuah perintah. “Dia satu-satunya keluarga Charlie Swan. Itu akan membunuhnya juga.”

“Iya.” kataku, setuju hanya pada bagian terakhir.

Kemudian ia turun. Alisnya bertaut gelisah. Mereka masuk ke hutan, menghilang sebelum aku memutar mobil.

Aku melaju cepat ke arah kota. Dan aku tau penglihatan Alice akan berganti dari kegelapan malam menjadi siang. Begitu menginjak sembilan puluh mil perjam menuju Forks, aku tidak yakin dengan tujuanku. Berpamitan dengan ayahku? Atau menyerah pada monster dalam diriku? Mobilku melaju kencang diatas aspal.

2. Buku Terbuka

Aku berbaring diatas tumpukan salju, membuat cekungan disekitar tubuhku. Kulitku mendingin menyesuaikan udara sekitar. Sebutir es jatuh ke kulitku seperti beledu.

Langit diatasku cerah, bertabur bintang, sebagian bependar biru, sebagian kuning. Kerlip-kerlip itu begitu megah dihadapan kegelapan malam—pemandangan luarbiasa. Sangat cantik. Atau mungkin lebih tepat disebut indah. Seharusnya, jika aku benar-benar dapat melihatnya.

Ini tidak jadi lebih baik. Enam hari sudah lewat, enam hari besembunyi di hutan belantara teritori keluarga Denali. Tapi aku belum juga mendapati kebebasan sejak pertama kali mencium aroma gadis itu.

Ketika menatap ke langit, seakan ada penghalang antara mataku dan keindahannya. Penghalangnya adalah sesosok wajah, wajah manusia biasa yang tidak istimewa, tapi aku tidak bisa mengusirnya.

Aku mendengar suara pikiran mendekat sebelum suara langkahnya. Bunyi gerakannya hanya berupa gesekan halus.

Aku tidak kaget Tanya membututi kesini. Aku tau beberapa hari ini ia ingin bicara denganku, menunggu hingga yakin pada pilihan katanya.

Dia muncul enam puluh yard didepanku, mendarat dengan bertelanjang kaki di atas batu hitam dan menyeimbangkan tubuhnya.

Kulit Tanya keperakan dibawah cahaya malam. Rambut pirang ikal panjangnya berpendar pucat, hampir pink seperti strawberi. Matanya yang kuning madu berkilat saat menatapku, yang setengah terpendam dibawah salju. Bibirnya yang penuh tertarik halus membentuk senyuman.

Sangat cantik. Jika aku benar-benar bisa melihatnya. Aku mendesah.

Dia membungkuk ke ujung batu, ujung jari menyentuh permukaannya, badannya bergelung.

Cannonball. Dia membatin.

Dia melentingkan dirinya keatas; tubuhnya menjadi bayangan gelap saat bersalto dengan anggun diantaraku dan bintang-bintang. Dia melipat tubuhnya seperti bola saat menubruk dengan keras tumpukan salju disampingku.

Salju langsung berhamburan seperti badai. Langit diatasku menggelap dan aku tertimbun dibawah kelembutan lapisan salju.

Aku mendesah lagi, tapi tidak bangkit. Kegelapan ini tidak menyakitkan juga tidak membantu pandanganku. Aku masih melihat wajah yang sama.

“Edward?”

Salju beterbangan lagi saat Tanya pelan-pelan menggali. Dia mengusap sisa-sisa salju dari wajahku yang tidak bergerak, dia tidak benar-benar bertemu pandang dengan tatapanku yang kosong.

“Sory,” dia berbisik. “Cuma bercanda.”

“Aku tau. Itu lucu, kok.”

Mulutnya bergerak turun.

“Menurut Irina dan Katie sebaiknya aku membiarkanmu sendirian. Pikir mereka aku mengganggumu.”

“Sama sekali tidak.” aku meyakinkan dia. “Sebaliknya, aku yang bersikap tidak sopan—sangat kasar. Maafkan aku.”

Kau akan pulang, iya kan? pikirnya.

“Aku belum... sepenuhnya... memutuskan itu.”

Tapi kau tidak akan tinggal disini. Pikirannya kini muram, sedih.

“Tidak. Sepertinya tidak akan...membantu.”

Dia meringis. “Itu salahku, iya kan?”

“Tentu saja bukan.” aku berbohong.

Tidak usah bersikap sopan.

Aku tersenyum.

Aku membuatmu tidak nyaman, sesalnya.

“Tidak.”

Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya sangat tidak percaya hingga aku terpaksa tertawa. Satu tawa singkat, diikuti desahan.

“Oke.” Aku akui. “Sedikit.”

Dia ikut mendesah, lalu menumpangkan dagunya ke tangan. Perasaannya kecewa.

“Kau beribu kali lebih indah dari bintang-bintang, Tanya. Tentu saja, kau menyadari itu. Jangan biarkan kebebalanku melemahkan kepercayaan dirimu.” aku sedikit geli jika dia sampai begitu.

“Aku tidak biasa ditolak.” dia menggerutu, bibir bawahnya terangkat cemberut.

“Itu pasti.” Aku setuju, sambil coba menghalau pikiran dia saat ribuan penaklukannya berkelebat. Kebanyakan Tanya memilih manusia—populasi mereka lebih banyak salah satu alasannya, dengan tambahan kehangatan serta kelembutan mereka. Dan selalu berhasrat tinggi, pastinya.

“Dasar Succubus,” godaku, berharap bisa mengalihkan kelebat ingatannya.

Dia menyeringai, menampakan giginya. “Yang asli.”

Tidak seperti Carlisle, Tanya dan saudarinya menemukan nurani mereka belakangan. Pada akhirnya, ketertarikan mereka pada pria lah yang mencegah mereka menjadi pembunuh. Sekarang para pria yang mereka cintai...hidup.

“Saat kau datang kesini,” Tanya berkata pelan, “Aku kira...”

Aku tau apa yang dia pikir kemarin. Dan seharusnya aku sudah menerka itu sebelum kesini. Tapi kemarin aku sedang tidak bisa berpikir sehat.

“Kau mengira aku berubah pikiran.”

“Iya.” dia memberengut.

“Aku menyesal membuatmu berharap, Tanya. Aku tidak bermaksud—aku tidak berpikir. Hanya saja aku pergi dengan... buru-buru.”

“Kurasa kau tidak akan memberitau alasannya, kan...?”

Aku bangkit duduk dan merangkul kakiku, bersikap menghindar. “Aku tidak ingin membicarakan itu.”

Tanya, Irina, dan Kate sangat baik menjalani pilihan hidup mereka. Bahkan lebih baik, dalam beberapa hal, daripada Carlisle. Terlepas dari kedekatannya yang sableng dengan mereka yang seharusnya—dan pernah—menjadi mangsanya, mereka tidak pernah membuat kesalahan. Aku terlalu malu mengakui kelemahanku pada Tanya.

“Masalah perempuan?” dia menebak, mengacuhkan keenggananku.

Aku tertawa hambar. “Tidak seperti yang kau maksud.”

Dia terdiam. Pikirannya beralih ke dugaan lain, dia coba mengurai maksud jawabanku.

“Sedikitpun tidak mendekati.” aku memberitau.

“Satu saja petunjuk?” pohonnya.

“Sudah lah, Tanya.”

Dia diam lagi, masih menebak-nebak. Kuacuhkan dia, dan sia-sia mengagumi bintang.

Akhirnya ia menyerah. Pikirannya mendesak ke hal lain.

Kau akan kemana, Edward, jika kau pergi? Kembali ke Carlisle?

“Sepertinya tidak.” Desisku.

Akan kemana aku? Aku tidak dapat menemukan satu tempatpun di dunia ini yang menarik. Tidak ada yang ingin aku kunjungi. Karena, tidak perduli kemanapun, aku tidak akan pergi kesitu—aku hanya lari dari.

Aku benci itu. Sejak kapan aku jadi pengecut?

Tanya merangkulkan tangannya yang gemulai ke pundakku. Aku bergeming, tapi tidak menampik. Dia tidak bermaksud lebih dari sekedar bersahabat. Sebagian besar.

“Menurutku kau akan kembali.” katanya, suaranya menyisakan sedikit logat Rusia yang telah lama hilang. “Tak perduli apapun itu...atau siapapun...yang menghantuimu. Kau pasti akan menghadapinya. Kau selalu begitu.”

Pikirannya sejalan dengan ucapannya. Aku coba memposisikan diri seperti yang ia gambarkan. Bagian yang selalu menghadapi apapun. Ada baiknya memandang diriku seperti itu lagi. Aku tidak pernah meragukan keteguhanku, kemampuanku menghadapi kesulitan, sebelum kejadian mengerikan di kelas biologi kemarin.

Kucium pipinya, dan cepat-cepat menarik kepalaku ketika ia memalingkan wajah ke arahku. Mulutnya memberengut. Dia tersenyum kering.

“Terima kasih, Tanya. Aku butuh mendengar itu.”

Pikirannya menggerutu. “Sama-sama, kukira. Kuharap kau bisa lebih masuk akal, Edward.”

“Maaf, Tanya. Kau tau kau terlalu baik untukku. Aku hanya... belum menemukan yang kucari.”

“Kalau begitu, jika kau pergi sebelum kita bertemu lagi...Sampai ketemu lagi, Edward.”

“Sampai ketemu lagi.” pada saat mengucapkannya, aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat diriku pergi. Punya cukup kekuatan untuk kembali ke tempat yang kuingini. “Terimakasih lagi, Tanya.”

Dia bangkit berdiri dengan anggun, kemudian lari pergi, membelah hamparan salju dengan sangat cepat hingga kakinya tidak terbenam pada kelembutannya; ia tidak meninggalkan jejak di salju. Dia tidak menoleh ke belakang. Penolakanku mengganggunya lebih dari yang ia kira. Dia tidak ingin menemuiku lagi sebelum aku pergi.

Mulutku merengut menyesal. Aku tidak suka menyakiti Tanya, meskipun perasaannya tidak dalam, tidak terlalu murni, dan juga bukan sesuatu yang bisa kubalas. Tapi tetap saja itu membuatku kurang gentleman.

Kutumpangkan daguku ke lutut dan memandangi bintang lagi, meskipun tiba-tiba aku tidak sabar untuk pulang. Aku tau Alice pasti melihatku datang, dan segera memberitau yang lain. Ini akan membuat mereka gembira—Carlisle dan Esme terutama. Tapi kupandangi bintang-bintang itu lebih lama, coba melihat melampaui wajah di benakku. Diantara diriku dan kerlip di langit, sepasang mata coklat-muda yang membingungkan itu menatapku, kelihatan bertanya-tanya apa arti keputusan ini baginya. Tentu saja, aku tidak tau pasti apa arti tatapan misteriusnya. Bahkan dalam bayanganku, aku tidak dapat mendengar pikirannya. Mata Bella Swan terus bertanya-tanya, tetap menghalangi bintang. Dengan helaan berat aku menyerah, kemudian berdiri. Jika berlari, aku akan tiba di mobil Carlisle kurang dari satu jam...

Dalam ketergesaan menemui keluargaku—dan keinginan menjadi seorang Edward yang menghadapi apapun—aku berlari kencang melintasi padang salju dibawah temaram bintang, tanpa meninggalkan jejak.

“Semua akan baik-baik saja,” Alice menarik napas. Tatapannya kosong, tangan Jasper memegang sikunya, menuntun dia saat rombongan kami berjalan rapat melintasi kafetaria. Rosalie dan Emmet mempin di depan. Emmet terlihat konyol dengan gaya bodyguardnya seakan sedang di daerah musuh. Rose terlihat khawatir juga, tapi lebih pada kesal.

“Tentu saja iya.” aku menggerutu. Kelakukan mereka menggelikan. Jika tidak yakin bisa mengatasi, aku akan tinggal di rumah.

Perbuahan mendadak dari pagi yang normal, bahkan menyenangkan—tadi malam turun salju, dan Emmet serta Jasper tidak terlalu memanfaatkan lamunanku untuk membombardirku dengan bola salju; ketika bosan dengan keacuhanku, mereka saling menyerang sendiri—kewaspadaan berlebihan ini terlihat lucu jika saja tidak menjengkelkan.

“Dia belum datang, tapi dari arahnya nanti...ia tidak akan melawan angin jika kita duduk di tempat biasa.”

“Tentu saja kita akan duduk di tempat biasa. Hentikan, Alice. Kau membuatku kesal. Aku baik-baik saja.”

Dia mengerjap saat Jasper menuntun duduk. Matanya kembali fokus.

“Hmm,” gumamnya, terkejut. “Sepertinya kau betul.”

“Tentu saja iya.” aku memberengut.

Aku tidak suka jadi pusat kerisauan. Tiba-tiba aku bersimpati pada Jasper, teringat bagaimana selama ini kami sangat protektif. Dia bertemu pandang denganku, dan menyeringai.

Mengganggu, bukan?

Aku mendesis padanya.

Apa baru minggu lalu ruangan ini terlihat sangat membosankan? Sehingga rasanya hampir seperti tidur, koma, saat berada disini? Hari ini syarafku tegang. Inderaku waspada penuh; kupantau setiap suara, setiap penglihatan, setiap gerakan udara yang menyentuh kulitku, setiap pikiran. Terutama pikiran. Hanya satu indra yang kumatikan, tak ingin kupakai. Penciuman, tentu saja. Aku tidak bernapas.

Aku mengharapkan nama keluarga Cullen lebih sering disebut di pikiran-pikiran yang keluwati. Seharian aku menunggu, mencari apapun yang diceritakan si anak baru Bella Swan. Coba melihat gosip barunya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada yang menyadari kehadiran lima vampir di kafetaria, sama seperti sebelum anak perempuan itu datang. Beberapa manusia masih memikirkan gadis itu, masih dengan pikiran yang sama dengan minggu lalu. Bukannya bosan, aku malah terkesima.

Apa dia tidak mengatakan apapun tentang diriku?

Mustahil dia tidak menyadari tatapan gelap-ku yang mengancam. Aku melihatnya bereaksi. Sudah pasti aku membuatnya takut. Aku cukup yakin ia akan cerita ke seseorang, mungkin sedikit dibumbui agar lebih baik. Menambah tanda-tanda ancaman yang lain.

Kemudian, ia juga dengar aku minta pindah kelas biologi. Dia pasti menebak, setelah melihat ekspresiku, bahwa dia penyebabnya. Anak perempuan normal pasti akan bertanya kemana-mana, membandingkan pengalaman, mencari kesamaan yang dapat menjelaskan sikapku hingga dia tidak merasa sendirian. Manusia cenderung ingin bersikap normal, diterima. Membaur dengan lingkungannya, seperti sekawanan domba. Kebutuhan seperti itu biasanya kuat pada masa-masa remaja. Tidak terkecuali pada Gadis itu tentunya.

Tapi tidak satupun memperhatikan kami, di meja kami biasanya. Bella pasti sangat pemalu, jika sampai tidak cerita ke siapapun. Barangkali pada ayahnya, mungkin itu orang terdekatnya...meskipun tampaknya tidak begitu, mengingat dia tidak menghabiskan hidupnya bersama ayahnya sebelum ini. Kemungkinan ia lebih dekat dengan ibunya. Tetap saja, aku mesti berpapasan dengan Chief Swan secepatnya dan mendengar pikirannya.

“Ada yang baru?” tanya Jasper.

“Tidak ada. Dia...pasti tidak cerita apa-apa.”

Semua menaikan alis kaget.

“Mungkin kau tidak semengerikan yang kau kira,” Emmet terkekeh, “Berani taruhan aku bisa lebih menakuti dia daripada itu.”

Aku mendelik.

“Sudah tau kenapa...?” Dia masih penasaran dengan kesunyian benak gadis itu.

“Kita sudah membahas itu. Aku tidak tau.”

“Dia akan masuk.” Alice berbisik. Badanku kaku. “Coba bersikap seperti manusia.”

“Manusia, ya?” tanya Emmet.

Dia mengangkat tinju kanannya, membalik telapak tangannya hingga memperlihatkan bola salju yang ia sembunyikan di genggamannya. Tentu saja tidak meleleh. Dia meremas hingga mengeras menjadi bongkahan es. Matanya mengincar Jasper, tapi aku tau kemana pikirannya. Ke Alice, tentu saja. Ketika tiba-tiba esnya meluncur ke Alice, dia menepis santai dengan kibasan jari. Bongkahan es itu terlempar melintasi ruangan, terlalu cepat untuk diikuti mata manusia, lalu menghantam tembok hingga berhamburan. Temboknya rengkah.

Orang-orang disekitarnya memeloti pecahan es yang berserakan di lantai, saling lirik mencari biang onarnya. Mereka tidak mencari terlalu jauh. Tidak ada yang menoleh kesini.

“Sangat manusia, Emmet.” Rosalie menegur mesra. “Kenapa tidak sekalian kau tinju temboknya hingga runtuh?”

“Terlihat lebih impresif jika kau yang melakukannya, sayang.”

Aku pura-pura memperhatikan, tersenyum kecil seakan menikmati gurauan mereka. Aku berusaha tidak melihat ke gadis itu. Tapi kesanalah pendengaranku sepenuhnya.

Aku bisa mendengar ketidaksabaran Jessica pada si murid baru, yang sepertinya sedang melamun, berdiri kaku di antrian. Kulihat, lewat pikiran Jessica, pipi Bella Swan bersemu merah muda oleh darah.

Aku menarik napas pendek, siap-siap menahan napas jika aromanya sampai ke dekatku.

Mike Newton bersama dua gadis itu. Aku mendegar dua suaranya, pikiran dan verbal, ketika bertanya ke Jessica ada apa dengan gadis itu. Aku tidak suka dengan jalan pikirannya, yang merasa teracuhkan oleh lamunan si gadis.

“Tidak apa-apa.” Bella menjawab dengan suara lirih, sangat jernih. Kedengarannya seperti dering bel diantara dengung samar di seantero kafetaria. Tapi itu lebih karena aku sedang menyimaknya dengan keras.

“Hari ini aku minum soda saja,” dia melanjutkan sembari maju mengikuti antrian.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Dia sedang memandangi lantai, berangsur darah menghilang dari wajahnya. Aku cepat-cepat membuang muka, ke Emmet, yang tertawa melihat seringai panik di wajahku.

Kau terlihat sakit, bro.

Aku mengatur mimikku agar terlihat santai.

Di telingaku Jessica berteriak heran dengan selera makan gadis itu. “Kau tidak lapar?”

“Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan.” suaranya memelan, tapi masih sangat jelas.

Kenapa itu menggangguku, rasa prihatin yang tiba-tiba muncul dari pikiran Mike Newton? Memang kenapa jika pikirannya terlalu protektif? Bukan urusanku jika Mike Newton bersikap berlebihan ke dia. Mungkin seperti itu juga sikap yang lain. Bukankah minggu lalu, secara naluri, aku juga ingin melindungi dia? Sebelum ingin membunuhnya...

Tapi apa gadis itu sakit?

Sulit menilainya—dia terlihat sangat lembut dengan kulitnya yang jernih menerawang... kemudian kusadari aku ikut khawatir, sama seperti anak tolol itu, dan kupaksa untuk tidak memikirkan kesehatannya.

Bagaimanapun juga, aku tidak suka memantau dia lewat pikiran Mike. Aku pindah ke Jessica, memperhatikan ketiganya memilih meja. Untung mereka duduk di tempat biasa, di salah satu meja terdepan. Tidak melawan angin, seperti janji Alice.

Alice menyikutku. Dia akan melihat kesini, bersikap manusia.

Aku mengatupkan gigi rapat-rapat dibalik seringai senyumku.

“Tenang, Edward.” sindir Emmet. “Terus terang. Paling ujung-ujungnya kau membunuh satu orang. Dunia tidak akan berakhir.”

“Tunggu saja,” gerutuku.

Emmet tertawa. “Kau mesti belajar melupakan sesuatu. Seperti diriku. Keabadian adalah waktu yang panjang untuk menyesali kesalahan.”

Seketika itu juga, Alice melempar es yang ia sembunyikan ke muka Emmet.

Dia mengerjap, kaget, dan menyeringai waspada.

“Kau yang mulai duluan,” Emmet mencondongkan tubuh ke seberang meja lalu mengibaskan rambutnya yang mengerak beku. Air beterbangan, setengah cair setengah beku.

“Aduh!” keluh Rose. Dia dan Alice menyingkir dari semburan hujan Emmet.

Alice tertawa, dan kami semua kembali menikmati canda ini. Aku bisa melihat di pikiran Alice bagaimana ia mengarsiteki momen sempurna ini. Dan aku tau sang gadis itu—aku mesti berhenti berpikiran begitu, seakan dia satu-satunya perempuan di dunia—bahwa Bella sedang memperhatikan kami tertawa dan bercanda, terlihat bahagia dan normal, seideal lukisan Norman Rockwell.

Alice terus tertawa, dan mengangkat nampannya sebagai perisai. Sang gadis—Bella—pasti masih menonton.

...memandangi keluarga Cullen lagi, seseorang membatin, menarik perhatianku.

Otomatis aku menoleh kearah panggilan yang tak disengaja itu, segera mengenali suaranya sebelum pandanganku sampai—aku sering mendengarnya hari ini.

Tapi mataku sedikit melewati Jessica, dan tertumbuk pada tatapan dalam gadis itu.

Dia cepat-cepat menunduk, bersembunyi dibalik rambutnya.

Apa yang dia pikirkan? Rasa frustasi ini makin lama makin menjadi, bukanya menghilang. Aku mencoba—tidak terlalu yakin karena belum pernah melakukanya—menyelidiki dengan pikiranku pada kesunyian di sekeliling gadis itu. Pendengaran ekstraku selalu muncul alami, tanpa diminta; aku tidak pernah mengupayakannya. Tapi aku berkonsentrasi sekarang, coba menembus penghalang apapun disekelilingnya.

Tidak ada apa-apa selain hening.

Ada apa sih dengan Bella? Batin Jessica, sejalan dengan frustasiku.

“Edward Cullen menatapmu,” dia berbisik di telinga si Swan, sambil cekikikan. Tidak ada nada sinis atau cemburu. Jessica kelihatannya pandai sok bersahabat.

Aku mendengarkan, terlalu tertarik, pada responnya.

“Dia tidak kelihatan marah, iya kan?” dia balik berbisik.

Jadi dia menyadari reaksi liarku kemarin. Tentu saja begitu.

Pertanyaan itu membingungkan Jessica. Aku melihat wajahku di benaknya ketika ia mengecek ekspresiku, tapi aku tidak menatapnya. Aku masih berkonsentrasi pada gadis itu, coba mendengar sesuatu. Hal itu kelihatannya tidak membantu sema sekali.

“Tidak.” jawab Jess, dan aku tau dia berharap bisa berkata iya—bagaimana tatapanku sangat mengganggu pikiran dia—meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu di suaranya. “Apakah seharusnya dia marah?”

“Sepertinya dia tidak suka padaku,” gadis itu kembali berbisik, menelungkupkan kepala di tangan seakan tiba-tiba letih. Aku coba memahami gerakannya, tapi cuma bisa menebak. Mungkin dia memang letih.

“Keluarga Cullen tidak menyukai siapapun,” Jessica meyakinkan dia. “Well, mereka memang tidak memedulikan siapa-siapa.” mereka selalu begitu. Pikirannya menggerutu. “Tapi dia masih memandangimu.”

“Sudah jangan dilihat lagi,” gadis itu mendesis kesal, mengangkat kepalanya untuk memastikan Jessica mematuhinya.

Jessica terkekeh, melakukan apa yang diminta.

Gadis itu tidak mengalihkan pandangan dari mejanya selama sisa istirahat. Sepertinya—sepertinya tentu saja, aku tidak bisa yakin—hal itu disengaja. Kelihatannya sebetulnya ia ingin melihatku. Badannya menggeser sedikit, dagunya hampir menoleh, tapi kemudian ia tahan, menghela napas panjang, dan menatap ke siapapun di mejanya yang sedang bicara.

Kuacuhkan sebagian besar pikiran di meja itu, karena tidak berkaitan dengan dia. Mike Newton merencanakan perang salju sepulang sekolah, tidak sadar telah turun hujan. Butir-butir halus yang meyalang ke atap telah berubah menjadi rintik. Apa dia tidak mendengar perubahannya? Terdengar nyaring kalau buatku.

Ketika jam istirahat selesai, aku masih tetap duduk. Manusia-manusia itu mulai keluar. Tanpa sadar aku membedakan langkah kakinya dari yang lain, seperti ada yang penting atau aneh dari bunyinya. Benar-benar bodoh.

Keluargaku juga belum beranjak. Mereka menunggu keputusanku.

Apa aku akan pergi ke kelas, duduk disamping si gadis, dimana bisa kucium bau darahnya yang bukan main kuatnya itu dan merasakan kehangatan nadinya di kulitku? Apa aku cukup kuat untuk tahan? Atau, cukup satu hari saja?

“Aku...rasa tidak apa-apa,” Alice berkata ragu, “Kau telah memutuskan. Aku pikir kau akan melewati satu jam ini.”

Tapi Alice tau betul bagaimana sebuah keputusan dapat cepat berubah.

“Kenapa mesti memaksakan diri, Edward?” protes Jasper. Meski berusaha tidak merasa puas melihat ganti aku yang lemah, kedengarannya ia sedikit merasa begitu, hanya sedikit. “Pulang lah. Jangan buru-buru.”

“Kenapa mesti dibesar-besarkan?” Emmet tidak setuju, “Pilihannya apa dia akan membunuhnya atau tidak. Lebih cepat tau lebih baik.”

“Aku belum ingin pindah lagi,” Rosalie memprotes. “Aku tidak mau mengulang lagi dari awal. Kita hampir lulus, Emmet. Akhirnya.”

Aku juga tersiksa pada pilihannya. Aku ingin, sangat ingin, menatap kedepan ketimbang lari lagi. Tapi aku juga tidak mau memaksakan diri. Minggu lalu suatu kesalahan bagi Jasper menahan haus terlalu lama; apa ini juga akan menjadi kesalahan sia-sia seperti itu.

Aku tidak mau membuat keluargaku terusir. Mereka tidak akan berterimakasih jika itu sampai terjadi.

Tapi aku ingin masuk ke kelas bilogiku. Harus diakui aku ingin melihat wajahnya lagi.

Akhirnya, alasan itu yang membuatku mengambil keputusan. Penasaran. Aku marah pada diriku sendiri karena meladeninya. Bukankah aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan kesunyian pikiran gadis itu membuatku terlalu penasaran padanya? Tetap saja, disinilah aku, amat terlalu ingin tau.

Aku ingin tau apa yang dia pikirkan. Pikirannya tertutup, tapi matanya sangat terbuka. Mungkin aku bisa membacanya lewat situ.

“Tidak, Rose, kupikir betul-betul akan baik-baik saja,” Alice meyakinkan. “Ini...makin tegas. Aku sembilan 93 persen yakin tidak akan ada kejadian buruk jika dia masuk kelas.” dia mengerling penasaran, bertanya-tanya apa yang merubah pikiranku sehingga penglihatannya lebih pasti.

Apa rasa penasaran cukup untuk membuat Bella Swan tetap hidup?

Emmet betul, tampaknya—kenapa tidak cepat-cepat diselesaikan? Akan kuhadapi godaan itu.

“Ayo masuk kelas,” perintahku, beranjak dari meja. Aku menjauh dari mereka tanpa menoleh kebelakang. Bisa kudengar kecemasan Alice, kecaman Jasper, persetujuan Emmet, dan kejengkelan Rosalie membuntutiku.

Aku belum terlambat. Mr. Banner masih sibuk mempersiapkan percobaan hari ini. Gadis itu telah duduk di mejanya—di meja kami. Wajahnya menunduk lagi, sibuk mencoret-coret buku catatannya. Aku memperhatikan yang dia gambar saat mendekat, penasaran pada hal sepele buah pikirannya. Tapi tidak ada maknanya. Hanya gambar lingkaran-lingkaran acak. Barangkali dia tidak memperhatikan bentuknya, tapi sedang memikirkan hal lain?

Aku menarik kursiku sedikit berisik, membiarkan kakinya menggesek lantai; manusia merasa lebih nyaman ketika mendengar bunyi yang mengawali kehadiran seseorang.

Aku tau dia mendengar; dia tidak mendongak, tapi tangannya melewatkan satu lingkaran, membuat gambarnya tidak imbang.

Kenapa dia tidak mendongak? Mungkin ia takut. Kali ini aku mesti memberi kesan yang lebih baik. Membuatnya berpikir telah membayangkan yang bukan-bukan sebelumnya.

“Halo,” kataku dengan suara pelan, yang biasanya membuat manusia lebih nyaman, menyunggingkan senyum sopan tanpa memperlihatkan gigi.

Dia mendongak, mata-lebar coklatnya terkejut—hampir bingung—dan penuh tanya. Itu adalah tatapan sama yang menghalangi pandanganku selama satu minggu kemarin.

Saat memandang mata-coklat-anehnya yang dalam, aku sadar kebencian itu—kebencian pada gadis ini yang entah bagaimana layak mendapatkannya hanya karena hidup—langsung sirna. Tanpa bernapas, tanpa merasakan aromanya, sulit dibayangkan seseorang serapuh ini pantas dibenci.

Pipinya merona, tidak berkata apa-apa.

Aku terus menatap kedalam matanya, mencari dasarnya, dan coba mengacuhkan rona kulitnya yang mengundang. Aku punya cukup persediaan udara untuk bicara seperlunya.

“Namaku Edward Cullen,” sapaku, meskipun aku tau dia sudah tau. Itu hanya cara sopan untuk memulai pembicaraan. “Aku belum sempat memperkenalkan diri minggu lalu. Kau pasti Bella Swan.”

Dia terlihat bingung—muncul kerut kecil diantara matanya. Butuh setengah detik lebih lama untuk dia menjawab.

“B-bagaimana kau tau namaku?” dia balik bertanya, suaranya gugup.

Aku pasti benar-benar menakutinya. Ini membuatku merasa bersalah; dia begitu lemah. Aku tertawa sopan—itu suara yang kutau membuat manusia rileks. Lagi, aku berhat-hati dengan gigiku.

“Oh, kurasa semua orang tau namamu.” pasti dia baru menyadari dirinya menjadi pusat perhatian di tempat yang membosankan ini. “Seluruh kota telah menantikan kedatanganmu.”

Dia mengerutkan dahi, seakan itu membuatnya tidak senang. Kurasa, bagi orang sepemalu dia, perhatian adalah hal yang tidak mengenakan. Kebanyakan manusia merasa sebaliknya. Kendati tidak mau terlalu menonjol, saat bersamaan mereka mencari perhatian.

“Bukan.” katanya, “Maksudku, kenapa kau memanggilku Bella?”

“Kau mau dipanggil Isabella?” tanyaku heran, bingung kemana arah pertanyaannya. Aku tidak mengerti. Jelas-jelas dia meralatnya berulang kali. Apa manusia memang serumit ini tanpa bantuan suara mentalnya?

“Tidak, aku lebih suka Bella,” jawabnya, menggerakan kepalanya sedikit. Dari sikapnya—jika aku benar membacanya—dia tersiksa antara malu dan bingung. “Tapi kupikir Charlie—maksudku ayahku—pasti memanggilku Isabella dibelakangku—pasti itulah yang diketahui orang-orang disini.” kulitnya bersemu jadi merah muda.

“Oh,” ujarku konyol, cepat-cepat membuang muka.

Aku baru sadar maksudnya: aku kelepasan bicara—ceroboh. Jika saja tidak menguping seharian kemarin, aku akan memanggil dia dengan nama lengkap, seperti yang lainnya. Dia menyadari perbedaan itu.

Aku merasa geram. Dia sangat cepat menebak kelalaianku. Cukup tajam, terutama untuk seseorang yang semestinya takut ketika berada didekatku.

Tapi aku punya masalah yang lebih besar dari sekedar kecurigaan yang tersembunyi di pikirannya.

Aku kehabisan udara. Jika ingin bicara lagi, aku harus mengambil napas.

Akan sulit menghindari percakapan. Sial baginya, semeja denganku berarti menjadi rekan selab-ku, dan kami mesti berpasangan hari ini. Akan terlihat aneh—dan sangat tidak sopan—jika mengacuhkannya selama mengerjakan tugas berdua. Itu akan membuat dia lebih curiga, lebih takut...

Aku menjauh sebisanya tanpa harus menggeser dudukku, menjulurkan kepala kesamping. Aku memberanikan diri, mengunci otot-ototku, dan menghirup cepat dalam-dalam lewat mulut.

Ahh!

Sangat Sakit. Bahkan tanpa mencium baunya, aku bisa merasakan aromanya di lidahku. Kerongkonganku terbakar hebat lagi. Gejolaknya sama kuatnya dengan minggu lalu.

Aku mengatupkan gigi rapat-rapat sambil berusaha menguasai diri.

“Mulai.” perintah Mr. Banner.

Dibutuhkan setiap titik pengendalian-diri yang kuperoleh selama tujuh-puluh tahun kerja-keras hanya untuk tersenyum dan menoleh ke gadis itu, yang sedang menunduk memandangi meja.

“Kau duluan, partner?” aku menawarkan.

Dia menatapku. Seketika itu juga ekspresinya berubah kosong, matanya lebar. Apa ada yang ganjil dengan ekspresiku? Apa dia ketakutan lagi? Dia tidak bilang apa-apa.

“Atau aku bisa memulainya kalau kau mau?” aku berkata pelan.

“Tidak.” katanya, dan wajahnya berubah dari putih jadi merah muda lagi. “Aku akan memulainya.”

Aku memilih memperhatikan peralatan yang ada di meja, sebuah mikroskop, sekotak slide, daripada mengawasi darahnya mengalir di balik kulitnya yang jernih. Aku mengambil satu napas cepat lagi, melalui sela gigi, dan menjengit ketika rasanya membuat tenggorokanku perih.

“Profase.” sebutnya setelah pengamatan singkat. Dia sudah akan mengganti slide-nya, meskipun tadi hampir tidak menelitinya.

“Boleh aku melihatnya?” secara reflek—hal yang bodoh, seakan aku satu spesies dengannya—aku menggapai menghentikan tangannya. Selama sedetik, kehangatan kulitnya membakar kulitku. Rasanya seperti tersengat listrik—tentunya jauh lebih panas dari sekedar sembilan-puluh-delapan-koma-enam derajat. Panasnya membakar cepat dari tangan ke lengan. Ia buru-buru menarik tangannya.

“Maaf,” gumamku lewat sela gigi. Aku butuh sesuatu untuk dilihat. Kuambil mikroskopnya dan kuteliti sebentar. Dia benar.

“Profase,” aku setuju.

Aku masih belum siap menoleh ke dia. Bernapas cepat lewat gertak gigi sambil mengabaikan dahaga yang membakar. Aku berkonsentrasi pada satu tugas sederhana, menulis pada lembar kerja, dan kemudian mengganti slide yang baru.

Apa yang dia pikirkan sekarang? Apa rasanya bagi dia, saat menyentuh tanganku? Kulitku pasti sedingin es—menjijikan. Tidak heran dia diam.

Aku menatap sekilas slide-nya.

“Anafase,” aku berkata sendiri saat akan menulis.

“Boleh kulihat?” tanyanya.

Aku menatapnya, terkejut karena dia bersungguh-sungguh. Tangannya mengulur ke mikroskop. Dia tidak terlihat takut. Apa dia benar-benar mengira jawabanku salah?

Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat wajahnya saat menyodorkan mikroskop ke dia.

Dia melihat ke lensa dengan sangsi, dan langsung kecewa. Sudut mulutnya bergerak turun.

“Slide tiga?” dia meminta, dengan mata masih di mikroskop, tapi mengulurkan tangan. Aku menaruh slide ketiga ke tangannya, tidak membiarkan kulitku menyentuhnya kali ini. Duduk disampingnya serasa duduk disamping lampu pijar. Tubuhku pelan-pelan menghangat.

Dia tidak terlalu lama melihat. “Interfase,” katanya datar—mungkin berusaha terlalu keras agar terdengar seperti itu—kemudian mendorong mikroskopnya ke arahku. Dia tidak menyentuh kertas kerjanya, menungguku yang menulis. Aku meneliti ulang—dia benar lagi.

Kami berhasil selesai dengan cara ini, bicara satu kata bergantian dan tidak bertemu pandang. Kami yang pertama selesai—lainnya tampak kesulitan. Mike Newton sulit berkonsentrasi—dia berusaha mengawasi Bella dan aku.

Aku harap dia tetap tinggal dimanapun dia pergi kemarin, batin Mike, sambil menatapku sebal. Aku tidak tau para anak cowok kesal padaku. Ini perkembangan baru, sejak kedatangan gadis ini sepertinya. Bahkan lebih menariknya, aku menemukan—dalam kekagetanku—kekesalan serupa pada mereka.

Kulihat lagi gadis itu, terpesona pada besarnya malapetaka, kehebohan, serta kerusakan yang ditimbulkan pada hidupku, tak perduli betapa normal, dan tidak mengancamnya sosok dia bagiku.

Itu bukannya aku tidak melihat apa yang Mike lihat. Bisa dibilang dia cukup cantik...dalam cara yang tidak biasa. Lebih baik dari sekedar manis, wajahnya menarik. Tidak cukup simetris—dagunya yang kecil tidak imbang dengan tulang pipinya yang lebar; pewarnaannya ekstrim—kulitnya yang terang dengan rambutnya yang gelap terlihat kontras; dan ada matanya, yang penuh rahasia...

Sepasang mata yang mendadak sepertinya menatapku bosan.

Aku menatap balik, coba menerka satu dari segala rahasia dirinya.

“Kau memakai lensa kontak, ya?” dia tiba-tiba bertanya.

Pertanyaan yang aneh. “Tidak.” aku hampir tersenyum pada ide mempertajam penglihatan-ku.

“Oh,” gumamnya. “kupikir ada yang berbeda dengan matamu.”

Mendadak moodku lenyap saat menyadari hari ini bukan cuma aku yang berusaha mengorek keterangan.

Aku mengangkat bahu, bahuku kaku, dan berpaling ke depan kelas.

Tentu saja ada yang berubah pada mataku. Untuk persiapan hari ini, godaan hari ini, aku menghabiskan sepanjang akhir pekan dengan berburu, memuaskan dahagaku sebanyak mungkin, agak kebanyakan sepertinya. Aku menenggelamkan diriku dengan darah binatang banyak-banyak. Bukannya itu akan banyak berguna jika dibanding aroma menggiurkan yang menguar dari kulitnya. Minggu lalu, mataku hitam karena haus. Sekarang, tubuhku dibanjiri darah, mataku berubah hangat keemasan. Kuning terang akibat usaha berlebihan memuaskan dahaga.

Kelepasan bicara lagi. Jika tau maksudnya, aku akan menjawab iya.

Dua tahun aku di sekolahan ini, dia satu-satunya yang memperhatikanku dengan cukup teliti untuk menyadari perubahan warnah mataku. Yang lainnya, saat terpesona dengan keluargaku, cenderung buru-buru berpaling saat kami balas menatap. Mereka bersembunyi minder, secara naluri mengacuhkan detail sosok kami agar jangan terlalu mengerti. Acuh adalah berkah bagi pikiran manusia.

Kenapa harus gadis ini yang melihat terlalu banyak?

Mr. Banner mendekati meja kami. Dengan lega aku menghirup napas dari udara bersih yang dibawanya sebelum bercampur dengan aroma gadis ini.

“Jadi, Edward,” ujarnya, meneliti jawaban kami, “tidakkah kau pikir Isabella perlu diberi kesempatan menggunakan mikroskop?”

“Bella.” spontan aku meralat. “Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga dari lima slide ini.”

Pikiran Mr. Banner berubah skeptis saat menoleh ke sang gadis. “Apa kau pernah melakukan percobaan ini sebelumnya?”

Aku memperhatikan, tertarik, saat dia tersenyum, terlihat sedikit malu

“Tidak dengan akar bawang merah.”

“Whitefish Blastula?” Mr. Banner menyelidik.

“Yeah.”

Ini mengejutkan dia. Percobaan hari ini adalah materi yang dia ambil dari kelas khusus. Dia mengangguk-angguk ke gadis itu. “Apa kau masuk kelas khusus di Phoenix?”

“Ya.”

Ternyata untuk ukuran manusia dia termasuk pintar. Ini tidak mengejutkan.

“Well,” Ucap Mr. Banner, sambil mengerutkan mulutnya. “Kupikir kalian cocok menjadi partner.” dia berputar dan menjauh sambil bergumam pelan, “Agar yang lainnya dapat kesempatan untuk belajar,” Aku ragu gadis itu bisa mendengarnya. Dia kembali menggambar lingkaran.

Dua kali salah dalam satu jam. Sangat memalukan. Meski benar-benar tidak tau apa yang dia pikirkan—seberapa besar ketakutannya, seberapa besar kecurigaannya—aku harus meninggalkan kesan yang lebih baik.

“Sayang sekali turun salju, ya kan?” kataku, mengulang pembicaraan ringan yang telah kudengar ratusan kali hari ini. Topik sederhana yang membosankan. Tentang cuaca—selalu aman.

Dia menatapku dengan ekspresi ragu yang terlihat jelas di matanya—reaksi tidak wajar untuk ucapanku yang wajar. “Tidak juga.” jawabnya, mengejutkanku lagi.

Aku kembali mengarahkan pembicaraan ke topik sepele. Dia berasal dari kota yang cuacanya hangat—kulitnya menunjukan itu, disamping kejujurannya—dan cuaca dingin pasti membuat dia tidak nyaman. Sentuhan esku pasti membuatnya begitu...

“Kau tidak suka dingin.” aku menebak.

“Atau basah.” dia menambahkan.

“Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu.” mungkin sebaiknya kau tidak datang kesini, aku ingin menambahkan. Mungkin sebaiknya kau kembali ke asalmu.

Rasanya aku tidak terlalu yakin menginginkan hal itu. Aku akan selalu ingat aroma darahnya—apa ada jaminan aku tidak akan mengikuti dia kesana? Disamping itu, jika ia pergi, pikirannya akan selamanya jadi misteri. Teka teki yang akan terus mengganggu.

“Kau tak tau bagaimana rasanya.” dia berkata pelan, nadanya dingin.

Jawabannya tidak seperti yang kuharap. Itu membuatku ingin bertanya lagi.

“Lalu kenapa kau datang kesini.” tanyaku, yang segera sadar kedengarannya terlalu ingin tau, tidak santai seperti percakapan biasa. Tidak sopan, terlalu menyelidik.

“Jawabannya...rumit.”

Mata lebarnya mengerjap, tidak menambahkan apa-apa lagi. Itu membuatku hampir meledak penasaran—rasa penasaran itu membakar sama panasnya dengan dahaga di tenggorokanku. Sebetulnya, aku merasa sedikit lebih mudah untuk bernapas; godaan itu lebih bisa ditahan setelah terbiasa.

“Rasanya aku bisa mengerti.” aku memaksa. Mungkin sikap sopan dapat membuat dia menjawab pertanyaanku selama aku nekat menanyakannnya.

Pandangannya menunduk lagi. Ini membatku tidak sabar. Aku ingin menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya agar bisa membaca matanya. Tapi itu terlalu bodoh—berbahaya—untuk menyentuh kulitnya lagi.

Mendadak ia mendongak. Rasanya lega bisa melihat emosi di matanya lagi. dia bicara cepat, buru-buru.

“Ibuku menikah lagi.”

Ah, ini sangat manusia, mudah dipahami. Kesedihan tampak di matanya dan memunculkan kerut diantara alisnya.

“Itu tidak terdengar terlalu rumit.” kataku. Suaraku halus tanpa perlu dibuat-buat. Kesedihan dia anehnya membuatku merasa tidak berdaya, berharap bisa melakukan sesuatu untuk membuatnya merasa lebih baik. Dorongan yang aneh. “Kapan itu terjadi?”

“September lalu.” dia mengeluh panjang—lebih dari mendesah. Kutahan napasku ketika kehatangatan napasnya menyapu wajahku.

“Dan kau tidak menyukainya.” aku menerka, memancing lebih banyak.

“Tidak, Phil baik.” jawabnya, membetulkan asumsiku. Muncul seberkas senyum di ujung bibirnya yang penuh. “Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik.”

Ini tidak cocok dengan skenario yang kubangun.

“Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?” aku bertanya lagi, suaraku kelewat penasaran. Terdengar terlalu mencampuri. Yang harus kuakui, memang begitu.

“Phil sering bepergian. Dia pemain bola.” berkas senyumnya makin tampak; pilihan karirnya membuat dia kagum.

Aku ikut tersenyum. Aku bukan sedang ingin membuat dia nyaman. Aku hanya ingin membalas senyumanya—untuk memancing lebih banyak.

“Apakah dia terkenal?” aku melihat ke bundelan daftar nama pemain profesional di kepalaku, mengira-ngira Phil yang mana...

“Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal.” lagi-lagi tersenyum, “Benar-benar liga kecil. Dia sering berpindah-pindah.”

Daftar pemain di kepalaku langsung ganti, dan tabulasi perkiraan yang baru segera muncul tidak sampai sedetik kemudian. Pada saat bersamaan, aku membayangkan skenario baru.

“Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya ia bisa bepergian dengannya.” kataku. Membuat asumsi kelihatannya lebih mudah untuk memancingnya cerita daripada bertanya. Dan berhasil lagi. Dagunya terangkat, ekspresinya mendadak datar.

“Tidak, dia tidak mengirimku ke sini.” katanya, suaranya berubah tajam. Tebakanku sepertinya menyinggung dia, meskipun aku tidak tau kenapa. “Aku sendiri yang mau.”

Aku tidak tau maksudnya, atau alasan dibalik nada bicaranya. Aku benar-benar tidak paham.

Jadi aku menyerah. Dia benar-benar tidak masuk akal. Dia tidak seperti kebanyakan manusia. Mungkin bukan hanya keheningan pikiran dan semerbak darahnya yang tidak umum dari dia.

“Aku tak mengerti.” aku mengakui, sebal telah kalah.

“Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil.” dia menjelaskan pelan-pelan, nadanya makin sayu di tiap katanya, “Ini membuatnya tidak bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih berkualitas bersama Charlie.”

Kerut tipis diantara matanya makin dalam.

“Tapi sekarang kau tidak bahagia,” gumamku. Aku tidak bisa berhenti menebak keras-keras, berharap mendapat reaksi darinya. Kali ini, ternyata tidak terlalu keliru.

“Terus?” ujarnya, seakan tidak ada lagi yang bisa dipertimbangkan.

Aku menatap matanya, merasa akhirnya berhasil melihat kedalam hatinya. Dalam satu kata itu dia menempatkan dirinya di tempat paling bawah dalam prioritas hidupnya. Tidak seperti manusia lainnya, kebutuhannya sendiri ditempatkan paling dasar.

Dia lebih mementingkan orang lain.

Saat melihat hal ini, misteri dibalik pikirannya yang sunyi mulai sedikit terungkap.

“Itu tidak adil.” tanggapku ringan. Aku mengangkat bahu, coba terlihat santai, sambil menyembunyikan keingin tauanku yang makin besar.

Dia tertawa dingin. “Tidakkah ada yang pernah memberitaumu? Hidup tidak adil.”

Aku ingin ikut tertawa, meskipun sama tidak merasa gembira. Aku tau sedikit tentang hidup yang tidak adil. “Aku yakin pernah mendengarnya disuatu tempat sebelum ini.”

Dia menatapku balik, terlihat bingung lagi. Matanya mengerjap sesaat, dan kembali menatapku lagi.

“Ya sudah, itu saja.” dia memberitau.

Tapi aku belum mau menyudahi pembicaraan ini. Dua kerut V diantara matanya, sisa kesenduannya, menggangguku. Aku ingin menghapusnya dengan ujung jariku. Tapi, tentu saja, aku tidak dapat menyentuhnya. Itu sangat tidak aman.

“Kau pandai berpura-pura.” aku berkata pelan, masih mempertimbangkan hipotesa selanjutnya. “Tapi aku berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kau perlihatkan pada orang lain.”

Dia mengerutkan muka, matanya menyipit dan mulutnya mencebik kesamping, lalu ia membuang muka kedepan. Dia tidak suka saat tebakanku benar. Dia bukan martir biasa—ia tidak ingin orang lain tau penderitaannya.

“Apa aku salah?”

Badannya bergerak gelisah, tapi pura-pura tidak mendengar.

Itu membuatku tersenyum. “Kurasa tidak,”

“Kenapa ini penting buatmu?” tuntutnya, masih membuang muka.

“Pertanyaan yang bagus.” aku akui, lebih pada diriku sendiri daripada menjawabnya.

Ketajamannya lebih baik daripadaku—dia langsung melihat ke inti masalah sementara aku berpusing di pinggiran, menebak asal-asalan. Detail kehidupan manusia seharusnya tidak penting buatku. Suatu kesalahan untuk peduli dengan isi pikirannya. Selain melindungi keluargaku dari kecurigaan, problem manusia tidak penting.

Aku tidak biasa kalah dalam hal intuisi. Aku terlalu mengandalkan pendengaran ekstraku—kelihatannya aku tidak sepeka seperti yang kupikir.

Dia mengeluh sambil masih memandang kesal ke depan kelas. Ekspresi frustasinya terlihat lucu. Semua situasi ini, pembicaraan ini, lucu. Belum pernah ada orang yang berada dalam situasi seberbahaya ini dariku kecuali gadis kecil ini—kapan saja, kalau aku terlena, aku bisa menghirup lewat hidung dan menyerangnya sebelum bisa kucegah—dan dia kesal karena aku belum menjawab pertanyaannya.

“Apa aku mengganggumu.” tanyaku, sambil tersenyum tanpa sebab.

Dia bermaksud mengerling sekilas, tapi tatapannya terperangkap pandanganku.

“Tidak juga.” Dia memberitau. “Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku sangat mudah ditebak—ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka.”

Keningnya mengerut, menggerutu.

Aku menatapnya terheran-heran. Alasan dia kesal karena menurutnya aku melihat dirinya terlalu mudah. Sungguh aneh. Aku belum pernah berusaha sekeras ini untuk bisa memahami seseorang selama hidupku—atau lebih tepatnya eksistensiku, hidup bukan istilah yang tepat. Aku tidak bisa disebut hidup.

“Kebalikannya,” bantahku, merasa aneh... khawatir, seakan ada bahaya tersembunyi yang tidak bisa kulihat. Tiba-tiba aku berada di tubir jurang, gelisah. “Aku malah sulit menebakmu.”

“Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang.” dia menebak, membuat asumsinya sendiri, yang lagi-lagi, tepat sasaran.

“Biasanya.” aku mengiyakan.

Aku tersenyum lebar, membiarkan mulutku tertarik kebelakang untuk memperlihatkan kilatan barisan gigi tajam dibaliknya.

Itu kelakukan bodoh. Tapi entah kenapa aku sangat ingin memberi peringatan pada gadis itu. Badannya duduk lebih dekat dari sebelumnya, tanpa sadar bergeser selama pembicaraan tadi. Semua isyarat kecil yang biasanya menakuti manusia kelihatannya tidak berlaku pada gadis ini. Kenapa dia tidak juga lari ketakutan dariku dengan dihantui teror mengerikan? Tentunya dia cukup melihat sisi gelapku untuk menyadari bahayanya, sejeli sebagaimana dia kelihatanya.

Aku tidak bisa melihat apa peringatanku menimbulkan efek. Mr Banner baru saja menyuruh semua untuk tenang, dan gadis itu langsung berpaling dariku. Dia terlihat lega karena teralihkan, jadi mungkin secara tidak sadar dia mengerti.

Aku harap dia begitu.

Aku menyadari muncul kekaguman dalam diriku, meskipun sudah coba kuusir. Aku tidak boleh mendapati Bella Swan menarik. Aku tidak akan sanggup menahan diriku. Tapi belum apa-apa aku sudah tidak sabar ingin bicara dengannya. Aku ingin tau lebih banyak tentang ibunya, kehidupannya sebelum kesini, hubungan dia dengan ayahnya. Semua hal sepele yang akan mengungkap kepribadiannya. Tapi setiap detik yang kuhabiskan bersamanya adalah suatu kesalahan, resiko yang tidak semestinya dia tanggung.

Tidak sadar, tiba-tiba ia mengibas rambutnya tepat pada saat aku mengambil napas. Gelombang pekat aromanya langsung memukul belakang tenggorokanku.

Ini sama dengan waktu pertama kali—seperti bola penghancur. Kesakitan akibat api yang membakar dahagaku membuatku pusing. Aku harus mencengkram meja lagi agar tetap duduk. Kali ini aku lebih bisa mengontrolnya. Minimal aku tidak merusak apa-apa. Monster dalam diriku menggeram, tapi tidak menikmati kesakitanku. Dia terikat kencang. Paling tidak untuk saat ini.

Aku berhenti bernapas, dan menjauh sebisanya dari gadis itu.

Tidak, aku tidak boleh mendapati dia menarik. Semakin menarik dia bagiku, semakin besar kemungkinan aku akan membunuhnya. Aku sudah membuat dua kesalahan kecil hari ini. Apa aku akan membuat yang ketiga, yang tidak kecil?

Begitu bel berbunyi, aku langsung cepat-cepat keluar—mungkin menghancurkan segala kesan baik yang tadi aku bangun. Lagi, di luar aku menghirup dalam-dalam udara segar yang lembab seakan itu ramuan penyembuh. Aku pergi sejauh mungkin dari gadis itu.

Emmet menunggu di depan kelas Spanyol. Dia melihat ekspresi liarku sekilas.

Bagaimana tadi? Dia membatin khawatir.

“Tidak ada yang mati.” aku bergumam.

Kurasa itu berita baik. Saat aku melihat Alice kabur dari kelas, kukira...

Dalam perjalanan masuk kelas, aku melihat ingatannya barusan, melihat keluar lewat pintu yang terbuka dari kelas sebelumnya: Alice berjalan panik dengan wajah kosong melintasi lapangan menuju gedung kelas biologi. Tadi ia ingin ikut mengejar, tapi kemudian memutuskan untuk tinggal. Jika Alice butuh bantuan, ia akan bilang...

Aku menutup mataku ngeri sekaligus jijik saat tiba di kursi. “Aku tidak sadar tadi itu segitu dekat. Tadi aku tidak berniat akan... aku tidak tau seburuk itu,” bisikku.

Memang tidak. Dia meyakinkan aku. Tidak ada yang mati, iya kan?

“Iya.” desisku lewat sela gigi. “Kali ini.”

Mungkin lain kali akan lebih mudah.

“Tentu.”

Atau, mungkin kau akan membunuhnya. Dia mengangkat bahu. Kau bukan orang pertama yang mengacau. Tidak akan ada yang menuduhmu teledor. Kadang memang ada orang yang baunya terlalu nikmat. Aku kagum kau bisa menahannya selama ini.

“Itu tidak menolong, Emmet.”

Aku menentang penerimaannya pada ide bahwa aku dapat membunuh gadis itu, seakan itu hal yang tidak terelakan. Apa dia yang salah jika baunya menggiurkan?

Aku tau ketika itu terjadi padaku maka..., Emmet terkenang, membawaku kembali ke lima puluh tahun yang lalu, ke sebuah jalan pedesaan. Waktu itu petang, hampir malam. Seorang wanita paruh baya sedang mengangkat cuciannya dari seutas tali yang membentang diantara dua pohon apel. Aroma apel menggantung kuat di udara—masa panan telah selesai dan sisa-sisa buah yang rusak berserakan di tanah, dari luka di kulitnya menguar bau kental yang pekat. Aroma segar rumput yang baru dipotong menjadi latar. Harmonis. Emmet sedang menyusuri jalan itu, baru kembali setelah dimintai tolong Rosalie. Langit keunguan diatasnya, jingga di sebalah barat pepohonan. Dia sudah akan membelok di ujung jalan dan tidak ada alasan untuk mengingat sore itu, kecuali kemudian angin malam menerbangkan sprei putih yang baru akan diambil dan mengehembuskan aroma perempuan itu ke wajah Emmet.

“Ah,” aku menggeram pelan. Seakan ingatanku masih belum cukup.

Aku tau. Tidak sampai setengah detik. Aku bahkan tidak berpikir untuk menahannya.

Ingatannya jadi terlalu gamblang untuk ditahan.

Aku langsung terlonjak, gigiku terkatup sangat rapat hinga bisa memotong besi.

“Esta bien, Edward?” tanya Senora Goff, terkejut dengan gerakan mendadakku. Aku bisa melihat wajahku di pikirannya, dan aku tau aku terlihat jauh dari baik-baik saja.

“Me perdona,” bisikku, sambil segera menuju pintu.

“Emmet—por favor, puedas tu ayuda a tu hermano?” pinta Senora Goff pada Emmet, tanpa menahanku keluar kelas.

“Tentu saja.” Aku dengar Emmet menjawab. Dan dia sudah mengikutiku.

Dia mengikutiku menjauh dari kelas, hingga berhasil mengejar dan memegang pundakku.

Aku menampiknya dengan kekuatan yang tidak perlu. Itu akan meremukan tulang lengan manusia, dan telapak tangannya sekaligus.

“Sori, Edward.”

“Aku tau.” aku menghirup panjang, membersihkan kepala dan paru-paruku.

“Apa seburuk seperti itu?” dia bertanya, berusaha tidak memikirkan aroma dan rasanya saat menanyakan itu, dan tidak terlalu berhasil.

“Lebih parah, Emmet, lebih parah.”

Dia terhenyak.

Mungkin...

“Tidak, tidak akan lebih baik jika aku melupakannya. Kembali ke kelas, Emmet. Aku ingin sendirian.”

Dia meninggalkanku tanpa berkomentar atau berpikir, cepat-cepat menjauh. Ia akan mengatakan ke guru Spanyol kami bahwa aku sakit, atau bolos, atau aku ini seorang vampir berbahaya yang lepas kendali. Apa alasan dia penting? Mungkin aku tidak akan kembali. Mungkin aku harus pergi.

Aku ke mobil lagi, menunggu hingga sekolah usai. Bersembunyi. Lagi.

Aku seharusnya menggunakan waktuku untuk mengambil keputusan atau coba memantapkan diri. Tapi, seperti seorang pecandu, aku justru menyapu gumaman-gumaman pikiran yang ada didalam kelas. Suara-suara yang sangat kukenal muncul, tapi aku tidak sedang tertarik mendengarkan penglihatan Alice atau keluhan Rosalie. Cukup mudah menemukan Jessica, tapi gadis itu sedang tidak besamanya. Jadi aku terus mencari. Pikiran Mike Newton menarik perhatianku, dan akhirnya aku menemukan lokasi gadis itu. Di kelas olahraga bersama Mike Newton. Dia kesal, karena tadi aku bicara dengan gadis itu di kelas biologi. Dia sedang mengejar tanggapannya saat menyinggung topik itu...

Aku belum pernah melihat dia benar-benar bicara dengan siapapun sebelumnya. Tentu saja ia akan melihat Bella menarik. Aku tidak suka caranya menatap Bella. Tapi Bella tidak kelihatan terlalu bersemangat. Apa katanya tadi? 'aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya senin lalu.' Kira-kira seperti itu. Kedengarannya dia tidak takut. Pembicaraannya paling-paling tidak penting...

Dia terus berpikir negatif seperti itu, senang dengan ide bahwa Bella kelihatannya tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan denganku tadi. Ini menggangguku lebih dari semestinya, jadi aku berhenti mendengarkan.

Aku menyalakan CD musik rock, menyalakan keras-keras hingga suara-suara lainnya tenggelam. Aku harus berkonsentrasi penuh pada musiknya untuk mencegahku kembali melayari pikiran Mike Newton, untuk mengintai gadis polos itu...

Aku mencuri-curi beberapa kali, setelah hampir satu jam. Bukan mengintai, aku coba meyakinkan diriku. Hanya bersiap-siap. Aku ingin tau kapan tepatnya ia akan keluar dari ruang olahraga, ketika akan tiba di parkiran. Aku tidak mau kaget.

Saat murid-murid mulai keluar dari ruang olahraga, aku keluar dari mobil, tidak yakin kenapa. Diluar hujan rintik-rintik—kuacuhkan saat mulai membasahi rambutku.

Apa aku ingin dia melihatku ada di sini? Apa aku berharap ia akan datang bicara padaku? Apa yang kulakukan?

Meskipun terus meyakinkan diri untuk kembali ke mobil, karena sikap tidak bertanggung jawab ini, aku tetap tidak bergerak. Aku melipat tangan di dada dan bernapas sangat pelan ketika melihat dia berjalan ke arahku. Sudut bibirnya turun. Dia tidak melihatku. Beberapa kali dia melihat ke awan sambil meringis, seakan mereka menyinggung perasaannya.

Aku merasa kecewa ia sampai di mobil sebelum melewatiku. Apa memangnya dia akan bicara denganku? Apa aku akan bicara denganya?

Dia masuk ke dalam truk Chevy merah kusam, si bongsor karatan yang umurnya lebih tua dari ayahnya. Aku memperhatikan dia menyalakan truknya—mesin tua itu menderum lebih keras dari kendaran-kendaran lain di parkiran—dan kemudian menjurkan tangannya kearah penghangat. Udara dingin pasti membuatnya tidak nyaman—dia tidak suka. Dia menyisir rambutnya dengan jari, mengarahkan ke penghangat seakan sedang mengeringkan rambut. Aku membayangkan bagaimana baunya di dalam sana, dan segera membuang jauh-jauh pikiran itu.

Dia melihat sekitar sebelum mundur, dan akhirnya melihat ke arahku. Dia menatapku balik hanya setengah detik, dan bisa kulihat di matanya ia terkejut sebelum kemudian berpaling dan memundurkan truknya. Tapi kemudian mendecit berhenti lagi, belakang truknya hampir menyenggol Toyota Corolla milik Erin Teague.

Dia menatap kaca spionnya, mulutnya menganga ngeri. Ketika mobil lain lewat, ia mengecek spionnya dua kali sebelum pelan-pelan keluar dari tempat parkir, sangat hati-hati hingga membuatku geli. Mungkin di pikirannya dia itu berbahaya saat mengendarai truk jompo itu.

Bayangan seorang Bella Swan berbahaya bagi orang lain, tak perduli apapun yang dikendarainya, membuatku tertawa saat dia melintas, memandang lurus kedepan.

3. Fenomena

Aku tidak haus, tapi kuputuskan untuk tetap berburu. Sedikit pencegahan, meski aku tau tetap tidak akan cukup.

Carlisle ikut menemani; kami belum sempat bicara berdua sejak aku kembali. Saat berlari menembus kegelapan hutan, ia mengingat kembali ucapan perpisahan satu minggu lalu.

“Edward?”

“Aku harus pergi, Carlisle. Aku harus pergi sekarang juga.”

“Apa yang terjadi.”

“Tidak ada. Belum. Tapi akan terjadi, jika aku tinggal.”

Dia menggapai tanganku, tapi aku menjauh. Dan bisa kurasakan betapa itu menyakiti perasaannya.

“Aku tidak mengerti.”

“Apa kau pernah...apa ada masa dimana...”

Kulihat diriku menarik napas panjang, melihat kilat liar di mataku melalui tatapannya yang prihatin.

“Pernahkah ada orang yang baunya lebih mengundang bagimu dari yang lain? Sangat sangat mengundang?”

“Oh.”

Saat tau dia mengerti, wajahku tertunduk malu. Dia menjangkau untuk menyentuhku, tak perduli aku coba menghindar lagi, dan memegang pundakku.

“Lakukan apa yang harus kau lakukan untuk menahannya. Aku akan merindukanmu. Ini, bawa mobilku. Ini lebih cepat.”

Sekarang dia bertanya-tanya, apa waktu itu ia melakukan hal yang tepat dengan mengirimku pergi. Khawatir telah menyakiti perasaanku karena kurang percaya padaku.

“Tidak.” bisikku sambil lari. “Memang itu yang kubutuhkan. Jika kau memintaku tetap tinggal, sangat mungkin aku akan mengkhianati kepercayaan itu.”

“Aku sangat sedih kau menderita, Edward. Tapi kau harus melakukan apa yang kau bisa untuk menjaga putri Chief Swan tetap hidup. Bahkan jika harus meninggalkan kami lagi.”

“Aku tau, aku tau.”

“Lantas kenapa kau kembali? Kau tau betapa bahagianya aku melihat dirimu lagi, tapi jika ini terlalu sulit...”

“Aku tidak suka jadi pengecut,” aku mengaku.

Kami melambat—hampir berlari normal.

“Tapi itu lebih baik daripada membahayakan dia. Dia akan pergi dalam satu atau dua tahun lagi.”

“Kau betul, aku tau itu.” Sebetulnya perkataan Carlisle justru membuatku lebih ingin tinggal. Gadis itu akan pergi satu atau dua tahun lagi...

Carlisle berhenti dan aku ikut berhenti; dia memperhatikan ekspresiku.

Tapi kau tidak akan pergi, iya kan?

Aku tidak menjawab.

Apa karena harga diri, Edward? Tidak ada yang memalukan dalam—

“Bukan, bukan karena harga diri yang membuatku tinggal. Tidak kali ini.”

Apa karena tidak ada tempat yang bisa kau tuju?

Aku tertawa pendek. “Tidak. Hal itu tidak akan menghentikanku, jika aku bisa membuat diriku pergi.”

“Tentu kami akan ikut, jika itu yang kau butuhkan. Kau hanya perlu minta. Kau selalu ikut pindah tanpa mengeluh buat yang lain. Mereka tidak akan kesal.”

Aku mengangkat sebelah alisku.

Dia tertawa. “Iya, Rosalie mungkin, tapi di berhutang padamu. Bagaimanapun juga, jauh lebih baik kita pergi sekarang, sebelum ada insiden, daripada nanti, setelah ada korban jiwa.” pada akhirnya candanya lenyap.

Aku mengacuhkan kata-katanya.

“Iya,” aku menyetujui. Suaraku parau.

Tapi kau tidak akan pergi?

Aku mendesah. “Seharusnya aku pergi.”

“Apa yang menahanmu disini, Edward? Aku tidak bisa menangkap maksudmu...”

“Aku tidak tau apa bisa menjelaskannya.” bahkan ke diriku sendiri. Itu tidak masuk akal.

Dia menilai ekspresiku.

Tidak, aku tidak mengerti. Tapi aku akan menghargai privasimu, jika itu kemauanmu.

“Terima kasih. Kau terlalu baik, mengingat bagaimana aku tidak pernah memberikan privasi ke siapapun.” dengan satu pengecualian. Dan aku sedang berusaha mengatasi itu, iya kan?

Kita masing-masing punya kebiasaannya sendiri. Dia tertawa lagi. Ayo?

Dia baru saja mencium bau sekawanan rusa. Tapi sangat sulit untuk bersemangat, bahkan dengan buruan yang paling baik, jika baunya tidak lagi lagi mengundang selera. Saat ini, dengan ingatan darah gadis itu, bau rusa jadi terasa menjijikan.

Aku mendesah. “Ayo,” Aku mengikuti, meskipun tau bahwa menelan darah lagi tidak akan terlalu menolong.

Kami mengambil posisi berburu, badan membungkuk dengan cakar didepan, membiarkan baunya yang tidak mengundang menuntun kami mendekat tanpa suara.

Cuaca mulai dingin ketika kami pulang. Salju yang mencair telah membeku; lapisan kaca tipis menyelimuti segalanya—tiap ujung cemara, tiap daun pakis, tiap batang rumput, semua tertutup es.

Sementara Carlisle berganti baju untuk shift pagi di rumah sakit, aku tinggal di tepi sungai, menunggu matahari terbit. Perutku kembung karena kebanyakan darah. Tapi tetap tidak akan ada artinya jika duduk disamping gadis itu lagi.

Dingin dan mematung sama seperti batu yang kududuki, aku mengamati air gelap yang mengalir diantara pinggir sungai yang licin, menatap dasarnya.

Carlisle benar. Aku seharusnya meninggalkan Forks. Mereka bisa mengatur alibinya. Sekolah asrama di Eropa. Mengunjungi saudara jauh. Gejolak remaja yang kabur dari rumah. Apapun itu tidak penting. Tidak akan ada yang bertanya lebih jauh.

Hanya selama satu atau dua tahun, dan gadis itu akan menghilang. Dia akan melanjutkan hidupnya—dia akan memiliki kehidupan untuk dijalani. Dia akan pergi kuliah, menua, memulai karir, mungkin menikah dengan seseorang. Aku bisa membayangkannya—melihat gadis itu mengenakan gaun putih dan berjalan dengan iringan musik, lengannya mengait ke lengan ayahnya.

Sungguh ganjil, rasa sakit yang diakibatkan gambaran itu. Aku tidak bisa mengerti. Apa aku cemburu karena dia memiliki masa depan yang tak bisa kumiliki? Itu tidak masuk akal. Setiap manusia di sekitarku memiliki masa depan serupa—kehidupan—dan aku jarang iri pada mereka.

Aku harus meninggalkan dia demi masa depannya. Berhenti membahayakan kehidupannya. Itu hal yang benar untuk dilakukan. Carlisle selalu memilih jalan yang benar. Aku harus mendengarkan dia.

Matahari terbit dibalik awan. Sinar redup berkilauan dari tiap-tiap permukaan kaca yang membeku.

Satu hari lagi, aku memutuskan. Aku akan menemui dia satu hari lagi. Aku bisa mengatasinya. Mungkin aku akan memberitau kepergianku, agar cerita yang berkembang meyakinkan.

Ini akan sulit; belum apa-apa keenggananku sudah mencari-cari alasan untuk tinggal—untuk menundanya dua atau tiga hari lagi, atau empat... tapi aku akan melakukan hal yang tepat. Aku tau aku bisa mempercayai nasihat Carlisle. Dan aku juga tau aku terlalu bias untuk membuat keputusan yang tepat sendirian.

Sangat terlalu bias. Sebarapa banyak keengganan ini berasal dari obsesi penasaran, dan berapa banyak yang dari rasa haus yang tidak terpuaskan?

Aku masuk kedalam untuk ganti pakain untuk sekolah.

Alice sedang menungguku, duduk di anak tangga teratas di lantai tiga.

Kau akan pergi lagi. dia cemberut padaku.

Aku mendesah dan menangguk.

Kali ini aku tidak bisa melihat kemana pergimu.

“Aku belum tau kemana tujuanku,” bisikku.

Aku ingin kau tinggal.

Aku menggeleng.

Mungkin Jazz dan aku bisa ikut denganmu?

“Mereka lebih membutuhkan kalian berdua saat aku tidak disini. Dan pikirkan bagaimana Esme. Apa kau ingin membawa pergi setengah keluarganya sekaligus?”

Kau akan membuatnya sedih.

“Aku tau. Maka itu kau harus tinggal.”

Itu tidak sama dengan jika ada kau disini, kau tau itu.

“Ya. Tapi aku harus melakukan apa yang benar.”

Ada banyak jalan yang benar, dan banyak jalan yang salah, bukankah begitu?

Selama sekejapan mata ia larut dalam salah satu penglihatannya yang aneh; aku mengamati bersamanya saat gambaran kabur itu berkedip-kedip dan berputar. Aku melihat diriku bercampur dengan bayangan aneh yang tidak dapat kukenali—bentuknya samar dan tidak jelas. Kemudian, tiba-tiba kulitku berkilauan dibawah sinar matahari di tengah padang rumput kecil. Ini tempat yang aku tau. Ada sesuatu disana bersamaku, tapi, lagi, sangat kabur. Tidak cukup jelas untuk dikenali. Gambaran itu bergoyang-goyang kemudian menghilang seraya jutaan pilihan masa depan yang lain berkelebat kilat.

“Aku tidak bisa menangkap sebagaian besar dari itu,” aku memberitaunya saat penglihatannya memudar.

Aku juga. Masa depanmu berganti-ganti sangat cepat hingga aku tidak bisa mengikutinya. Menurutku, meskipun...

Dia berhenti, dan menyisipkan di pikirannya simpanan penglihatan lainnya yang cukup banyak. Semuanya serupa—kabur dan tidak jelas.

“Menurutku sesuatu ada yang berubah,” dia mengucapkannya dengan suara verbal. “Hidupmu kelihatannya sedang tiba di persimpangan jalan.”

Aku tertawa muram. “Kau pasti sadar bukan, kau jadi kedengaran seperti seorang gypsy gadungan di karnaval?”

Dia menjulurkan lidah mungilnya padaku.

“Bagaimana dengan hari ini?” Suaraku mendadak gelisah.

“Aku tidak melihat kau membunuh siap-siapa hari ini,” dia meyakinkan aku.

“Thanks, Alice.”

“Cepat ganti baju. Aku tidak akan mengatakan apa-apa—biar kau sendiri yang memberitau mereka saat kau siap.”

Dia berdiri dan meloncat mundur menuruni tangga, pundaknya terkulai. Aku akan merindukanmu. Sungguh.

Ya, aku juga akan sangat merindukannya.

Itu adalah perjalanan yang sepi. Jasper tau Alice sedang kecewa terhadap sesuatu, tapi juga tau jika dia memang ingin membicarakan hal itu dia pasti sudah menyinggungnya. Sedang Emmet dan Rosalie sudah lupa dengan sekitarnya, lagi-lagi sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri, saling memandang dengan tatapan mesra—agak risih melihatnya. Kami cukup sadar bagaimana sangat saling jatuh cintanya mereka. Mungkin cuma aku yang kadang sinis karena satu-satunya yang masih sendirian. Ada hari-hari dimana terasa lebih berat saat hidup bersama dengan tiga pasangan yang sempurna. Ini adalah salah satunya.

Mungkin mereka akan lebih bahagia tanpa aku. Mengingat aku sekarang sudah seperti kakek-kakek, temperamental dan gampang marah.

Tentu saja, pertama yang kulakukan saat tiba di sekolah adalah mencari gadis itu. Hanya mempersiapkan diri.

Yup, betul.

Memalukan bagaimana duniaku tiba-tiba terlihat tidak ada isinya kecuali dia—seluruh eksistensiku jadi berpusat disekeliling gadis itu.

Sebetulnya cukup mudah dipahami; setelah delapan puluh tahun menjalani hal yang sama setiap hari dan setiap malam, satu perubahan kecil pasti akan jadi titik perhatian.

Dia belum datang. Tapi betulkah itu gelegar mesin truknya dikejauhan. Aku bersandar ke mobil menunggu. Alice menemani. Yang lain langsung masuk ke kelas. Mereka bosan dengan kegundahanku—terlalu sulit untuk bisa memahami ada manusia yang dapat mengganggu pikiranku begitu lama, tidak perduli betapa nikmat aromanya.

Kendaraan gadis itu muncul dengan lambat, matanya berkonsentrasi keras ke jalan dan tangannya mencengkram erat roda kemudi. Dia kelihatan mencemaskan sesuatu. Aku segera tau kemudian, menyadari bahwa setiap manusia menampakan mimik serupa hari ini. Jalanan licin karena es, dan mereka berusaha mengemudi lebih hati-hati. Aku lihat dia benar-benar serius menanggapi hal itu.

Tampaknya sejalan dengan karakter yang berhasil kupelajari. Aku menambahkan ini ke daftar singkatku: dia adalah orang yang serius, orang yang bertanggung jawab.

Mobilnya diparkir tidak jauh, tapi dia belum menyadari aku disini, mengamati dia. Aku membayangkan apa yang akan dia lakukan ketika sadar? Tersipu lalu pergi? Itu tebakan pertamaku. Tapi mungkin ia akan menatap balik. Mungkin akan datang bicara padaku.

Aku mengambil napas panjang, mengisi paru-paru, sekedar berjaga-jaga.

Dia keluar dari truk dengan hati-hati, mengecek pijakannya yang licin dulu. Dia tidak mendongak, dan itu membuatku frustasi. Mungkin sebaiknya aku kesana bicara dengan dia...

Tidak, itu salah.

Bukannya ke kelas, dia justru ke belakang truknya, sambil berpegangan pada sisi truknya dengan cara menggelikan, tidak yakin dengan langkahnya. Itu membuatku tersenyum, dan bisa kurasakan mata Alice menatapku. Aku mengabaikan apa yang ia pikirkan—aku sedang menikmati menonton gadis itu saat mengecek rantai saljunya. Dia benar-benar kelihatan hampir jatuh, kakinya selalu terpleset. Padahal yang lain tidak mengalami kesulitan—apa dia parkir di tempat yang paling licin?

Dia terdiam, melihat kebawah dengan ekspresi aneh. Tatapannya...lembut? Seakan ada sesuatu pada bannya yang membuat dia...emosional?

Lagi, rasa penasaran membakar seperti dahaga. Seakan aku harus mengetahui apa yang dia pikirkan—seakan tidak ada lagi yang berarti.

Aku akan bicara ke dia. Lagipula dia kelihatan butuh bantuan, paling tidak sampai meninggalkan parkiran yang licin. Tapi, sepertinya itu tidak mungkin. Dia tidak suka salju, jadi pasti tidak akan suka dengan tangan pucatku yang dingin. Aku seharusnya pakai sarung tangan—

“TIDAK!” Alice berteriak panik.

Ototku mengejang dan langsung mengamati pikirannya, ketakutan pertamaku adalah aku telah membuat keputusan yang salah dan ia melihatku melakukan kekejian itu. Tapi ternyata tidak ada hubungannya denganku.

Tyler Crowley kelihatan terlalu ngebut saat belok ke parkiran. Pilihan itu membuat mobilnya meluncur sepanjang permukaan es...

Penglihatan itu datang setengah detik sebelum kejadian. Mobil van Tyler telah tiba di kelokan saat aku masih memperhatikan kejadian yang membuat Alice membelalak ngeri.

Tidak, penglihatan ini tidak ada kaitannya denganku, namun juga segalanya berkaitan denganku, karena Van Tyler—ban mobilnya kini melintasi permukaan es menuju ke arah yang paling buruk—akan berputar-putar dan tergelincir sepanjang parkiran menabrak gadis yang tanpa diundang telah menjadi pusat duniaku.

Bahkan tanpa kemampuan Alice sangat mudah membaca lintasan kendaraan itu, yang meluncur diluar kendali Tyler.

Gadis itu, berdiri tepat di tempat yang salah, di belakang truknya. Ia mendongak, bingung karena mendengar suara lengkingan bising. Dia melihat tepat kedalam mataku yang membelalak ngeri, dan kemudian menoleh untuk melihat kematiannya mendekat.

Jangan dia! Kata-kata itu berteriak dalam kepalaku seakan berasal dari orang lain.

Masih terkunci dalam pikiran Alice, aku melihat penglihatannya mendadak berubah, tapi aku tidak punya waktu menunggu hasilnya.

Aku langsung bergerak kilat melintasi parkiran, melemparkan diriku diantara van yang tergelincir dan sang gadis yang membeku. Aku bergerak sangat cepat hingga semuanya kelihatan kabur kecuali fokus tujuanku. Dia tidak melihatku—tidak ada mata manusia yang sanggup mengikuti kecepatanku—masih terkejut memandangi benda gelap besar yang akan segera menggilas badannya ke belakang truk.

Aku menangkap pingganggnya, menubruk terlalu cepat daripada seharusnya. Dalam sepersekian detik diantara waktu aku merenggut tubuh rampingnya dari jalur kematian, dan waktu dimana aku menjatuhkan diri ke tanah dengan dia di pelukanku, aku jadi bisa merasakan dengan jelas kerapuhan tubuhnya.

Ketika mendengar kepalanya membentur permukaan es, tubuhku serasa membeku.

Tapi aku tidak punya satu detik pun untuk memastikan keadaannya. Aku dengar van itu sudah di belakang kami berdua, menderak begitu menyenggol bemper besi truk gadis itu. Van itu kemudian berubah arah, menuju arahnya lagi—seakan dia itu magnet.

Umpatan yang belum pernah kuucapkan dihadapan seorang perempuan terselip diantara gigiku.

Aku telah berbuat terlalu banyak. Saat hampir saja meloncat tinggi untuk menghindari dia dari bahaya, aku menyadari kesalahan itu. Tapi itu tetap tidak menghentikanku melakukan yang lain, sekaligus juga tidak menyangkal akibatnya—bukan saja resiko bagiku, tapi juga bagi seluruh keluargaku.

Terekspos.

Dan serangan ke-dua ini tidak membantu. Tidak akan kubiarkan van ini berhasil menghancurkan dia.

Aku menaruh dia lalu mengulurkan tangan, menangkap van itu sebelum menyentuhnya. Daya dorongnya membantingku mundur ke mobil sebelah. Bisa kurasakan sisi mobilnya di belakang bahu. Van itu bergetar, kemudian terayun. Dua ban sampingnya terangkat.

Jika kulepas tanganku, salah satu ban itu akan jatuh menimpa kaki gadis itu.

Oh, demi orang-orang kudus, kapan malapetakanya selesai? Apa lagi yang akan salah? Aku tidak mungkin begini terus, mengangkat van di udara sampai bantuan datang. Juga tidak mungkin melemparnya—ada supirnya yang mesti dipertimbangkan, pikirannya panik.

Sambil mengggeram dalam perut, kusorong van itu sedikit. Saat mau jatuh, kutangkap bawahnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiri merangkul pinggang gadis itu dan menariknya keluar dari bawah mobil. Badannya lunglai saat kugeser hingga kakinya aman dan merapat ke sisiku—apa dia sadarkan diri? Seberapa besar luka yang kutimbulkan gara-gara penyelamatan ceroboh tadi?

Kulepas van itu setelah dia aman. Jendelanya pecah berantakan saat terbanting jatuh.

Aku tau situasiku terpojok. Seberapa banyak yang dia lihat? Apa ada saksi yang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya jadi kekhawatiran yang paling besar.

Tapi aku terlalu cemas hingga tidak memikirkan ancaman itu. Aku terlalu panik telah melukai dia dalam usaha melindunginya. Terlalu takut mendapati dirinya sedekat ini, mengetahui dapat saja menghirup baunya. Terlalu menyadari kehangatan tubuhnya yang lembut menyentuh tubuhku—bahkan dengan penghalang jaket masih terasa kehangatannya...

Ketakutan itu adalah yang terbesar. Saat teriakan orang-orang mendekat, aku memeriksa wajahnya, melihat apa dia sadar—berharap-ngeri dia tidak berdarah.

Matanya terbuka. Shok.

“Bella?” Aku bertanya khawatir. “Apa kau baik-baik saja?”

“Iya tidak apa-apa.” dia menjawab spontan dengan suara linglung.

Aku sangat lega mendengar suaranya. Aku menarik napas lewat sela gigi, dan tidak keberatan dengan rasa terbakar di tenggorokan yang menyertainya. Justru bisa dibilang aku menyambutnya.

Dia berusaha untuk duduk, tapi aku belum siap melepasnya. Entah bagaimana aku merasa...lebih aman? Lebih baik, paling tidak, masih memegangi dia di sisiku.

“Hati-hati,” aku memperingatkan. “Kurasa kepalamu terbentur cukup keras.”

Tidak ada bau darah segar—untung saja—tapi ini tidak menyingkirkan kemungkinan luka dalam. Aku mendadak jadi cemas ingin segera membawanya ke Carlisle, memeriksanya dengan peralatan lengkap.

“Aduh.” keluhnya, nadanya terkejut saat menyadari aku benar tentang kepalanya.

“Itulah yang kupikirkan.” aku sudah sedikit lega jadi bisa melihat kelucuan ekspresinya. Aku hampir tertawa geli.

“Bagaimana bisa...” suaranya perlahan menghilang, matanya mengerjap bingung. “Bagaimana kau bisa sampai disini secepat itu?”

Kelegaan berubah masam, rasa humor lenyap. Dia melihat terlalu banyak.

Kini, saat gadis ini kelihatan baik-baik saja, kecemasan terhadap keluargaku jadi nyata.

“Aku berdiri di sebelahmu, Bella.” aku tau dari pengalaman, jika sangat yakin saat berbohong, maka orang lain jadi ragu dengan apa yang benar.

Dia berusaha duduk lagi. Kali ini kuijinkan. Aku butuh mengambil napas agar bisa memainkan peran dengan benar. Aku butuh menjauh dari kehangatan darah pada tubuhnya agar tidak terkombinasi dengan aromanya hingga membuatku kewalahan. Aku menjauh sejauh mungkin di ruang sempit diantara himpitan dua kendaraan ini.

Dia mendongak menatapku. Aku menatap balik. Berpaling duluan adalah kesalahan yang dibuat oleh seorang pembohong amatir, dan aku bukan amatiran. Ekpresiku lembut, bersahabat... Sepertinya itu membingungkan dia. Itu bagus.

Kini orang-orang mulai merubung. Kebanyakan para murid. Mereka saling mendesak maju untuk menonton. Dimana-mana terdengar teriakan dan pekik kaget pikiran. Kuamati pikiran-pikiran itu sekilas untuk memastikan tidak ada yang curiga, dan kemudian kuredupkan suaranya untuk berkonsentrasi hanya pada si gadis.

Dia teralihkan oleh kegemparan orang-orang. Dia melihat ke sekeliling, ekspresinya masih shok. Dia berusaha untuk berdiri.

Aku pegang pundaknya untuk menahannya.

“Coba jangan berdiri dulu.” dia kelihatannya baik-baik saja, tapi apa dia boleh menggerakan leher? Lagi, aku berharap ada Carlisle. Tahunan mempelajari teori kedokteran tidak sebanding dengan berabad-abad praktek secara langsung.

“Tapi dingin,” dia mengeluh.

Dia hampir terbunuh dua kali berturutan dan nyaris luka parah satu kali, namun dingin yang ia risaukan. Kekehan pendek sempat terselip dari gigiku sebelum kembali ingat situasinya tidak lucu.

Bella mengerjap, dan kemudian matanya fokus ke wajahku. “Kau ada disebelah sana.”

Hal itu membuatku masam lagi.

Dia melirik ke tempatku tadi, meski sekarang tidak ada yang bisa dilihat kecuali mobil Tyler. “Kau ada di sebelah mobilmu.”

“Tidak.”

“Aku melihatmu.” dia ngotot; suaranya seperti anak kecil ketika sedang keras kepala. Dagunya terangkat maju.

“Bella, aku sedang berdiri disampingmu, dan aku menarikmu.”

Aku menatapnya lekat-lekat kedalam mata lebarnya, berusaha meyakinkan dia untuk menerima versiku—satu-satunya versi rasional yang ada.

Rahangnya mengeras. “Tidak.”

Aku berusaha tetap tenang, tidak panik. Jika aku bisa menenangkannya sebentar, mencuri waktu untuk menghilangkan bukti... aku bisa meruntuhkan ceritanya dengan menyalahkan kepalanya yang terluka.

“Kumohon, Bella,” aku berkata dengan suara sungguh-sungguh. Mendadak aku ingin dia mempercayai diriku. Sangat ingin, bukan hanya karena insiden ini. Hasrat yang konyol. Apa gunanya membuat dia memparcayai aku?

“Kenapa?” dia bertanya, masih ngotot.

“Percayalah padaku,” aku memohon.

“Mau kah kau berjanji akan menjelaskan semuanya nanti?”

Membuatku marah harus berbohong lagi padanya, ketika aku berharap bahwa entah bagaimana aku layak mendapatkan kepercayaan dia. Jadi, saat menjawabnya, nadaku ketus.

“Baik.”

“Baik.” dia mengulangi dengan nada ketus sama.

Ketika usaha penyelamatan mulai dilakukan—para orang dewasa datang, pihak berwajib ditelepon, suara sirene di kejauhan—aku berusaha mengabaikan gadis itu dan meletakan hal yang terpenting pada tempatnya. Aku mencari ke setiap benak di parkiran, para saksi dan orang-orang yang baru datang, dan tidak menemukan hal yang berbahaya. Beberapa ada yang terkejut melihat aku disamping Bella, tapi semuanya terpecahkan—karena tidak ada lagi kemungkinan pemecahan yang lain—bahwa mereka hanya tidak menyadari aku berdiri di samping gadis itu sebelumnya.

Hanya dia yang tidak mau menerima penjelasan yang mudah, tapi dia bukan saksi yang akan dianggap layak. Dia ketakutan, trauma, belum ditambah benturan di kepalanya. Kemungkinan agak shok. Akan lebih mudah untuk membalikan ceritanya, bukan kah begitu? Tidak akan ada yang percaya pada cerita seperti itu ketika banyak penonton justru bersaksi sebaliknya...

Aku mengernyit ketika menangkap pikiran Rosalie, Jasper, dan Emmet, yang baru saja datang. Aku mesti membayar mahal nanti malam.

Aku ingin meratakan bekas penyok pada mobil coklat yang terhantam pundakku, tapi dia terlalu dekat. Aku mesti menunggu sampai gadis itu teralihkan.

Sangat menjengkelkan harus menunggu—banyak mata menatapku—saat orang-orang berusaha menggeser vannya. Aku mungkin saja membantu mereka, agar lebih cepat, tapi aku sudah cukup terlibat masalah. Lagipula gadis ini matanya tajam. Akhirnya, mereka berhasil menggeser vannya cukup jauh hingga tim medis bisa mendatangi kami dengan tandu.

Sesosok pria beruban yang tidak asing mendekatiku.

“Hey, Edward,” Brett Warner menyapa. Dia seorang perawat. Aku mengenalnya cukup baik dari rumah sakit. Ini suatu keberuntungan—satu-satunya keberuntungan hari ini—dia yang pertama kali tiba. Dalam pikirannya ia tidak curiga. “Apa kau baik-baik saja, kid?”

“Perfect, Brett. Aku tidak kena apa-apa. Tapi sepertinya Bella mengalami gegar otak. Kepalanya terbentur cukup keras ketika aku mendorongnya...”

Brett ganti mengarahkan perhatiannya pada si gadis, yang menatapku sengit merasa dikhianati. Oh, iya betul. Dia seorang martir pendiam—dia lebih memilih menderita diam-diam.

Dia tidak langsung membantah ceritaku. Itu membuatku lebih rileks.

Petugas medis berikutnya memaksa agar aku juga dirawat, tapi tidak sulit menolak mereka. Aku berjanji akan membiarkan ayahku sendiri yang memeriksa, dan dia setuju. Dengan kebanyakan manusia, bicara dengan nada meyakinkan sudah lebih dari cukup. Buat kebanyakan manusia, bukan untuk gadis ini. Apa dia cocok dengan satupun ciri-ciri normal?

Saat mereka mengenakan penyangga leher ke dia—dan mukanya langsung merah padam karena malu—aku menggunakan momen itu untuk diam-diam membetulkan lekukan di mobil coklat dengan belakang kaki. Hanya saudara-saudaraku yang melihat, dan aku bisa mendengar pikiran Emmet berjanji akan membereskan sisanya kalau ada yang terlewat.

Aku bersyukur atas bantuannya—dan lebih bersyukur lagi bahwa Emmet, paling tidak, telah memaafkan pilihan berbahayaku—aku merasa lebih tenang saat naik kedepan ambulance, disamping Brett.

Kepala polisi datang sebelum Bella dinaikan ke ambulance.

Meskipun tidak terucap, kepanikan pikirannya mengalahkan semua pikiran lain disekitarnya. Sangat cemas dan merasa bersalah, gelombang besar perasaan itu membuatnya pilu saat melihat anak perempuan satu-satunya diatas tandu.

Rintihan dia sampai padaku, menggema makin dalam. Saat Alice memberi peringatan bahwa membunuh putri Chief Swan juga akan membunuhnya, dia tidak melebih-lebihkan.

Kepalaku tertunduk merasa bersalah.

“Bella!” Dia berteriak panik.

“Aku baik-baik saja Char—Dad.” keluhnya. “Aku tidak terluka.”

Kata-kata Bella tidak terlalu menenangkan ayahnya. Dia bertanya ke petugas medis terdekat menuntut informasi lebih banyak.

Baru setelah mendengarnya bicara, mengucapkan satu kalimat utuh selain panik, aku menyadari bahwa kecemasan dia bukannya tidak terucap. Aku hanya... tidak bisa mendengar ada kata-katanya yang jelas.

Hmm. Charlie Swan tidak sependiam putrinya, tapi aku bisa melihat darimana Bella mendapatkannya. Menarik.

Aku belum pernah menghabiskan terlalu banyak waktu disekitar chief Swan. Aku selalu menganggapnya berpikiran lamban—baru sekarang aku sadar bahwa cuma aku yang menganggap dia lamban. Pikirannya sebagian tersembunyi, bukannya kosong. Aku cuma bisa menangkap satu nada, sedang sisa harmoni lainnya...

Aku ingin mendengar lebih banyak, siapa tau misteri kecil baru ini bisa membawaku menemukan kunci rahasia gadis itu. Tapi sebentar lagi Bella akan dimasukan ke ambulance.

Cukup sulit menjauhkan diri dari misteri yang telah membuatku terobsesi. Tapi sekarang ada yang lebih penting—untuk menilai kejadian tadi dari berbagai sudut. Aku mesti mendengarkan, untuk memastikan kami tidak dalam bahaya hingga harus cepat-cepat pergi. Aku harus konsentrasi.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pikiran-pikiran yang ada di ambulance. Sejauh yang bisa mereka katakan, tidak ada luka serius pada gadis ini. Dan Bella masih bertahan pada cerita yang kuajukan, sejauh ini.

Ketika tiba di rumah sakit, prioritas pertama adalah mencari Carlisle. Aku cepat-cepat menghambur dari pintu depan, tapi aku juga tidak bisa melepas Bella dari pengawasan; aku mengawasi dia lewat pikiran tim medis.

Cukup mudah menemukan pikiran ayahku. Dia ada di dalam kantornya yang kecil, seorang diri—keberuntungan kedua di hari sial ini.

“Carlisle.”

Dia mendengarku mendekat tak sabar, dan segera waspada begitu melihat wajahku. Dia langsung terlonjak berdiri. Wajahnya pucat. Dia bertumpu keatas meja kayu walnut nya yang rapih sambil menatapku nanar.

Edward—kau tidak—

“Tidak, tidak, bukan itu.”

Dia langsung menghela napas lega. Tentu saja. Maaf aku berpikiran yang tidak-tidak. Matamu, tentu saja, aku seharusnya tau... dia menyadari mataku yang masih keemasan.

“Dia terluka Carlisle, mungkin tidak serius, tapi—“

“Apa yang terjadi?”

“Gara-gara mobil bodoh itu. Dia ada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Tapi aku tidak bisa membiarkannya—membiarkan mobil itu meremukan dia—“

Coba ulangi, aku tidak mengerti. Bagaimana kau terlibat?

“Sebuah mobil van tergelincir diatas es,” aku berbisik ngeri. Aku menatap dinding di belakangnya saat bicara. Bukannya menjejali dengan bingkai ijasah, dia menggantung satu lukisan cat minyak sederhana—salah satu lukisan favoritnya, karya seorang pelukis bernama Hassam. “Dia tidak jauh di depannya. Alice sempat melihat itu. Tapi tidak cukup waktu untuk melakukan apapun kecuali lari melintasi parkiran dan menyelamatkan dia. Tidak ada yang memperhatikan... kecuali dia. Aku juga mesti menghentikan Van itu, tapi lagi, tidak ada yang melihat...kecuali dia. Aku...aku minta maaf Carlisle. Aku tidak bermaksud membahayakan kita.”

Dia mengitari meja dan memegang pundakku.

Kau melakukan hal yang benar. Dan itu tidak mudah bagimu. Aku bangga padamu Edward.

Aku kembali sanggup menatap matanya. “Dia tau ada sesuatu...yang salah denganku.”

“Itu tidak penting. Jika kita harus pergi, kita pergi. Apa yang sudah ia katakan ke orang-orang?”

Aku menggeleng, sedikit frustasi. “Belum ada.”

Belum?

“Dia menyetujui versi ceritaku—tapi dia mengharapkan penjelasan.”

Alisnya mengerut, mempertimbangkan kejadian ini.

“Kepalanya terbentur—well, aku yang melakukannya,” aku buru-buru melanjutkan. “Aku menjatuhkan dia ke aspal agak keras. Kelihatannya tidak apa-apa, tapi... jadi tidak cukup untuk mendeskreditkan dia.”

Aku merasa seperti orang rendahan hanya dengan mengatakannya.

Carlisle mendengar kesan itu pada suaraku. Barangkali tidak perlu. Kita tunggu saja apa yang terjadi, mari? Sepertinya aku punya pasien yang harus diperiksa.

“Kumohon,” Ujarku. “Aku sangat khawatir telah menciderainya.”

Ekspresi Carlisle terlihat lebih cerah. Dia merapihkan rambut putihnya—sedikit lebih terang dari mata emasnya—dan tertawa.

Ini merupakan hari yang menarik bagimu bukan? Dia membatin. Aku bisa melihat ironinya, dan itu menggelitik, paling tidak bagi dia. Tadi aku berlaku sebaliknya dari peranku semestinya. Entah kapan, pada sekejapan sembrono tadi, ketika bergerak kilat melintasi parkiran, aku bertransformasi dari seorang pembunuh menjadi penolong.

Aku tertawa bersama Carlisle, mengingat aku pernah yakin bahwa Bella tidak akan pernah membutuhkan perlindungan dari bahaya apapun lebih dari aku. Ada kegetiran pada tawaku karena hal itu masih sepenuhnya betul.

Aku menunggu sendirian di kantor Carlisle—masa penantian yang paling lama yang pernah kurasakan—mendengarkan semua pikiran di rumah sakit.

Tyler Crowley, si pengemudi van, kelihatannya terluka lebih serius. Perhatian perawat beralih ke dia, sementara Bella menunggu giliran dirontgen. Carlisle tidak turun tangan, dia mempercayai diagnosa asistennya bahwa si gadis hanya luka ringan. Itu tidak terlalu membuatku lega, tapi aku tau Carlisle benar. Sekali melihat wajahnya, Bella akan langsung ingat padaku, pada fakta bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan keluargaku. Itu akan membuatnya cerita kemana-mana.

Kini ia punya lawan bicara yang cukup bersemangat. Tyler merasa sangat bersalah, dan tidak bisa berhenti mengungkapkan penyesalannya. Aku bisa melihat ekspresi Bella melalui mata Tyler. Sangat jelas gadis itu berharap dia berhenti. Bisa-bisanya Tyler tidak melihat hal itu?

Kemudian tiba saat yang membuatku tegang. Tyler bertanya bagaimana ia bisa menyingkir dari jalan.

Aku menunggu, tidak bernapas. Ia ragu-ragu.

“Mmm...” aku mendengar dia menggumam. Kemudian diam cukup lama hingga Tyler menduga pertanyaannya telah membuat bingung. Akhirnya ia melanjutkan. “Edward menarikku dari jalan.”

Aku menghela napas. Tapi kemudian napasku memburu. Aku belum pernah mendengar dia mengucapkan namaku. Aku suka pada cara dia mengucapkannya—bahkan hanya dengan mendengarnya melalui pikiran Tyler. Aku ingin mendengarnya sendiri...

“Edward Cullen,” dia berkata, ketika Tyler tidak menyadari siapa yang dia maksud. Tiba-tiba aku sudah di depan pintu, tanganku pada gagang pintu. Hasrat untuk bertemu dengan dia berkembang makin kuat. Aku harus mengingatkan diriku sendiri untuk berhati-hati.

“Dia berdiri disebelahku.”

“Cullen?” Huh, itu aneh. “Aku tidak melihat dia.” aku bersumpah... “Wow, kurasa kejadiannya berlangsung cepat sekali. Apa dia baik-baik saja?”

“Sepertinya begitu. Dia ada disini entah dimana, tapi mereka tidak membawa dia dengan tandu.”

Aku melihat tatapan menimbang pada wajahnya, kecurigaan menggantung di matanya, tapi perubahan kecil pada ekspresinya tidak dilihat Tyler.

Dia cantik, dia sedang berpikir, baru menyadari pikirannya. Bahkan ketika acak-acakan begini. Bukan tipeku, tapi tetap saja... aku harus mengajaknya kencan. Untuk membayar hari ini...

Dalam sekejap aku sudah berada di koridor, setengah jalan menuju UGD, tanpa berpikir apa yang sedang kulakukan. Untungnya, seorang perawat masuk duluan—Giliran Bella untuk dirontgen. Aku bersembunyi di pojokan, berusaha menguasai diri saat ia didorong dengan kursi roda.

Aku tidak perduli jika menurut Tyler dia cantik. Semua bisa melihat hal itu. Tidak ada alasan bagiku untuk merasa...bagaiman yang kurasakan? Terganggu? Atau, marah kah yang lebih tepat? Tidak masuk akal.

Aku diam selama mungkin, tapi ketidaksabaran-ku yang akhirnya menang. Aku mengambil jalan memutar ke ruang rontgen. Tapi dia sudah dibawa balik lagi ke UGD. Namun aku sempat mencuri lihat hasil rontgennya saat si perawat pergi.

Aku jauh lebih tenang. Kepalanya baik-baik saja. Aku tidak melukainya, tidak terlalu.

Carlisle memergokiku.

Kau kelihatan jauh lebih baik, dia berkomentar.

Aku hanya melihat lurus kedepan. Kami tidak sendirian, koridor penuh dengan perawat dan pengunjung.

Ah, iya. Carlisle memasang hasil rontgennya ke lightboard, tapi aku tidak perlu melihat dua kali. Kurasa begitu. Dia baik-baik saja. Kerja bagus, Edward.

Nada persetujuan dari ayahku membuat reaksiku campur aduk. Aku seharusnya senang, namun aku tau ia tidak akan setuju dengan apa yang akan kulakukan, paling tidak jika tau motivasiku sebenarnya...

“Kurasa aku akan bicara dengannya—sebelum dia bertemu dengan mu,” aku menggumam dibalik napas. “Bersikap normal, seperti tidak terjadi apa-apa. Agar dia tidak makin curiga.” semuanya alasan yang bisa diterima.

Carlisle mengangguk-angguk sendirian, masih memandangi hasil rontgennya. “Ide bagus. Hmm...”

Aku melirik untuk melihat apa yang menarik perhatiannya.

Coba lihat bekas-bekas memar ini! Berapa kali dulu ibunya menjatuhkan dia?

Carlisle tertawa sendiri pada leluconnya.

“Aku mulai berpikir gadis itu betul-betul punya nasib sial. Selalu berada di tempat yang salah dan waktu yang salah.”

Forks tentunya tempat yang salah bagi dia, dengan kau disini.

Aku terdiam

Sudah sana. Jangan buat dia curiga. Aku akan menyusul sebentar lagi.

Aku cepat-cepat pergi, merasa bersalah. Mungkin aku memang pembohong besar hingga bisa mengelabui Carlisle.

Ketika sampai di UGD, Tyler terlihat masih terus menggumakan peyesalan. Gadis itu berusaha mengabaikannya dengan pura-pura tidur. Matanya tertutup, tapi napasnya tidak teratur, dan sesekali jarinya bergerak tidak sabar.

Aku menatap wajahnya lama-lama. Ini terakhir kalinya aku akan melihat dia. Kenyataan itu memicu rasa nyeri di dadaku. Apa alasannya karena aku tidak suka meninggalkan misteri yang tidak terpecahkan? Tapi sepertinya itu tidak cukup menjelaskan.

Akhirnya aku menarik napas dalam-dalam dan mendekat.

Ketika Tyler melihatku, ia sudah akan bicara, tapi aku memberi isyrat agar dia tetap tenang.

“Apa dia tidur?” aku bergumam pelan.

Mata Bella tiba-tiba terbuka dan melihat ke arahku. Matanya sesaat melebar, kemudian menyipit dengan tatapan marah dan curiga. Aku ingat punya peran yang harus kumainkan, jadi aku tersenyum seakan tidak ada kejadian apa-apa pagi ini—selain luka di kepalanya dan imajinasinya yang berlebihan.

“Hai, Edward,” sapa Tyler. “Aku sangat menyesal—“

Aku mengangkat tanganku. “Tidak ada darah, tidak seru.” aku berkata masam. Tanpa berpikir, aku tersenyum terlalu lebar pada leluconku.

Ternyata mudah mengabaikan Tyler, yang terbaring tidak jauh dariku dengan darah segar pada lukanya. Aku tidak pernah memahami bagaimana Carlisle melakukannya—tidak mengindahkan darah pasiennya selama merawat mereka. Bukan kah godaan yang terus menerus akan membuat pikiran kacau, sangat bahaya...? Tapi sekarang... Aku bisa mengerti. Jika kau sangat-sangat fokus pada hal lain, godaan itu jadi tidak ada artinya.

Bahkan darah segar Tyler pada kepalanya yang terbalut perban jadi tidak berarti apa-apa dihadapan Bella.

Aku menjaga jarak darinya, duduk di ujung tempat tidur Tyler.

“Jadi, apa kata mereka?” aku bertanya padanya.

Bibir bawahnya sedikit mencebik. “Aku baik-baik saja. Tapi mereka tidak mengijinkanku pergi. Bagaimana bisa kau tidak ditandu seperti kami?”

Ketidaksabarannya membuatku tersenyum lagi.

Aku bisa mendengar suara Carlisle di koridor.

“Itu cuma soal siapa yang kau kenal,” aku berkata santai. “Tapi jangan khawatir, aku datang untuk menyelamatkanmu.”

Aku menatap reaksinya baik-baik saat ayahku masuk. Matanya membesar dan mulutnya benar-benar ternganga. Aku mengerang dalam hati. Tentu saja dia melihat kemiripan kami.

“Jadi, Miss Swan, bagaimana perasanmu?“ Carlisle bertanya. Dia punya sikap yang menyejukan disamping kebaikan hatinya. Para pasiennya biasanya langsung merasa tenang. Tapi aku tidak bisa mengatakan bagaimana pengaruhnya pada gadis ini.

“Aku baik-baik saja,” dia berkata pelan.

Carlisle menyematkan hasil rontgennya ke lightboard disamping tempat tidur. “Hasil rontgenmu baik. Apa kepalamu sakit? Kata Edward kau terbentur cukup keras.”

Dia mengeluh, dan berkata, “Aku tidak apa-apa,” jawabnya lagi, kali ini agak tidak sabaran. Kemudian ia mengerling kesal padaku.

Carlisle mendekat dan tangannya meraba ringan kepalanya sampai menemukan benjolan dibawah rambutnya.

Aku terkejut dengan gelombang emosi yang tiba-tiba melandaku.

Aku telah melihat Carlisle merawat manusia ribuan kali. Bertahun-tahun lalu, aku bahkan membantunya—meski dalam situasi yang tidak melibatkan darah. Jadi bukan hal baru melihat bagaimana dia berinteraksi dengan gadis itu seakan dia sendiri juga manusia. Aku kadang iri pada penguasaan dirinya, tapi itu berbeda dengan emosi yang kurasakan sekarang. Yang kuiri lebih dari sekedar penguasaan dirinya. Aku iri pada pada perbedaan Carlisle dan aku—bahwa ia dapat menyentuh gadis itu dengan lembut, tanpa takut, mengetahui ia tidak akan menyakitinya...

Bella mengernyit, dan aku mengejang di tempat. Untuk sesaat aku mesti berkonsentrasi untuk membuat postur tubuhku rileks.

“Sakit?” tanya Carlisle.

Sesaat dagunya tersentak. “Tidak juga,”

Satu lagi kepingan karakter gadis itu terungkap; dia berani. Dia tidak suka menunjukan kelemahannya.

Kemungkinan ia adalah mahluk paling rapuh yang pernah kutemui, dan ia tidak ingin terlihat lemah. Aku sedikit terkekeh.

Kembali dia mengerling kesal.

“Well,” ujar Carlisle. “Ayahmu ada di ruang tunggu—kau bisa pulang dengannya sekarang. Tapi kembali lah jika kau merasa pusing atau penglihatanmu tergganggu.”

Ayahnya disini? Aku menyapu pikiran-pikiran yang ada di ruang tunggu. Tapi aku tidak bisa menemukan suara mentalnya sebelum Bella kembali bicara, wajahnya gelisah.

“Bolehkah aku kembali ke sekolah?”

“Mungkin kau bisa istirahat dulu hari ini,” Carlisle menyarankan.

Matanya kembali menuduhku, “Apa dia boleh pergi ke sekolah?”

Bersikap normal, jangan mencurigakan...abaikan rasanya saat ia menatap kedalam mataku...

“Harus ada orang yang menyebarkan kabar baik bahwa kita selamat,” kataku.

“Sebetulnya,” Carlisle mengoreksi, “Hampir sebagian besar murid ada di ruang tunggu.”

Kali ini aku sudah mengantisipasi reaksinya—enggan mendapat perhatian. Dan dia tidak mengecewakan.

“Oh tidak,” dia mengerang dan menutup wajahnya dengan tangan.

Aku senang akhirnya bisa menebaknya dengan betul. Aku mulai bisa memahami dia...

“Apa kau ingin tetap tinggal disini?” Tanya Carlisle.

“Tidak, tidak!” dia buru-buru menolak, mengayunkan kakinya ke samping dan merosot turun ingin berdiri. Dia tersandung kedepan, hilang keseimbangan, lalu jatuh ke pelukan Carlisle. Carlisle menangkapnya kemudian menyeimbangkan dia.

Lagi, rasa iri itu melanda diriku.

“Aku baik-baik saja,” ujarnya cepat. Rona merah muda terlihat di pipinya.

Tentu saja itu tidak mengganggu Carlisle. Dia memastikan Bella berdiri seimbang, kemudian melepaskan peganggannya.

“Minum Tylenol untuk mengurangi rasa sakitnya,” Dia memberitau.

“Sakitnya tidak separah itu kok.”

Carlisle tersenyum saat menandatangani surat keterangannya. “Kedengarannya kau sangat beruntung.”

Dia memutar wajahnya pelan untuk menatapku tajam. “Beruntung karena Edward kebetulan berdiri disebelahku.”

“Oh, baik kalau begitu,” Carlisle cepat-cepat mengiyakan, sama mendengar seperti yang kudengar pada suaranya. Dia tidak menganggap kecurigaannya sebagai imajinasi belaka. Belum.

Kupasrahkan padamu, Carlisle berkata dalam hati. Atasi dengan cara yang menurutmu paling baik.

“Terimakasih banyak,” aku berbisik, pelan dan cepat. Tidak ada manusia yang bisa mendengarku. Bibir Carlisle bergerak sedikit mendengar gerundelanku. “Aku kahwatir kau harus tinggal bersama kami lebih lama,” katanya pada Tyler begitu mulai memeriksa luka-lukanya yang diakibatkan goresan pecahan kaca.

Well, aku yang cari gara-gara, jadi cukup adil jika aku sendiri yang harus menghadapinya.

Mendadak Bella menghampiriku, tidak berhenti hingga cukup dekat. Membuatku tidak nyaman. Aku ingat tadi sempat berharap ia akan menghampiriku... Ini seperti memperolok harapanku.

“Bisa aku bicara denganmu sebentar?” dia berbisik padaku.

Kehangatan napasnya menyapu wajahku dan aku agak terhuyung selangkah. Daya mengundang-selera-nya tidak berkurang sedikitpun. Setiap kali berada di dekatku, dia memicu setiap jengkal instingku yang paling kuno. Liur mengalir di mulutku, dan tubuhku berhasrat untuk menerjang—untuk merenggut dia dengan tanganku sebelum mematahkan lehernya dengan satu gigitan.

Pikiranku lebih kuat dari tubuhku, tapi hampir saja.

“Ayahmu menunggumu,” aku mengingatkan dia, rahangku terkatup rapat.

Dia memandang sekilas ke Carlisle dan Tyler. Tyler sama sekali tidak memperhatikan, tapi Carlisle mengawasi tiap tarikan napasku.

Hati-hati, Edward.

“Aku ingin bicara denganmu berdua, jika kau tidak keberatan,” dia memaksa setengah berbisik.

Aku ingin mengatakan sangat keberatan, tapi aku tau aku harus melakukan ini pada akhirnya. Maka sebaiknya kulakukan saat ini juga.

Emosiku campur aduk saat menurutinya keluar ruangan, mendengarkan langkahnya terhuyung-huyung di belakangku, berusaha mengejar.

Aku punya pertunjukan yang mesti kupentaskan. Aku tau peran yang akan kumainkan—karakterku sebagai tokoh antagonis. Aku akan berbohong, mengejek, dan kejam.

Hal itu bertolak belakang dengan setiap dorongan hatiku—dorongan hati manusia yang selama puluhan tahun ini kupegang. Aku belum pernah menginginkan untuk layak dipercaya lebih daripada saat ini, ketika aku harus menghancurkan setiap kemungkinan itu.

Lebih buruk lagi, ini akan menjadi ingatan terakhir dia tentang aku. Ini adalah adegan perpisahan dariku.

Aku berbalik ke dia.

“Kau mau apa sih?” aku bertanya dengan suara dingin.

Dia terkesiap karena sikap permusuhanku. Matanya berubah penuh tanya, ekspresi yang selama ini menghantuiku...

“Kau berhutang penjelasan padaku,” dia berkata dengan suara pelan; wajah gadingnya memucat.

Sangat sulit mempertahankan suaraku agar tetap kasar. “Aku menyelamatkan hidupmu—aku tidak berhutang apa-apa padamu.”

Dia tersentak. Seperti terbakar oleh asam mengetahui perkataanku telah menyakiti dia.

“Kau sudah janji,” dia berbisik.

“Bella, kepalamu terbentur, kau tidak tau apa yang kau bicarakan.”

Dagunya terangkat. “Tak ada yang salah dengan kepalaku.”

Dia marah sekarang, dan itu jadi lebih mudah. Mataku bertemu dengan tatapan tajamnya, membuat wajahku makin garang.

“Apa yang kau inginkan dariku, Bella?”

“Aku ingin tau yang sebenarnya. Aku ingin tau alasan kenapa aku harus berbohong untukmu.”

Apa yang dia inginkan cukup adil—membuatku frustasi harus menyangkalnya.

“Apa menurutmu yang terjadi?” aku hampir menggeram.

Kata-katanya kemudian berhamburan cepat. “Yang kutau adalah kau sama sekali tidak ada didekatku—Tyler juga tidak melihatmu, jadi jangan katakan kepalaku terbentur terlalu keras. Mobil van itu semestinya telah menghancurkan kita berdua—tapi nyatanya tidak, dan tanganmu meninggalkan bekas lekukan di mobil itu—kau juga meninggalkan bekas yang sama di mobil satunya, dan kau tidak terluka sama sekali—juga mobil itu seharusnya menghancurkan kakiku, tapi kau mengangkatnya...” Ia mengatupkan rahang dan matanya berkaca-kaca.

Aku menatapnya, ekspresiku mengejek, meskipun yang sebenarnya kurasakan adalah kagum; dia melihat semuanya.

“Kau pikir aku mengangkat van itu dari atas tubuhmu?” aku bertanya dengan nada menyindir.

Dia mengangguk tegas.

Suaraku makin mengejek. “Tidak akan ada yang akan percaya itu, kau tau.”

Dia berusaha menahan marah. Kemudian ia bicara lambat penuh pertimbangan pada tiap katanya. “Aku tidak akan memberitau siapa-siapa.”

Dia bersungguh-sungguh—aku bisa melihat dalam matanya. Meski marah dan terkhianati, dia akan menepati janjinya.

Kenapa?!

Perasaan shok itu menghancurkan ekspresiku selama setengah detik, lalu aku kembali menguasai diri lagi.

“Lalu kenapa kau mempermasalahkannya?” aku bertanya pada dia sambil mempertahankan suaraku tetap tajam.

“Ini penting buatku,” dia menjawab penuh tekanan. “Aku tidak suka berbohong—jadi sebaiknya ada alasan yang baik kenapa aku melakukannya.”

Dia memintaku untuk mempercayai dia. Sama seperti aku menginginkan dia percaya padaku. Tapi ini adalah batasan yang tidak bisa kulewati.

Suaraku tetap dingin. “Tidak bisakah kau berterima kasih saja dan melupakannya?”

“Terima kasih.” ucapnya. Kemudian ia diam, menunggu.

“Kau tak akan menyerah, kan?”

“Tidak.”

“Kalau begitu...” aku tidak bisa memberitau dia bahkan jika aku mau...dan aku tidak mau. Lebih baik dia mengarang-ngarang daripada mengetahui siapa diriku, karena tidak ada yang lebih buruk dari yang sebenarnya—aku adalah mimpi buruk, langsung dari dunia horor. “Kuharap kau menikmati kekecewaanmu.”

Kami saling menatap marah. Namun amarahnya justru membuat orang ingin membelai sayang dia. Seperti geraman anak kucing, lembut dan tidak berbahaya, tidak sadar pada kerapuhannya sendiri.

Wajahnya memerah. Ia menggertakan gigi lagi. “Dan kenapa kau bahkan perduli?”

Lagi-lagi pertanyaannya tidak terduga. Aku tidak menyiapkan jawaban untuk ini. Aku kehilangan pegangan pada peranku. Topeng diwajahku terlepas, dan kukatakan padanya—untuk kali ini—yang sebenarnya.

“Aku tidak tau.”

Aku mengingat wajahnya untuk terakhir kali—masih dengan raut marah, darah belum memudar dari pipinya—dan kemudian aku berbalik meninggalkan dia.


4. Penglihatan

Aku kembali ke sekolah. Ini pilihan tepat yang seharusnya dilakukan, bertindak wajar dan tidak menarik perhatian.

Hampir semua murid telah kembali ke kelas juga. Tinggal Tyler, Bella dan beberapa orang—yang sepertinya menggunakan kesempatan untuk bolos—tetap absen.

Harusnya tidak sulit melakukan sesuatu yang benar. Tapi sesiangan ini aku justru harus berjuang keras agar tidak ikutan bolos—hanya karena ingin menemui gadis itu lagi.

Seperti penguntit. Penguntit yang terobsesi. Vampir penguntit yang terobsesi.

Sekolah jadi mustahil dijalani, jauh lebih membosankan dari minggu lalu. Seperti koma. Seakan warna-warni pada bata, pepohonan, langit, wajah-wajah disekitarku jadi luntur... Aku cuma memandangi rekahan di tembok.

Sebetulnya ada sesuatu yang lain yang juga harus dilakukan...tapi tidak kulakukan. Tentu saja sesuatu itu juga bisa dibilang keliru. Tapi tergantung dari sisi mana melihatnya.

Jika dari perspektif anggota keluarga Cullen—bukan sekedar vampire, tapi seorang Cullen, seseorang yang memiliki keluarga, sesuatu yang langka bagi kaum kami—tindakan yang paling tepat seharusnya seperti ini:

“Aku terkejut melihatmu masuk, Edward. Kudengar kau terlibat dalam insiden mengerikan tadi pagi.”

“Iya, Mr. Banner, tapi saya cukup beruntung.” Tersenyum ramah. “Saya tidak terluka sama sekali... saya harap Bella dan Tyler juga begitu.”

“Bagaimana keadaan mereka?”

“Tyler baik-baik saja...hanya lecet-lecet terkena pecahan kaca. Tapi saya agak khawatir pada Bella.” mengerutkan dahi prihatin. “Dia mengalami gegar otak. Saya dengar pikirannya jadi agak kacau—bahkan sempat berhalusinasi. Para dokter sangat cemas...”

Itu yang seharusnya kulakukan demi keluargaku. Tapi...

“Aku terkejut melihatmu masuk, Edward. Kudengar kau terlibat dalam insiden mengerikan tadi pagi.”

“Saya tidak terluka.” Tanpa senyum.

Mr. Banner mengganti tumpuan kakinya tidak nyaman. “Apa kau tau bagaimana keadaan Tyler Crowley dan Bella Swan? Katanya mereka terluka...”

Aku mengangkat bahu. “Saya tidak tau.”

Mr. Banner mendehem, “Mmm,Ya sudah...” Tatapan dinginku membuat suaranya tegang.

Dia cepat-cepat kembali ke depan kelas dan memulai pelajarannya.

Itu perbuatan yang sangat keliru.

Hanya saja sangat...sangat tidak ksatria mendiskreditkan gadis itu di belakangnya, terutama ketika ia membuktikan lebih dapat dipercaya daripada yang kubayangkan. Dia tidak mengkhianatiku dengan melanggar janjinya, meskipun punya cukup alasan untuk itu. Apa aku akan mengkhianati dia ketika ia tidak melakukan apa-apa selain menjaga rahasiaku?

Aku mengalami pembicaraan serupa dengan Mrs. Goff—hanya saja dalam bahasa Spanyol—dan Emmet memperhatikanku.

Aku harap kau punya penjalasan yang baik untuk kejadian hari ini. Rose sudah siap perang.

Aku memutar bola mataku tanpa melihat dia.

Sebetulnya aku menemukan penjelasan yang sempurna. Misalkan saja aku tidak mencegah van itu meremukan dia...aku merasa kecut memikirkannya. Tapi seandainya dia dibiarkan, jika dia terluka dan mengeluarkan darah, cairan merah kental berceceran, menggenang di aspal, bau darah segar menguar pekat di udara...

Aku gemetar, tapi bukan cuma karena ngeri. Sebagian diriku meremang penuh hasrat. Tidak, aku tidak akan sanggup melihat darahnya tanpa mengekspos keluargaku dengan lebih mengerikan.

Alasan itu terdengar sempurna...tapi tidak akan kugunakan. Terlalu memalukan.

Dan aku tidak berpikir kesitu sampai jauh setelah kejadian.

Hati-hati pada Jasper, Emmet melanjutkan, tidak mengindahkan lamunanku. Dia tidak semarah itu...tapi ia sudah menetapkan niatnya.

Aku tau apa yang ia maksud, dan dalam sekejap ruangan di sekelilingku tenggelam. Amarahku memuncak sedemikian hebat hingga kabut merah mengaburkan pandanganku. Aku hampir tersedak kedalamnya.

SSSTT, EDWARD! KUASAI DIRIMU! Emmet meneriakiku di kepalanya. Tangannya memegang pundakku, menahanku tetap duduk sebelum aku terloncat berdiri. Dia jarang menggunakan seluruh kekuatannya—sangat jarang dibutuhkan, mengingat ia jauh lebih kuat dari vampir manapun yang pernah kami temui—tapi ia menggunakan kekuatan penuh sekarang. Dia mencengkram bahuku, bukannya menekan kebawah. Jika dia menekan kebawah, kursiku akan hancur berantakan.

TENANG! Perintahnya galak.

Aku berusaha menenangkan diri, tapi sulit. Amarah terlanjur membara di kepalaku.

Jasper tidak akan bertindak sebelum kita bicara. Kau dalam kesulitan besar.

Aku menarik napas panjang. Baru kemudian Emmet melepaskan cengkramannya.

Aku mengecek ke sekeliling ruangan. Tapi konforontasi tadi berlangsung sangat singkat dan tanpa suara sehingga hanya beberapa orang di belakang Emmet yang menyadarinya. Mereka tidak tau apa alasannya, dan cuma mengangkat bahu. Keluarga Cullen memang aneh—semua orang sudah tau itu.

Sialan, Edward, kau berantakan, Emmet menambahkan. Ada nada simpati pada suaranya.

“Gigit saja aku,” aku menggerutu dibalik napas. Kudengar dia terkekeh pelan.

Emmet bukan pendendam, dan aku seharusnya lebih bersyukur pada sikap santainya. Tapi aku melihat niat Jasper dianggap Emmet cukup masuk akal. Ia sempat mempertimbangkan kalau mungkin saja itu jalan yang terbaik.

Amarahku pelan-pelan kembali mendidih, hampir tidak terkontrol. Ya, Emmet lebih kuat dariku, tapi ia belum pernah menang melawanku dalam adu tanding. Dia menuduh aku curang. Tapi mendengar pikiran adalah bagian dariku, sama seperti kekuatan besar yang menjadi bagian dari dia. Dalam pertarungan kami seimbang.

Pertarungan? Apa akan kesana pada akhirnya? Apa aku akan bertarung melawan keluargaku hanya karena seorang manusia yang tidak terlalu kukenal?

Aku mempertimbangkannya sebentar, memikirkan bagaimana tubuh gadis itu terasa begitu rapuh dalam pelukanku jika dibandingkan dengan kekuatan Jasper, Rose, dan Emmet—yang diluar akal sehat sangat kuat dan cepat, mesin pembunuh alami...

Ya, aku akan bertarung demi dia. Melawan keluargaku. Aku mengangkat bahu.

Tapi tidak adil meninggalkan dia tanpa perlindungan, padahal aku yang menyebabkannya berada dalam bahaya.

Aku tidak bisa menang sendirian. Tidak jika melawan mereka bertiga. Kira-kira siapa yang berada di pihakku nanti.

Carlisle, pastinya. Ia tidak akan melawan siapa-siapa, tapi ia akan menentang rencana Rose dan Jasper. Mungkin itu cukup. Kita lihat nanti...

Esme, aku ragu. Dia tidak akan menentang aku juga, dan dia tidak suka berbeda pendapat dengan Carlisle, tapi ia akan lebih menjaga keluarganya tetap utuh. Prioritas pertamanya mungkin bukan keadilan, melainkan aku. Jika Carlisle adalah roh keluarga kami, maka Esme adalah hatinya. Dia memberi kami seorang pemimpin yang pantasi diikuti; dia membuat kesetiaan itu menjadi perwujudan dari rasa sayang. Kami semua saling menyayangi—bahkan dibalik kemarahanku pada Jasper dan Rose, dan rencanaku untuk melawan mereka demi menyelamatkan gadis itu, aku tau aku menyayangi mereka.

Alice...aku tidak tau. Mungkin tergantung apa yang ia lihat. Mungkin dia akan memihak yang menang.

Jadi, aku akan melakukan ini tanpa bantuan. Aku bukan tandingan mereka, tapi tidak akan kubiarkan gadis itu terluka gara-gara aku. Mungkin solusinya dia harus dilarikan...

Amarahku sedikit mereda karena humor gelap yang tau-tau terlintas. Aku bisa membayangkan bagaimana reaksi kikuk gadis itu saat aku menculiknya. Tentu saja aku jarang menebak reaksi dia dengan tepat—tapi apa lagi reaksinya selain ngeri?

Aku belum terlalu yakin bagaimana mengatasi itu—menculik dia. Aku tidak akan tahan berdekatan terlalu lama. Barangkali cukup mengantar ke ibunya. Tapi itupun belum tentu aman baginya.

Dan juga bagiku, aku menyadari tiba-tiba. Jika aku tidak sengaja membunuhnya... aku tidak yakin seberapa besar akan menyakitiku, tapi pasti tidak karuan dan sangat.

Waktu cepat berlalu selama aku mempertimbangkan berbagai kemungkinan: perrtengkaran yang menunggu di rumah, perseteruan dengan keluargaku, lamanya aku harus pergi setelah itu...

Well, aku tidak bisa lagi mengeluh hari-hariku sangat monoton. Gadis itu telah merubah segalanya.

Setelah bel, Emmet dan aku berjalan dalam diam menuju mobil. Dia mengkawatirkan aku sekaligus Rosalie. Dia tau di pihak mana ia akan memilih jika terjadi perselisihan, dan itu mengganggunya.

Yang lain sudah menunggu di mobil, juga diam. Kami berlima duduk ditengah kesunyian. Cuma aku yang bisa mendegar teriakan-teriakan.

Idiot! Tolol! Dasar orang gila! Brengsek! Egois, orang bodoh yang tidak bertanggung jawab! Rosalie terus menumpahkan makiannya keras-keras. Suara yang lainnya jadi terbenam, tapi kuabaikan sebisanya.

Emmet betul tentang Jasper. Dia sangat yakin dengan niatnya.

Alice risau, mengkhawatirkan Jasper, membolak balik kilasan gambar masa depan. Tidak perduli dari arah mana Jasper mendatangi gadis itu, Alice selalu melihatku menghalangi Jasper. Menarik... tidak ada Rosalie atau Emmet di penglihatannya. Jadi Jasper berencana kerja sendirian. Itu membuatnya jadi lebih imbang.

Jasper adalah yang terbaik, petarung yang paling berpengalaman diantara kami. Keuntunganku terletak pada kemampuanku mendengar gerakannya sebelum dia melakukannya.

Aku belum pernah bertarung sungguhan melawan Emmet atau Jasper—biasanya hanya bercanda dan bermain-main. Aku merasa mual pada pikiran akan mencoba benar-benar menyakiti Jasper...

Tidak, tidak begitu. Hanya menghalangi dia. Cuma itu.

Aku berkonsentrasi pada Alice, mengingat-ingat beragam variasai serangan Jasper.

Kemudian penglihatannya bergeser, bergerak menjauh dari rumah Bella. Aku mencegat Jasper duluan.

Hentikan, Edward! Tidak boleh terjadi seperti itu. Aku tidak akan membiarkan.

Aku mengacuhkannya. Aku tetap memperhatikan penglihatannya.

Dia mulai mencari lebih jauh kedepan, pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti dan masih kabur. Semuanya samar dan berbayang gelap.

Selama perjalanan sampai ke rumah, kesunyian itu tidak berubah. Aku parkir di garasi disamping rumah; Mercedes Carlisle sudah disitu, disebelah jeep besar Emmet, M3 milik Rose, dan Vanquishku. Aku lega Carlisle sudah pulang—keheningan ini akan segera meledak, dan aku ingin Carlisle ada ketika itu terjadi.

Kami langsung menuju ke ruang makan.

Tentu saja ruangan ini tidak pernah digunakan sebagaimana mestinya. Tapi tetap dilengkapi dengan meja mahoni oval panjang beserta kursi-kursinya—kami sangat teliti untuk meletakan setiap detail properi pada tempatnya. Carlisle sering menggunakannya sebagai ruang pertemuan. Dalam sebuah kelompok yang memiliki kekuatan super dan kepribadian berbeda, kadang perlu mendiskusikan sesuatu hal secara tenang dan beradab.

Aku merasa hal itu tidak akan banyak berguna hari ini.

Carlisle duduk di tempat biasanya, di ujung meja sebelah timur. Esme di sebelahnya—tangan mereka saling berpegangan diatas meja.

Mata Esme menatapku, keemasannya yang dalam menatapku prihatin.

Tinggallah. Hanya itu yang dia pikirkan.

Aku harap aku bisa bisa tersenyum pada perempuan yang telah menjadi ibuku ini, tapi aku sedang tidak cukup tenang sekarang.

Aku duduk disamping Carlisle. Esme mengulurkan tangan satunya untuk menyentuh pundakku. Dia belum terlalu mengerti apa yang terjadi; dia hanya risau padaku.

Carlisle lebih peka untuk bisa meraba apa yang sedang terjadi. Mulutnya terkatup rapat dan keningnya berkerut. Ekspresinya terlihat terlalu tua untuk wajah mudanya.

Saat semua duduk, garis demarkasi telah dibuat.

Rosalie duduk tepat di seberang Carlisle, di ujung meja satunya. Dia memelototiku, sama sekali tidak melihat ke arah lain.

Emmet duduk disampingnya, wajah dan pikirannya masam.

Jasper ragu-ragu, dan kemudian berdiri bersandar pada tembok di belakang Rosalie. Dia telah mengambil keputusan, tidak perduli apapun hasil diskusi ini. Gigiku langsung terkunci.

Alice yang terakhir datang, dan matanya fokus pada hal yang sangat jauh—masa depan, yang masih terlalu kabur untuk digunakan. Tanpa terlalu perduli dia duduk disamping Esme. Dia meremas-remas kepalanya seakan kepalanya sakit. Jasper mengejang gugup dan mempertimbangkan untuk mendekat, tapi dia tetap diam ditempat.

Aku mengambil napas panjang. Aku yang harus memulai ini—aku harus bicara duluan.

“Maafkan aku,” aku berkata sambil melihat pertama-tama ke Rosalie, lalu ke Jasper, dan ke Emmet. “Aku tidak bermaksud membahayakan kalian semua. Itu sangat ceroboh. Aku akan bertanggung jawab penuh atas tindakan gegabahku.”

Rosalie menatap curiga. “Apa yang kau maksud dengan 'bertanggung jawab penuh'? Apa kau akan membereskannya?”

“Tidak dengan cara yang kau maksud,” aku berusaha menata suaraku tetap tenang dan terkendali. “Aku bersedia untuk pergi saat ini juga, jika itu bisa mempebaiki keadaan.” Jika aku percaya gadis itu akan aman, jika aku percaya tidak satupun dari kalian akan menyentuhnya, aku mengultimatum dalam kepalaku.

“Tidak,” Esme berbisik. “Tidak, Edward.”

Aku menepuk tangannya. “Hanya beberapa tahun.”

“Esme ada benarnya,” ujar Emmet. “Kau tidak bisa kemana-mana sekarang. Itu adalah kebalikannya dari membantu. Kita harus tau apa yang dipikirkan orang-orang. Kita lebih membutuhkan hal itu sekarang daripada sebelumnya.”

“Alice akan mengetahui apapun yang penting.” aku tidak sependapat.

Carlisle menggeleng. “Aku rasa Emmet benar, Edward. Gadis itu akan lebih berniat bicara jika kau menghilang. Kita semuanya pergi, atau tidak satupun.”

“Dia tidak akan bicara.” aku buru-buru menyanggah. Rose sedang siap-siap meledak, dan aku ingin fakta ini terucap duluan.

“Kau tidak tau isi pikirannya,” Carlisle mengingatkan aku.

“Yang sebatas ini aku tau. Alice, dukung aku.”

Alice menatap letih. “Aku tidak bisa melihat apa yang akan terjadi jika kita mengabaikan ini.” Dia melirik ke Rose dan Jasper.

Tidak, dia tidak bisa melihat masa depan itu—tidak ketika Rosalie dan Jasper telah menetapkan pilihannya untuk bertindak.

Brak! Rosalie menggebrak meja keras-keras. “Kita tidak boleh memberi kesempatan pada manusia untuk buka mulut. Carlisle, kau harus melihatnya seperti itu. Bahkan jika diputuskan semuanya pergi, tidak aman meninggalkan cerita dibelakang kita. Kita hidup dengan cara yang sangat berbeda dari kaum kita yang lainnya—kau tau ada kelompok-kelompok yang dengan senang hati akan menghukum kita. Kita harus lebih berhati-hati dibanding yang lainnya!”

“Kita pernah meninggalkan rumor dibelakang kita sebelum ini,” aku mengingatkan dia.

“Hanya rumor dan kecurigaan, Edward. Bukan saksi mata dan bukti!”

“Itu bukti!” aku mencibir.

Tapi Jasper mengangguk, matanya keras.

“Rose—“ Carlisle mulai.

“Biar kuselesaikan, Carlisle. Kita tidak perlu repot-repot. Gadis itu terbentur kepalanya hari ini. Jadi mungkin lukanya jauh lebih serius dari kelihatannya.” Rosalie mengangkat bahu. “Setiap manusia pergi tidur dengan kemungkinan tidak akan pernah bangun lagi. Kelompok lain berharap kita membereskan sendiri masalah kita. Secara teknis, itu jadi tugas Edward, tapi dia tidak akan sanggup. Kau tau aku cukup bisa mengontrol diri. Aku tidak akan meninggalkan bukti.”

“Ya, Rosalie, kita semua tau bagaimana mahirnya kau sebagai pembunuh,” aku menggeram.

Dia balas mendesis marah.

“Edward, tolong,” Carlisle berusaha melerai. Kemudian ia menoleh ke Rosalie. “Rosalie, aku mengabaikan tindakanmu di Rochester karena aku merasa kau berhak dengan keadilanmu. Orang-orang yang kau bunuh telah berbuat keji padamu. Tapi ini lain. Bella Swan tidak bersalah.”

“Ini bukan masalah pribadi, Carlisle,” Rosalie berkata lewat sela giginya. “Ini untuk melindungi kita semua.”

Ada keheningan singkat saat Carlisle menimbang keputusannya. Saat ia mengangguk, mata Rosalie menyala nyalang. Rosalie seharusnya sudah bisa mengira. Bahkan jika aku tidak mampu membaca pikiran Carlisle, aku tetap bisa menebak sikapnya. Carlisle tidak pernah kompromi.

“Aku tau maksudmu baik, Rosalie, tapi...aku sangat ingin keluargaku tetap layak untuk dilindungi. Dalam kejadian tertentu...saat tidak sengaja atau karena lepas kontrol, adalah bagian yang dapat dimaklumi dari diri kita.” Itulah kebiasaannya untuk memasukan dirinya dalam konteks jamak, meskipun dia sendiri tidak pernah lepas kontrol. “Untuk membunuh anak tak berdosa dengan darah dingin adalah sesuatu yang lain. Aku percaya pada resiko yang ia akibatkan, terlepas ia akan bicara atau tidak, tetapi hal itu tidak sebanding dengan resiko yang lebih besar. Jika kita membuat pengecualian untuk melindungi diri, kita membahayakan sesuatu yang jauh lebih penting. Kita beresiko kehilangan jati diri kita.”

Aku mengontrol ekspresiku hati-hati. Tidak ada gunanya menyeringai. Atau bertepuk tangan, seperti yang sebetulnya aku inginkan.

Rosalie memberengut. “Itu cuma bertanggung jawab.”

“Itu namanya tidak berperasaan,” Carlisle membenarkan dengan lembut. “Setiap kehidupan itu berharga.”

Rosalie mendesah panjang dan cemberut. Emmet membelai punggungnya. “Semua akan baik-baik saja, Rose,” Dia menyemangati dengan suara pelan.

“Pertanyaannya,” Carlisle melanjutkan, “Apakah kita akan pindah?”

“Jangan,” Rosalie mengerang. “Kita baru saja menetap. Aku tidak mau mengulang sekolah lagi!”

“Kau masih bisa memakai usiamu yang sekarang,” Carlisle memberi saran.

“Dan harus pindah lagi secepat itu?” Dia menimpali.

Carlisle mengangkat bahu.

“Aku suka disini! Sangat jarang ada matahari, kita hampir bisa hidup normal.”

“Well, kita tidak harus memutuskan itu sekarang. Kita bisa menunggu sambil melihat jika itu diperlukan. Edward kelihatannya cukup yakin gadis itu tidak akan bicara.”

Rosalie mendengus.

Tapi aku tidak lagi khawatir pada Rose. Tidak perduli bagaimana marahnya ia padaku, ia bisa menerima keputusan Carlisle. Pembicaraan mereka telah beranjak ke hal sepele.

Namun Jasper tetap tidak bergerak.

Aku mengerti alasannya. Sebelum dia bertemu Alice, dia hidup di medan perang, panggung tanpa belas kasihan. Dia tau konsekuensi dari melanggar aturan kaum kami—dia pernah melihat sendiri hasil akhirnya yang mengerikan.

Sejak tadi ia tidak mencoba menenangkan Rosalie dengan kelebihannya, tapi juga tidak membuat Rosalie tambah gusar. Sejak awal ia menyisihkan dirinya dari diskusi ini—sama sekali mengabaikan.

“Jasper,” kataku.

Kami bertemu pandang, ekspresinya datar.

“Dia tidak akan membayar atas kesalahanku. Aku tidak akan membiarkan itu.”

“Berarti dia mengambil keuntungan dari situ? Seharusnya dia tadi mati, Edward. Aku hanya meluruskannya.”

Aku mengulangi kata-kataku, memberi tekanan pada tiap katanya. “Aku tidak akan membiarkan hal itu.”

Dia agak terkejut. Dia tidak mengharapkan ini—dia tidak membayangkan aku akan bertindak menghentikan dia.

Dia menggeleng satu kali. “Aku tidak akan membiarkan Alice dalam bahaya, bahkan bahaya kecil. Kau tidak merasakan ke siapapun seperti yang kurasakan pada dia, Edward. Dan kau tidak pernah melalui hidup seperti yang pernah kulalui, tak perduli kau bisa melihat ingatanku atau tidak. Kau tidak mengerti.”

“Aku tidak memperdebatkan hal itu, Jasper. Tapi biar kuberitau sekali lagi, aku tidak akan membiarkan kau menyakiti Bella Swan.”

Kami saling menatap—tidak mendelik, tapi saling menilai. Aku merasakan dia menyerap mood disekelilingku, mengecek kesungguhanku.

“Jazz,” Alice memotong.

Dia mempertahankan tatapannya sebentar, kemudian beralih ke Alice. “Tidak usah repot-repot mengatakan kau bisa menjaga diri, Alice. Aku sudah tau itu. Tapi aku tetap perlu—”

“Bukan itu yang ingin aku katakan,” Alice menyela. “Aku ingin minta tolong padamu.”

Aku melihat pikiran Alice, dan mulutku terlongo. Aku menatap dia, shok. Samar-samar aku menyadari, semua mata—selain Alice dan Jasper—kini beralih menatapku cemas.

“Aku tau kau mencintaiku. Terimakasih. Tapi aku akan sangat menghargai jika kau tidak membunuh Bella. Pertama, Edward sangat serius dan aku tidak ingin kalian bertarung. Kedua, Bella temanku. Paling tidak dia akan menjadi temanku.”

Gambaran itu sejernih kaca di kepalanya: Alice, tersenyum, dengan tangan putih-dinginnya merangkul pundak rapuh-hangat gadis itu. Dan Bella juga tersenyum, tangannya merangkul pinggang Alice.

Penglihatannya sangat jelas; hanya waktunya yang tidak pasti.

“Tapi...Alice...” Jasper tergagap. Aku tidak sanggup menoleh untuk melihat ekspresinya. Aku tidak sanggup memalingkan perhatianku dari gambaran dalam kepala Alice.

“Suatu saat aku akan menyayangi dia, Jazz. Aku akan kesal padamu jika kau tidak membiarkan dia.”

Aku masih terpatri pada pikiran Alice. Aku melihat penglihatan itu berkelip-kelip saat keputusan Jasper bimbang dihadapan permintaannya yang tidak terduga.

“Ah,” dia mendesah—kebimbangan Jasper membuat pandangan baru muncul lebih jelas. “Kau lihat? Bella tidak akan bicara. Tidak ada yang perlu dicemaskan.”

Dari caranya menyebut nama gadis itu...seakan mereka berdua telah menjadi sahabat dekat...

“Alice,” aku tersedeak. “Apa...ini...?”

“Aku kan sudah bilang sesuatu ada yang berubah. Aku tidak tau Edward.” tapi kemudian tiba-tiba rahangnya terkunci, dan aku bisa melihat ada sesuatu yang lain. Dia berusaha tidak memikiran hal itu; dia tiba-tiba fokus sangat keras pada Jasper, meskipun Jasper sedang terlalu kaget untuk membuat keputusan lain.

Alice biasanya melakukan ini jika ingin menyembunyikan sesuatu dariku.

“Apa, Alice? Apa yang kau sembunyikan?”

Aku mendengar Emmet menggerutu. Dia selalu frustasi saat Alice dan aku bicara seperti ini.

Dia menggelengkan kepalanya, berusaha tidak membiarkan aku masuk.

“Apa tentang gadis itu?” aku menuntut. “Apa tentang Bella?”

Dia menggertakan giginya berkonsentrasi, tapi saat aku menyebut nama Bella, pegangannya terlepas sebentar. Hanya sepersekian detik, tapi itu lebih dari cukup.

“TIDAK!” Aku berteriak. Kursiku terbanting ke lantai, dan aku terlonjak berdiri.

“Edward!” Carlisle ikut berdiri, tangannya di pundakku. Aku hampir tidak menyadari keberadaannya.

“Itu makin nyata,” Alice membisik. “Tiap menit kau makin yakin. Tinggal ada dua jalan bagi dia. Yang satu atau yang lainnya, Edward.”

Aku bisa melihat apa yang dia lihat... tapi aku tidak bisa menerima hal itu.

“Tidak,” kataku lagi; tidak ada keyakinan pada penyangkalanku. Kakiku lemas. Aku berpegangan pada meja.

“Akankah seseorang memberitau apa yang sedang terjadi?” Protes Emmet.

“Aku harus pergi,” Aku berbisik pada Alice, mengabaikan Emmet.

“Edward, kita sudah membahas itu,” Emmet berkata keras-keras. “Itu justru akan membuat gadis itu bicara. Lagipula, jika kau pergi, kita tidak akan tau secara pasti apa dia bicara atau tidak. Kau harus tinggal dan mengatasi hal ini.”

“Aku tidak melihat kau pergi, Edward,” Alice memberitau. “Aku tidak tau apa kau akan pernah sanggup pergi.” coba pikirkan, dia menambahkan dalam hati. Bayangkan kau pergi.

Aku bisa melihat apa yang dia maksud. Ya, bayangan tidak akan pernah melihat gadis itu lagi akan...menyakitkan. Tapi itu juga penting. Aku tidak bisa menyetujui pilihan lainnya.

Aku tidak sepenuhnya yakin dengan Jasper, Edward, Alice melanjutkan. Jika kau pergi, jika Jasper pikir dia membahayakan kita...

“Aku tidak mendengar itu,” aku menyanggah, masih setengah sadar dengan kehadiran yang lain. Jasper ragu-ragu. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang akan menyakiti Alice.

Tidak saat ini. Apa kau akan mempertaruhkan hidupnya, meninggalkan dia sendirian?

“Kenapa kau melakukan ini padaku?” Aku mengerang. Kepalaku jatuh ke tangan.

Aku bukan pelindung Bella. Tidak mungkin begitu. Apa penglihatan Alice bisa menjamin itu?

Aku juga mencintai dia. Akan. Itu mungkin tidak sama, tapi aku juga ingin dia bersamaku.

“Mencintai dia, juga?” bisikku tidak percaya.

Dia mendesah. Kau benar-benar buta, Edward. Apa kau tidak bisa melihat kemana tujuanmu? Apa kau tidak bisa melihat dimana kau sekarang? Hal itu lebih tidak terelakan daripada matahari terbit dari timur. Lihat apa yang kulihat...

Aku menggeleng-geleng ngeri. “Tidak.” aku berusaha mengusir penglihatan yang ia coba perlihatkan. “Aku tidak harus mengikuti jalan itu. Aku akan pergi. Aku akan merubah nya.”

“Kau bisa mencobanya,” ujar dia dengan nada skeptis.

“Oh, ayo lah!” Emmet mengeluh.

“Perhatikan,” Rose berbisik padanya. “Alice melihat dia jatuh cinta pada manusia! Itu sangat Edward!” dia membuat suara tersumbat.

Aku jarang mendengar dia begitu.

“Apa?” Emmet terkejut. Kemudian tawanya pecah. “Apa itu yang sedang terjadi?” dia tertawa lagi. “Keputusan hebat, Edward.”

Aku merasakan tangannya di pundakku, dan aku menepisnya masih dengan kepala kosong. Aku sama sekali tidak memperhatikan dia.

“Jatuh cinta pada manusia?” Esme mengulangi dengan suara terkesima. “Pada gadis yang ia selamatkan hari ini? Jatuh cinta padanya?”

“Apa yang kau lihat, Alice? Tepatnya,” Jasper menuntut.

Alice menoleh ke dia; aku tetap menatap kosong ke sisi wajahnya.

“Semuanya tergantung apa dia cukup kuat atau tidak. Apakah ia akan membunuhnya sendiri,” —Alice ganti mendelik padaku—“yang akan membuatku benar-benar marah, Edward, belum lagi bagaimana dampaknya bagimu—” dia menghadap ke Jasper lagi, “atau, dia akan menjadi salah satu dari kita suatu saat nanti.”

Seseorang menarik napas shok; aku tidak mencari siapa orangnya.

“Itu tidak akan terjadi!” aku berteriak lagi. “Tidak keduanya!”

Alice kelihatannya tidak mendengar. Tidak satupun yang kelihatannya mendengar. Seisi ruangan sunyi.

Aku menatap Alice, dan semua menatap ke arahku. Aku bisa melihat ekspresi ngeri pada wajahku dari lima sudut berbeda.

Setelah beberapa lama, Carlisle mendesah.

“Well, ini...jadi rumit.”

“Betul itu,” Emmet sependapat. Suaranya masih hampir tertawa. Aku percaya Emmet telah menemukan lelucon dari kehancuran hidupku.

“Aku rasa rencananya akan tetap sama,” Carlisle berkata penuh pertimbangan. “Kita akan tinggal, dan menunggu. Tampaknya sudah jelas, tidak akan ada yang...menyakiti gadis itu.”

Aku membeku.

“Tidak ada,” Jasper berkata pelan. “Aku setuju dengan hal itu. Jika Alice melihat hanya ada dua jalan—”

“Tidak!” suaraku bukan berupa teriakan, atau geraman, atau raung putus-asa, tapi gabungan ketiganya. “Tidak!”

Aku harus pergi, lari dari keributan pikiran mereka—kemuakan Rosalie, lelucon Emmet, kesabaran tanpa batas Carlisle...

Yang lebih parah: keyakinan Alice. Keyakinan Jasper terhadap keyakinan itu.

Dan yang paling parah: Esme...bahagia.

Aku menghambur keluar ruangan. Esme menyentuh lenganku saat aku lewat, tapi aku tidak menyadari hal itu.

Aku sudah lebih dulu berlari sebelum keluar dari rumah. Aku mencapai sungai dengan satu loncatan, dan langsung berpacu menembus hutan. Hujan mulai turun lagi, turun sangat deras hingga aku basah kuyup dalam sekejap. Aku menyukai kepekatan lapisan air ini—membentuk tembok pembatas antara diriku dengan dunia luar. Menyembunyikan diriku, membiarkan aku seorang diri.

Aku terus berlari kearah timur, melintasi pegunungan tanpa mengurangi kecepatan, sampai aku melihat cahaya lampu kota Seattle di kejauhan. Aku berhenti sebelum sampai ke batas peradaban manusia.

Tersembunyi di balik hujan, seorang diri, akhirnya aku bisa memaksa diriku untuk melihat apa yang telah kuperbuat—bagaimana aku telah memutilasi masa depannya.

Pertama, penglihatan Alice dan gadis itu saling merangkul—kepercayaan dan persahabatan tergambar dengan jelas pada gambar itu. Mata coklat-lebar Bella tidak lagi bertanya-tanya dalam dalam penglihatan ini, tapi tetap penuh rahasia—pada saat ini, mereka kelihatan bahagia. Dia tidak menjauhkan diri dari tangan dingin Alice.

Apa itu artinya? Seberapa banyak yang ia tau? Dalam momen di masa depan itu, apa yang ia pikir tentang aku?

Kemudian gambaran lagi, kurang lebih sama, namun kini dalam corak horor. Alice dan Bella, tangan mereka masih saling merangkul bersahabat. Tapi kini tidak ada perbedaan diantara tangan mereka—keduanya putih, sehalus pualam, sekeras baja. Mata lebar Bella tidak lagi coklat. Iris matanya secara mengejutkan merah terang. Kerahasiaan dalam matanya sangat sulit diurai—menerima atau sedih? Mustahil untuk ditebak. Wajahnya dingin dan abadi.

Aku gemetar. Aku tidak dapat menahan pertanyaan yang mirip tapi berbeda ini: apa itu artinya? Dan apa yang dia pikir tentang aku saat ini?

Aku bisa menjawab pertanyaan yang terakhir. Jika aku memaksa dia menjalani setengah-hidup hampa ini karena kelemahan dan keegoisanku, sudah pasti ia akan membenciku.

Tapi ada satu lagi gambar yang jauh lebih mengerikan—lebih buruk dari apapun yang pernah ada di kepalaku.

Kedua mataku, berwarna merah terang karena darah manusia, mata seorang monster. Tubuh rusak Bella dalam pelukanku, sepucat kapas, kering, tak bernyawa. Itu sangat kongkrit, sangat jelas.

Aku tidak tahan melihatnya. Tidak mampu menanggungnya. Aku coba mengusirnya dari benakku, mencoba melihat ke hal lain, apa saja. Mencoba melihat lagi ekspresi pada wajah hidupnya yang sebelum ini telah menghalangi pandanganku. Semua tetap tidak ada gunanya.

Penglihatan kelam Alice memenuhi kepalaku, dan perasaanku menggeliat menderita. Sementara itu, monster dalam diriku meluap gembira, bersorak girang pada kemungkinan kesuksesannya. Hal itu membuatku muak.

Ini tidak boleh dibiarkan. Pasti ada jalan untuk mengelakan masa depan itu. Aku tidak akan membiarkan penglihatan Alice mengarahkan aku. Aku bisa memilih jalan yang berbeda. Selalu ada pilihan.

Harus ada.

5. Undangan

Sekolah. Bukan lagi penyiksaan, sekarang murni neraka. Penyiksaan dan api...ya, aku memperoleh keduanya.

Aku melakukan segalanya dengan benar sekarang. Semuanya sempurna. Tidak ada yang bisa mengeluh aku melalaikan tanggung jawabku.

Untuk menyenangkan Esme dan melindungi lainnya, aku tetap tinggal di Forks. Aku kembali pada keseharianku. Aku berburu tidak lebih sering dari yang lain. Setiap hari masuk sekolah dan pura-pura menjadi manusia. Setiap hari mendengarkan jika muncul gosip baru tentang keluarga Cullen—tidak pernah ada yang baru. Gadis itu tidak pernah membicarakan kecurigaannya. Dia hanya mengulang-ulang cerita yang sama—aku berdiri disampingnya dan kemudian menarik dia—sampai para penanyanya bosan dan berhenti bertanya-tanya. Tidak ada bahaya. Tindakan gegabahku tidak menyakiti siapapun.

Kecuali aku sendiri.

Aku bertekad untuk mengubah masa depan. Bukan tugas mudah, tapi pilihan lainnya tidak bisa kuterima.

Menurut Alice aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Akan kubuktikan dia salah.

Kupikir hari pertama akan menjadi yang paling sulit. Pada penghujung hari aku menyadari itu salah.

Miris rasanya akan melukai perasaan gadis itu. Aku menghibur diri dengan memikirkan rasa sakit dia tidak lebih dari sekedar cubitan—cuma penolakan kecil—dibanding rasa sakitku. Bella adalah manusia. Ia tau aku sesuatu yang lain Sesuatu yang salah. Sesuatu yang mengerikan. Ia akan merasa lega daripada terluka kalau aku mengabaikan dia dan menganggapnya tidak ada.

“Halo, Edward,” dia menyapaku pada hari pertama pelajaran biologi. Suaranya ramah, berbeda seratus delapan puluh derajat dari terakhir kali kami bicara.

Mengapa? Apa arti dari perubahan ini? Apa dia melupakannya? Memutuskan itu semua cuma imajinasinya? Mungkinkah ia memaafkan aku karena tidak menepati janjiku?

Pertanyaan-pertanyaan itu membakar tenggorokanku seperti dahaga.

Mungkin satu kali saja melihat kedalam matanya. Cuma untuk melihat siapa tau bisa menemukan jawabannya disana...

Tidak. Bahkan itu tidak boleh. Tidak jika aku ingin mengubah masa depan.

Aku menggeser daguku seinci ke arahnya tanpa berpaling dari depan kelas. Aku mengangguk sekali, kemudian kembali memandang lurus kedepan.

Dia tidak bicara lagi padaku.

Sorenya, usai sekolah, aku langsung berlari ke Seattle seperti yang kulakukan kemarin. Keperihanku sedikit lebih baik saat sedang terbang diatas tanah, mengubah sekelilingku menjadi bayangan hijau kabur.

Berlari seperti ini sekarang menjadi kebiasaan harian.

Apa aku mencintai dia? Aku rasa tidak. Belum. Bagaimanapun juga penglihatan Alice terus mengangguku. Aku bisa melihat betapa mudahnya untuk jatuh cinta pada Bella. Itu sama persis seperti jatuh: tanpa daya. Berjuang untuk tidak mencintai dia justru kebalikannya dari jatuh—seperti mengangkat tubuhku naik ke puncak terjal, sejengkal demi sejengkal, begitu meletihkan seakan cuma kekuatan manusia yang kupunya.

Lebih dari satu bulan telah lewat. Dan setiap hari justru makin sulit. Ini tidak masuk akal. Aku selalu menunggu kapan bisa melaluinya, untuk bisa berjalan lebih mudah. Tapi itu tidak kunjung terjadi. Mungkin ini yang dimaksud Alice ketika mengatakan aku tidak akan sanggup menjauh dari gadis itu. Dia sudah melihat akumulasi sakitku, dan bukannya berkurang. Tapi aku bisa menahan sakit.

Aku tidak akan menghancurkan masa depan Bella. Jika ditakdirkan mencintai dia, bukankah menghindari dia adalah hal minimal yang bisa kulakukan?

Tapi menghindari dia adalah batasan yang mampu kutanggung. Aku bisa berlagak mengabaikan dia, tidak pernah melihat ke arahnya. Aku bisa berlagak dia tidak menarik perhatianku. Tapi hanya sebatas itu, hanya berlagak, bukan yang sebenarnya.

Aku selalu memperhatikan setiap tarikan napasnya, setiap kata yang ia ucap.

Aku membagi penyiksaanku menjadi empat kategori.

Dua yang pertama sudah tidak asing. Aroma dan kesunyian-mental dia. Atau, bisa dibilang—untuk meletakan tanggung jawab pada diriku, seperti yang semestinya—rasa haus dan penasaranku.

Yang pertama adalah yang paling pokok. Aku tidak pernah bernapas selama pelajaran biologi. Tentu saja ada pengecualian—saat harus menjawab pertanyaan, atau sesuatu yang seperti itu, aku butuh mengambil napas untuk bicara. Setiap kali, efeknya sama seperti hari pertama—terbakar, haus, dan kebengisan yang ingin meloncat keluar. Pada saat seperti itu sangat sulit untuk berpikiran waras. Dan, sama seperti di hari pertama, monster dalam diriku sudah siap dengan giginya, begitu dekat dengan permukaan...

Sedang penasaran adalah yang paling konstan dari penyiksaanku. Pertanyaan ini terus mengahantui: Apa yang sedang ia pikirkan sekarang? Saat kudengar dia mendesah pelan. Saat tanpa sadar memilin rambutnya. Saat menjatuhkan bukunya lebih keras dari biasanya. Saat terburu-buru masuk kelas terlambat. Saat mengetuk-ngetukan kakinya tidak sabaran ke lantai.

Tiap gerakan yang tertangkap ujung mataku adalah misteri yang menjengkelkan. Ketika ia bicara ke murid lain, aku menganalisa tiap kata dan intonasinya. Apa dia mengutarakan pikirannya, atau sekedar mengatakan yang sebaiknya dikatakan? Kedengarannya ia lebih sering mengutarakan apa yang diharapkan lawan bicaranya. Ini mengingatkan aku pada keluargaku dan keseharaian palsu kami—kami melakukannya jauh lebih baik dari dia. Kecuali kalau penangkapanku itu salah, dan hanya bayanganku saja. Kenapa juga dia harus pura-pura? Dia bagian dari mereka—manusia remaja.

Mike Newton secara mengejutkan masuk dalam bagian penyiksaanku. Siapa sangka manusia-kebanyakan yang membosankan seperti dia bisa jadi sangat mengesalkan? Kalau mau adil, aku seharusnya berterima kasih pada bocah itu. Dia membuat gadis itu terus bicara. Aku banyak belajar tentang dia dari situ—aku masih terus melengkapi daftarku. Tapi sebaliknya, bantuan Mike justru membuatku makin jengkel. Aku tidak ingin Mike menjadi orang yang memecahkan rahasia gadis itu. Aku yang ingin melakukannya.

Untung Mike tidak pernah menyadari pertanda kecil yang kadang muncul pada bahasa tubuhnya. Dia membentuk sosok Bella yang tidak nyata—seorang perempuan seumum dirinya. Dia tidak memperhatikan ketidak-egoisan dan keberanian yang membedakan Bella dari manusia lain. Dia tidak mendengar kedewasaan-abnormal pikirannya saat ia bicara. Dia tidak menyadari ketika Bella membicarakan ibunya, dia kedengaran lebih seperti orang tua membicarakan anaknya daripada sebaliknya—penuh sayang, murah hati, kagum, dan cenderung protektif. Bocah itu tidak mendengar kesabaran pada suaranya ketika ia pura-pura tertarik pada segala macam ceritanya, dan tidak menilai kebaikan hati dibalik kesabarannya itu.

Dari percakapan gadis itu dengan Mike, aku berhasil menambahkan satu sifat yang paling penting kedalam daftarku, yang paling menonjol, sangat sederhana namun jarang kujumpai: Bella orang baik. Sifat yang lainnya cuma penjabaran dari itu—baik hati, tidak cari perhatian, tidak egois, penyayang, dan berani—dia benar-benar orang baik.

Bagaimanapun juga penemuan bermanfaat ini tidak melunakan sikapku pada si bocah. Sikap posesifnya terhadap Bella—seolah Bella akan jadi miliknya—memancing kemarahanku, hampir sebesar yang diakibatkan segala fantasinya tentang Bella. Seiring berjalannya waktu ia juga lebih percaya diri. Karena tampaknya Bella lebih memilih dia ketimbang cowok lain yang ia anggap saingan—Tyler Crowley, Eric Yorkie, dan bahkan, kadang-kadang, diriku.

Secara rutin ia selalu duduk di sisi mejanya sebelum kelas dimulai, mengajaknya ngobrol, tersemengati melihat senyumannya. Hanya senyum sopan, aku mengatakan pada diriku sendiri. Tiap kali aku selalu menghibur diri dengan membayangkan menapuk wajahnya hingga terlempar ke tembok... itu tidak akan terlalu fatal...

Mike jarang menganggapku sebagai saingan. Setelah insiden waktu itu, dia sempat khawatir Bella dan aku jadi lebih dekat, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sebelumnya dia selalu terganggu dengan tatapanku yang selalu tertuju pada Bella. Tapi kini aku sama mengabaikannya seperti yang lain, dan itu membuat Mike puas.

Apa yang sedang ia pikirkan? Apa dia menyukai perhatian Mike?

Dan, akhirnya, hal terakhir dari siksaanku, yang paling menyakitkan: sikap acuh Bella. Sama seperti aku mengacuhkan dia, dia mengacuhkan aku. Dia tidak pernah mengajakku bicara lagi. Yang bisa kuketahui, dia tidak pernah memikirkan aku sama sekali.

Ini bisa membuatku gila—atau bahkan mematahkan tekadku untuk merubah masa depan. Kecuali kadang ia menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Aku tidak melihatnya sendiri. Aku melarang diriku untuk melihat ke dia. Tapi Alice selalu memberi peringatan ketika ia akan menoleh ke arah kami; yang lain masih khawatir pada gadis itu.

Itu sedikit mengurangi rasa sakit, mengetahui kadang ia memandangiku dari jauh. Tentu saja, bisa jadi dia cuma sedang mengira-ngira mahluk mengerikan apa aku ini.

“Bella sebentar lagi akan melihat ke Edward. Bersikap wajar,” kata Alice pada suatu selasa di bulan Maret. Semua segera membuat gerak-gerik kecil dan mengganti tumpuan layaknya manusia; tidak bergerak sama sekali—beku—adalah ciri kaum kami.

Aku menghitung seberapa sering dia melihat ke arahku. Itu membuatku senang, meskipun seharusnya tidak, bahwa frekuensinya tidak berkurang sama sekali. Aku tidak tau apa artinya, tapi membuatku merasa jauh lebih baik.

Alice mendesah. Aku harap...

“Jangan ikut campur, Alice,” tukasku dari balik napas. “Itu tidak akan terjadi.”

Dia cemberut. Alice sangat penasaran ingin mewujudkan mimpi-persahabatannya dengan Bella. Dalam cara yang aneh, dia merindukan perempuan yang tidak ia kenal.

Aku akui, kau lebih baik dari yang kukira. Kau membuat masa depan itu menjadi kabur dan kacau lagi. Semoga kau senang.

“Itu sangat masuk akal buatku.”

Dia mendengus.

Aku berusaha membuatnya diam. Aku sedang tidak ingin ngobrol. Moodku sedang jelek—lebih tegang dari yang mereka lihat. Hanya Jasper yang menyadari. Dia membaca luapan pancaran stres dariku dengan kemampuan uniknya, yang bisa merasa dan mempengaruhi mood orang lain. Namun dia tidak mengerti alasan dibalik mood itu, dan—karena setiap hari moodku memang selalu buruk—dia mengabaikannya.

Hari ini akan sulit. Lebih sulit dari kemarin. Selalu begitu polanya.

Mike Newton, bocah menjengkelkan yang tidak boleh kuanggap sebagai saingan, berencana mengajak Bella kencan.

Sebentar lagi akan ada pesta dansa musim semi. Kali ini pihak perempuan yang memilih pasangannya. Dan Mike sangat berharap Bella akan mengajak dia. Tapi Bella masih belum mengajaknya, dan ini menggoyahkan kepercayaan dirinya. Posisinya terjepit—aku menikmati kegusaran dia lebih dari semestinya—karena Jessica Stanley sudah mengajak dia duluan. Dia tidak mau menjawab “ya,” karena masih berharap Bella memilih dia (menjadi bukti kemenangan dia atas para pesaingnya), tapi ia juga segan menjawab “tidak,” takut berakhir tidak mendapatkan keduanya.

Jessica sendiri tersinggung dengan keraguan Mike. Ia bisa menebak alasan dibaliknya, dan ia jadi menjelek-jelekkan Bella di pikirannya. Lagi, instingku membuatku ingin meletakan diri diantara pikiran marah Jessica dan Bella. Aku memahami insting itu lebih baik sekarang, tapi justru jadi lebih menjengkelkan karena tidak bisa melakukan apa-apa.

Tidak kusangka bisa sampai sejauh ini! Bisa-bisanya aku sampai ingin terlibat dalam drama picisan yang sebelumnya sempat kuhina-hina ini.

Mike sedang memberanikan diri saat berjalan bersama Bella ke kelas biologi. Aku mendengarkan pergolakan batinya saat menunggu mereka masuk. Bocah itu lembek. Dia sengaja cuma menunggu, takut ketertarikannya diketahui Bella sebelum ia menunjukan tanda-tanda akan mengajaknya. Dia tidak ingin terlihat lemah hingga ditolak. Dia lebih memilih Bella duluan yang mulai.

Pengecut.

Dia duduk di ujung meja lagi, merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Aku membayangkan bagaimana suaranya jika badannya membentur tembok hingga tulang-tulangnya remuk.

“Jadi,” kata Mike ke gadis itu. Matanya menatap lantai. “Jessica memintaku pergi dengannya ke pesta dansa musim semi.”

“Bagus, dong,” Bella langsung menjawab dengan penuh semangat. Sulit untuk tidak tersenyum saat Mike akhirnya menyerap nada itu. Dia mengharapkan tanggapan yang negatif. “Kau akan bersenang-senang dengan Jessica.”

Dia berjuang mencari lanjutan yang tepat. “Well...” dia ragu-ragu, dan hampir secara kecut mundur. Kemudian ia memberanikan diri lagi. “Aku mengatakan padanya akan kupikirkan.”

“Kenapa kau bilang begitu?” Nadanya tidak setuju, tapi ada secuil kelegaan juga.

Apa itu artinya? Kemarahan yang muncul tiba-tiba membuat tanganku mengepal.

Mike tidak mendengar kelegaan itu. Wajahnya merah padam—panasnya langsung terasa, ini seperti undangan—dan ia melihat ke lantai lagi.

“Aku bertanya-tanya jika...well, jika kau mungkin punya rencana untuk mengajakku.”

Bella ragu-ragu.

Dalam sedetik keraguan itu, aku melihat masa depannya dengan lebih jelas.

Gadis itu mungkin akan menjawab 'ya' pada Mike, atau mungkin 'tidak'. Tapi, apapun itu, suatu saat nanti, ia akan berkata ya pada seseorang. Dia menyenangkan dan menawan. Para pria-manusia sangat menyadari hal itu. Entah ia akan memilih diantara orang-orang menyedihkan ini, atau menunggu sampai pergi dari Forks, akan datang hari dimana ia akan berkata ya.

Aku melihat hidupnya dengan sangat jelas—kuliah, karir...percintaan, pernikahan. Aku melihat dia dalam gandengan ayahnya lagi, bergaun putih gading, wajahnya bersemu bahagia saat berjalan dengan iringan simfoni Wagner.

Luka yang kurasakan melebihi segalanya. Manusia biasa pasti akan mati menanggung sakit seperti ini—mereka tidak akan bisa hidup.

Dan bukan cuma sakit, tapi sekaligus amarah yang sangat.

Amarah ini menuntut pelampiasan sekarang juga. Meskipun bocah ini bukan yang akan dijawab ya oleh Bella, tanganku gatal ingin meremukan tengkoraknya, menjadikan dia sebagai contoh bagi siapapun yang ingin mendekati Bella.

Aku tidak memahami perasaan ini—campuran dari rasa sakit, amarah, hasrat, dan putus asa. Aku belum pernah merasakan sebelumnya; aku tidak bisa menamakannya.

“Mike, menurutku kau harus bilang ya padanya,” Bella menjawab dengan suara lembut.

Harapan Mike runtuh. Dalam kesempatan berbeda aku akan menikmatinya, tapi aku sedang bingung dengan perasaan menyakitkan ini—dan menyesali dampaknya padaku.

Alice benar. Aku tidak cukup kuat.

Saat ini, Alice akan mengamati bagaimana masa depan akan berputar dan berubah-ubah. Apa ini akan membuatnya senang?

“Apa kau sudah mengajak seseorang?” Mike bertanya dengan kesal terpendam. Dia mendelik padaku, curiga untuk pertama kalinya selama berminggu-minggu ini. Aku sadar telah mengkhianati tekadku sendiri; kepalaku sedikit miring kearah Bella.

Rasa iri liar dalam pikiran Mike—iri pada siapapun yang dipilih gadis ini—mendadak memberi nama pada emosi-tak-bernamaku.

Aku cemburu.

“Tidak,” gadis itu berkata dengan sedikit jejak humor di suaranya. “Aku tidak akan datang ke pesta dansa.”

Melebihi segala penyesalan dan marah, aku merasa lega pada jawabannya. Saat itu juga aku mulai mempertimbangakan saingan-sainganku yang lain.

“Kenapa tidak?” Mike bertanya dengan agak kasar. Aku tersinggung mendengar Mike menggunakan nada seperti itu ke dia. Aku menahan geramanku.

“Aku akan pergi ke Seattle sabtu itu,” jawabnya.

Penasaranku tidak sehebat sebelumnya—kini saat aku telah berniat untuk mencari jawaban pertanyaan itu. Aku akan segera tau alasannya sebentar lagi.

Suara Mike berubah membujuk. “Tidak bisa kah kau pergi lain kali?”

“Maaf, tidak bisa.” Bella kini agak ketus. “Jadi sebaiknya kau tidak membuat Jess menunggu lebih lama—itu tidak baik.”

Kepeduliannya pada Jessica mengipasi api cemburuku. Perjalanan ke Seattle jelas-jelas cuma alasan untuk mengelak—apa penolakannya murni karena loyalitas dia pada temannya? Dia jauh lebih dari tidak-egois jika begitu. Apa sebetulnya dia berharap bisa berkata ya? Atau, apa keduanya bukan? Jangan-jangan dia tertarik dengan orang lain?

“Ya, kau benar,” gumam Mike, sangat terpukul hingga aku hampir merasa kasihan. Hampir.

Di menjatuhkan pandangannya dari si gadis, menghentikan pandanganku ke wajah Bella dalam pikirannya.

Aku tidak boleh membiarkan hal itu.

Maka untuk pertama kalinya dalam sebulan, aku menoleh untuk membaca sendiri wajahnya. Rasanya sangat lega membiarkan diriku melakukan ini, seperti tarikan napas di permukaan pada penyelam yang kehabisan oksigen.

Matanya tertutup, dua tangannya menekan kedua sisi wajahnya. Bahunya terkulai galau. Dia menggeleng sangat pelan, seolah ingin mengusir sesuatu dari pikirannya.

Frustasi. Menarik.

Suara Mr. Banner membangunkan dia dari lamunan. Matanya pelan-pelan membuka. Dan ia langsung melihat kearahku, mungkin merasakan tatapanku. Dia menatap kedalam mataku dengan ekspresi penuh tanya yang sama dengan yang menghantuiku selama ini.

Aku tidak merasa menyesal, bersalah, atau marah dalam detik ini. Aku tau segala perasaan itu akan datang lagi, tapi untuk saat ini aku dimabukan oleh kegugupan yang aneh. Seakan aku telah menang, dan bukannya kalah.

Dia tidak membuang muka, meskipun aku menatapnya dengan keingintauan yang tidak pantas, sia-sia mencoba membaca pikirannya melalui mata coklat mudanya. Matanya penuh pertanyaan daripada jawaban.

Aku bisa melihat pantulan mataku sendiri. Dua mataku hitam karena haus. Hampir dua minggu sejak terakhir kali berburu; ini bukan hari yang aman bagi keruntuhan niatku. Tapi sepertinya kegelapan mataku tidak menakuti dia. Ia masih tidak membuang muka, hingga kemudian semburat halus merah muda meronai pipinya.

Apa yang sedang ia pikirkan?

Aku hampir menanyakan itu keras-keras, tapi kemudian Mr. Banner memanggil namaku. Aku memilih jawaban yang benar dari pikirannya sambil menoleh sekilas.

Aku menarik napas cepat. “Siklus Krebs.”

Rasa haus menghanguskan tenggorokanku—mengencangkan otot-ototku dan memenuhi mulutku dengan liur. Aku memejam, berusaha berkonsentrasi menghalau hasrat akan darahnya yang mengamuk dalam diriku.

Monster itu jauh lebih kuat dari sebelumnya. Monster itu sedang berlonjak gembira. Dia merengkuh dua pilihan masa depan yang membuat posisinya imbang, kesempatan sama besar yang selama ini ia idam-idamkan dengan licik. Pilihan ketiga yang coba kubangun dengan kekuatan niat semata telah runtuh—dihancurkan oleh kecemburuan sepele—dan monster itu hampir mencapai tujuannya.

Penyesalan dan rasa bersalah terbakar bersama dahaga. Jika aku punya kemampuan memproduksi air mata, mataku pasti sudah berlinangan sekarang.

Apa yang telah kulakukan?

Mengetahui telah kalah, sudah tidak ada lagi alasan untuk menahan apa yang kuinginkan; aku kembali memandangi gadis itu lagi.

Dia bersembunyi dibalik rambutnya, tapi aku bisa melihat melalui celah rambutnya bagaimana pipinya kini berwarna merah terang.

Sang monster menyukai itu.

Dia tidak membalas tatapanku lagi, tapi jarinya memilin rambut gelapnya dengan gugup. Jari tangannya yang lembut, pergelangan tangannya yang rapuh—keduanya sangat ringkih, bahkan hanya dengan hembusan napas bisa kupatahkan.

Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa melakukan ini. Dia terlalu rapuh, terlalu baik, terlalu berharga untuk menerima takdir ini. Aku tidak mengijinkan kehidupanku menghancurkan hidupannya.

Tapi aku juga tidak bisa menjauh dari dia. Alice betul tentang itu.

Monster dalam diriku mendesesis frustasi saat aku bimbang.

Selama terombang-ambing, satu jam singkatku bersama dia berlalu cepat. Bel berbunyi, dan ia mengumpulkan barang-barangnya tanpa menengok. Ini membuatku kecewa, tapi tidak mungkin berharap sebaliknya. Caraku memperlakukan dia sejak insiden itu tidak termaafkan.

“Bella?” kataku tanpa bisa kucegah. Tekadku sudah tercabik-cabik.

Dia bimbang sebelum melihat ke arahku; saat menoleh ekspresinya hati-hati, curiga.

Aku mengingatkan diriku sendiri bahwa ia sangat berhak untuk tidak percaya padaku. Bahwa seharusnya begitu.

Dia menunggu, tapi aku hanya memandanginya, membaca wajahnya. Aku menarik napas pendek, melawan rasa hausku.

“Apa?” dia akhirnya bertanya. “Apa kau bicara denganku lagi?” ada bagian pada nada kesalnya yang seperti ketika ia marah, justru membuat orang ingin membelai sayang dia. Itu membuatku ingin tersenyum.

Aku tidak begitu yakin bagaimana menjawabnya. Apa aku bicara dengan dia lagi, dalam pengertian yang ia maksud?

Tidak. Tidak jika aku bisa menghindarinya. Aku akan berusaha menghindarinya.

“Tidak, tidak juga,” aku memberitau dia.

Dia menutup mata, yang membuatku frustasi. Ini memotong jalurku membaca perasaannya. Dia mengambil napas panjang tanpa membuka mata. Rahangnya terkunci.

Matanya masih tertutup saat bicara. Tentu ini bukan kebiasaan manusia normal. Kenapa dia melakukannya?

“Lalu apa maumu, Edward?”

Mendengar namaku diucapkan oleh bibirnya, berdampak aneh pada tubuhku. Jika aku punya detak jantung, pastilah berdetak lebih cepat.

Tapi bagaimana menjawabnya?

Apa adanya, aku memutuskan. Aku akan berkata apa adanya mulai sekarang. Aku tidak mau tidak-dipercaya oleh dia, bahkan jika untuk mendapat kepercayaannya adalah mustahil.

“Aku minta maaf.” itu adalah hal yang paling jujur. Sayangnya aku cuma bisa minta maaf dengan aman atas hal yang sepele. “Aku tau sikapku sangat kasar. Tapi lebih baik seperti itu, sungguh.”

Akan lebih baik bagi dia jika aku terus bersikap kasar. Apa aku bisa?

Matanya membuka, ekspresinya masih hati-hati.

“Aku tidak tau apa maksudmu.”

Aku coba memberi peringatan sebatas yang kubisa. “Lebih baik kita tidak berteman.” tentu dia menyadari peringatan itu. Dia perempuan cerdas. “Percayalah.”

Matanya menyipit. Aku ingat pernah mengatakan itu sebelumnya—tepat sebelum melanggarnya. Aku mengernyit saat dia menggertakan gigi—jelas dia juga masih ingat.

“Sayang sekali kau tidak menyadarinya sejak awal,” ujarnya marah. “Jadi kau tidak perlu repot-repot menyesal begini.”

Aku memandangnya shok. Apa yang ia ketahui tentang penyesalanku?

“Menyesal? Menyesal kenapa?” tanyaku menuntut.

“Karena tidak membiarkan van bodoh itu menimpaku!” dia meledak marah.

Aku membeku, bingung.

Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Menyelematkan nyawanya adalah satu-satunya pilihan tepat yang kulakukan sejak bertemu dia. Satu-satunya yang tidak membuatku malu. Satu dan hanya satu-satunya yang membuatku lega telah 'hidup'. Aku terus berjuang agar dia tetap hidup sejak pertama mencium aromanya. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu padaku. Berani-beraninya dia mempertanyakan satu-satunya perbuatan baikku diantara semua kekacauan ini.

“Kau pikir aku menyesal telah menyelamatkanmu?”

“Aku tau kau merasa begitu,” dia menjawab dengan ketus.

Kesinisannya atas maksud baikku membuatku menggelegak marah. “Kau tidak tau apa-apa.”

Betapa ruwetnya cara kerja pikirannya! Dia pasti tidak berpikir dengan cara yang sama seperti manusia manapun. Pasti itu penjelasan dibalik kesunyian-mentalnya. Dia sama sekali berbeda.

Dia membuang muka dan menggertakan gigi lagi. Pipinya merona, kali ini karena marah. Dia menumpuk buku-bukunya dengan kasar, menyambarnya, lalu berjalan ke pintu tanpa menoleh ke arahku.

Bahkan saat kesal seperti ini, mustahil tidak menganggap ekspresi marahnya sedikit menghibur.

Langkahnya kaku, tanpa terlalu memperhatikan jalan, dan kakinya tersangkut ujung pintu. Dia tersandung dan semua bukunya jatuh berantakan. Bukannya memunguti barang-barangnya, dia hanya berdiri mematung, bahkan tidak melihat kebawah, seakan tidak yakin buku-buku itu pantas diambil.

Aku berusaha tidak tertawa.

Tidak ada yang memperhatikan aku; aku segera ke sisinya, mengumpulkan semua buku-bukunya sebelum ia melihat kebawah.

Dia membungkuk, melihatku, dan kemudian membeku. Kuserahkan buku-bukunya, sambil kupastikan kulit dinginku tidak menyentuhnya.

“Terimakasih,” jawabnya dingin.

Nada bicaranya mengembalikan kemarahanku.

“Sama-sama,” kataku sama dinginnya.

Dia bangkit berdiri lalu langsung pergi ke kelas berikutnya tanpa menoleh.

Aku memperhatikan sampai sosoknya hilang.

Pelajaran bahasa Spanyol berjalan kabur. Mrs. Goff tidak menggubris kelinglungan-ku—dia tau bahasa Spanyolku jauh lebih fasih dibanding dia, karena itu ia memberi banyak kelonggaran—membuatku bebas untuk berpikir.

Jadi, aku tidak bisa mengabaikan gadis itu. Hal itu sudah pasti. Tapi apa artinya aku tidak punya pilihan selain menghancurkan dia? Itu tidak mungkin satu-satunya masa depan yang tersisa. Pasti ada pilihan lain, yang lebih manusiawi.

Aku berusaha memikirkan suatu cara...

Aku tidak terlalu memperhatikan Emmet sampai jam pelajaran hampir selesai. Dia penasaran—Emmet tidak terlalu pandai membaca mood orang lain, tapi ia bisa melihat perubahan nyata pada diriku. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi. Dia berupaya keras mendefinisikan perubahannya. Dan akhirnya memutuskan bahwa aku terlihat penuh harapan.

Penuh harapan? Apa seperti itu kelihatannya dari luar?

Aku mempertimbangkan ide akan harapan selama berjalan ke mobil. Kira-kira seharusnya aku berharap apa?

Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangan hal itu. Sesensitif seperti biasanya, suara nama Bella di kepala...sainganku—harus kuakui—menarik perhatianku. Eric dan Tyler, telah mendengar—dengan puas sekali—atas kegagalan Mike. Mereka berdua sedang mempersiapkan langkah mereka sendiri.

Eric telah mengambil posisi duluan. Dia menyandar ke truk Bella agar dia tidak bisa menghindar. Kelas Tyler keluar agak telat, dan ia mesti buru-buru sebelum terlambat mengejar Bella.

Yang ini aku harus lihat.

“Tunggu yang lain disini, oke?” aku menggumam pada Emmet.

Matanya curiga, tapi ia cuma mengangkat bahu dan mengangguk.

Anak ini mulai gila. Dia membatin, geli dengan permintaan anehku.

Aku melihat Bella keluar dari gimnasium. Aku menunggu di tempat yang tidak kelihatan. Saat ia mulai mendekati sergapan Eric, baru aku jalan, mengatur langkahku agar nanti bisa lewat di waktu yang pas.

Aku memperhatikan bagaimana ia terkejut melihat bocah itu disamping truknya. Dia terhenti sebentar, kemudian rileks lagi dan meneruskan langkahnya.

“Hai, Eric,” ia menyapa dengan suara ramah.

Tiba-tiba aku jadi gelisah. Bagaimana jika bocah ceking dengan kulit bermasalah ini, entah bagaimana, menyenangkan hatinya?

Eric menyaut dengan terlalu keras, “Hai, Bella.”

Gadis itu sepertinya tidak menyadari kegugupan Eric.

“Ada apa?” Dengan santai ia membuka pintu truknya tanpa melihat ke wajah cemas bocah itu.

“Mmm, aku cuma bertanya-tanya...maukah kau pergi ke pesta dansa musim semi bersamaku?” suaranya bergetar.

Dia akhirnya menoleh. Apa dia terkejut, bingung, atau senang? Eric tidak sanggup menatapnya, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya di pikiran dia.

“Kupikir perempuanlah yang mengajak,” dia terdengar agak bingung.

“Iya, sih,” dia mengakui malu-malu.

Bocah memelas ini tidak semenjengkelkan Mike Newton, tapi aku baru bisa bersimpati padanya setelah Bella menjawab dia dengan lembut. “Terimakasih untuk ajakannya, tapi aku akan pergi ke Seattle hari itu.”

Dia telah mendengar hal itu, tapi tetap saja ia merasa kecewa.

“Oh ya sudah,” gumamnya. Dia hampir tidak berani mengangkat matanya. “Mungkin lain kali.”

“Tentu,” dia menjawab sopan. Kemudian ia menggigit bibirnya, seakan menyesal telah memberi harapan. Aku suka itu.

Eric melangkah lemas, menuju ke arah berlawanan dari mobilnya. Yang ia pikirkan cuma pergi.

Aku melewati Bella tepat pada saat itu, dan mendengar desah leganya. Aku tertawa.

Dia menoleh mendengar suaraku, tapi aku memandang lurus kedepan, berusaha menahan bibirku agar tidak tersenyum girang.

Tyler terlihat masih jauh, tergesa-gesa mengejar Bella. Dia lebih berani dan lebih yakin dibanding dua pesaingnya. Selama ini ia belum mendekati Bella hanya karena menghormati Mike, yang telah lebih dulu melakukan pendekatan.

Aku ingin dia berhasil mengejar Bella karena dua alasan. Jika—seperti yang sudah kusangka—semua perhatian ini sangat mengganggu Bella, aku ingin menonton reaksinya. Tapi, jika ternyata tidak menggangu—jika memang ajakan Tyler yang ia tunggu—maka aku ingin mengetahui hal itu.

Aku benar-benar menilai Tyler sebagai pesaingku, meskipun tau itu keliru. Bagiku dia biasa-biasa saja, membosankan, dan tidak ada istimewanya sama sekali. Tapi memangnya aku tau selera Bella? Barangkali dia suka dengan cowok yang biasa-biasa saja...

Aku mengernyit pada pikiran itu. Aku tidak mungkin bisa biasa-biasa saja. Bodohnya aku ikut-ikutan bersaing mengejar perhatian Bella. Bagaimana mungkin dia perduli pada monster?

Dia terlalu baik bagi seorang monster.

Aku sebaiknya membiarkan dia pulang, tapi rasa penasaranku yang absurd menahanku melakukan sesuatu yang benar. Lagi. lagipula, bagaimana jika Tyler kehilangan kesempatan, dan justru menghubungi nanti saat aku tidak bisa mendengar hasilnya? Aku cepat-cepat memundurkan Volvoku, mendului dia dan menghalangi truknya.

Emmet dan yang lain dalam perjalanan. Emmet sedang menggambarkan tingkah anehku. Mereka berjalan pelan-pelan, memperhatikan aku, mencari tau apa yang sedang kulakukan.

Aku memperhatikan gadis itu dari kaca spion. Dia mendelik ke belakang mobilku. Kelihatannya ia seperti berharap sedang mengendarai tank dan bukannya truk Chevy karatan.

Tyler buru-buru mengambil mobil dan berhasil mengantri di belakangnya, bersyukur pada tindakanku yang tidak biasa. Dia melambai ke gadis itu, berusaha menarik perhatiannya, tapi gadis itu tidak melihat. Dia menunggu sebentar, kemudian keluar dari mobil, menghampiri sisi penumpang truk gadis itu. Dia mengetuk kacanya.

Gadis itu terlonjak, kemudian menatap Tyler bingung. Setelah beberapa saat, ia menurunkan jendelanya secara manual, kelihatannya sedikit macet.

“Sori, Tyler,” katanya dengan suara kesal. “Mobil Cullen menghalangiku.”

Dia mengucapkan nama keluargaku dengan suara tajam—dia masih marah padaku.

“Iya, aku tau,” ujarnya, tidak terpengaruh oleh moodnya. “Aku hanya ingin menanyakan sesuatu selagi kita terjebak disini.”

Seringainya agak sombong.

Aku senang melihat wajahnya berubah pucat setelah menyadari niat Tyler.

“Maukah kau mengajakku ke pesta dansa musim semi?” dia bertanya penuh keyakinan.

“Aku akan pergi ke luar kota, Tyler,” dia menjawab agak ketus.

“Iya, Mike sudah cerita.”

“Lantas, kenapa—” dia menatap Tyler tajam.

Dia mengangkat bahu. “Aku pikir kau hanya ingin menolaknya secara halus.”

Matanya berkilat kesal, tapi kemudian meredup. “Sori, Tyler.” Dia tidak terdengar menyesal sama sekali. “Aku benar-benar akan pergi ke luar kota.”

Dia menerima alasan itu, dan keyakinannya masih tidak tergoyahkan. “Oke, tidak apa-apa. Masih ada prom.”

Dia kembali ke mobilnya.

Keputusanku tepat untuk tidak melewatkan hal ini.

Ekspresi kesal di wajahnya benar-benar layak untuk dilihat. Itu memberitau apa yang seharusnya tidak kucari tau—bahwa ia tidak tertarik pada bocah-bocah itu.

Juga, ekspresinya adalah hal terlucu yang pernah aku lihat.

Saat keluargaku sampai ke mobil, mereka bingung melihat perubahanku, yang sedang tertawa sendirian dan bukannya bersungut jengkel seperti biasanya.

Apa yang lucu? Emmet ingin tau.

Aku cuma menggeleng sambil tertawa lagi karena melihat Bella menderumkan mesin mobilnya dengan marah. Dia kelihatannya berharap sedang mengendarai tank lagi.

“Ayo pergi!” Rosalie mendesis tidak sabaran. “Berhenti bertingkah seperti orang idiot. Itu kalau kau bisa.”

Ucapannya tidak menggangguku—aku terlalu terhibur. Tapi aku menuruti yang dia minta.

Tidak ada yang bicara padaku selama perjalanan. Sementara aku terus tertawa-tawa kecil sendirian gara-gara teringat wajahnya.

Saat tiba di jalan sepi—menginjak gas dalam-dalam mumpung tidak ada saksi—Alice merusak moodku.

“Jadi boleh sekarang aku bicara pada Bella?” dia langsung bertanya begitu saja, tanpa basa-basi.

“Tidak.” Aku langsung marah.

“Tidak adil! Apa yang kutunggu?”

“Aku belum memutuskan apa-apa, Alice.”

“Terserah.”

Di dalam kepalanya, dua takdir Bella menjadi jelas lagi.

“Apa gunanya berkenalan dengan dia?” Aku mendadak murung. “Jika aku hanya akan membunuhnya?”

Alice sekejap ragu. “Kau ada benarnya,” dia mengakui.

Aku membelok tajam pada kecepatan sembilan puluh mil perjam, dan kemudian mendecit berhenti, tepat beberapa inchi sebelum tembok garasi.

“Selamat menikmati jogingmu,” sindir Rosalie culas saat aku keluar dari mobil.

Tapi hari ini aku tidak lari. Aku berburu.

Yang lain baru akan berburu besok, tapi aku tidak sanggup untuk haus sekarang.

Pada akhirnya aku minum terlalu banyak—beberapa rusa besar dan satu beruang hitam. Aku cukup beruntung bisa menemukan mereka di awal musim seperti ini. Aku kekenyangan hingga tidak nyaman. Tapi kenapa masih belum juga cukup? Kenapa aroma dia harus lebih kuat dari yang lain?

Ini aku berburu untuk persiapan besok. Tapi saat selesai berburu, dan masih berjam-jam lagi sebelum matahari terbit, aku tau besok terlalu lama.

Rasa gugup kembali melandaku saat menyadari aku akan mencari gadis itu sekarang juga.

Aku berdebat dengan diriku sendiri selama perjalanan, tapi sisi culasku yang menang. Aku melanjutkan rencanaku. Monster dalam diriku gelisah namun sudah terikat kencang. Aku akan menjaga jarak. Aku cuma ingin tau dimana dia. Aku hanya ingin melihat wajahnya.

Ini sudah lewat tengah malam. Rumah Bella gelap dan sepi. Truknya diparkir di pinggir jalan, mobil polisi ayahnya di depan rumah. Tidak ada pikiran yang terbangun di sekeliling rumahnya. Aku mengawasi rumahnya dari balik kepekatan hutan yang menghampar di seberang jalan. Pintu depan pasti terkunci—bukan masalah, tapi aku tidak mau meninggalkan bukti dengan merusak pintunya. Jadi aku akan mencoba jendela atas dulu. Jarang ada orang yang repot-repot menguncinya.

Aku berlari menyebrang jalan, lalu meloncat keatas rumahnya tidak sampai setengah detik. Aku bergelantungan pada kusen jendela. Aku mengintip lewat kaca, dan napasku terhenti.

Ini kamarnya. Aku bisa melihat dia di tempat tidurnya yang kecil. Selimutnya di lantai, dan spreinya berantakan disekitar kakinya. Kemudian tiba-tiba ia bergerak gelisah dan melempar satu tangannya keatas kepala. Tidurnya tidak bersuara, paling tidak hari ini. Apa ia merasakan ada bahaya?

Batinku menyuruhku untuk pergi saat dia bergerak gelisah lagi. Apa bedanya aku dengan tukang ngintip? Tidak ada bedanya. Bahkan aku jauh, jauh lebih buruk.

Aku mengendurkan pegangan jariku, sudah akan turun, tapi sebelum itu aku ingin mengamati dulu lagi wajahnya sebentar.

Wajahnya tidak tenang. Sedikit kerutan terlihat diantara alisnya. Ujung bibirnya turun. Bibirnya bergerak-gerak, kemudian terbuka.

“Oke, mom,” dia menggumam pelan.

Bella bicara di tidurnya.

Rasa penasaran langsung membakarku, mengalahkan kejijikan pada apa yang sedang kulakukan. Daya pikat ungkapan pikirannya yang terucap tanpa-sadar mustahil untuk dilawan.

Aku coba membuka jendelanya, ternyata tidak terkunci, hanya saja agak macet karena jarang dibuka. Kudorong pelan-pelan, berjengit tiap kali menimbulkan suara. Aku mesti mencari oli untuk lain kali...

Lain kali? Aku menggelengkan kepala, lagi-lagi merasa jijik dengan diriku.

Aku menyelinap tanpa suara melalui jendela yang terbuka separuh.

Kamarnya kecil—berantakan tapi tidak kotor. Buku-buku berserakan di lantai disamping tempat tidur, keping-keping CD bertebaran di dekat tapenya yang murahan, dan diatas tapenya terdapat kotak tempat asesoris. Tumpukan-tumpukan kertas berhamburan disekitar komputer yang seharusnya sudah dimuseumkan. Sepatu-sepatunya ditaruh begitu saja di lantai kayu.

Aku sangat ingin membaca judul-judul bukunya dan CD-CD musiknya, tapi aku sudah berjanji untuk menjaga jarak. Jadi aku cuma duduk di kursi goyang di pojok kamar.

Apa betul aku pernah berpikir penampilannya biasa-biasa saja? Aku mengingat lagi saat hari pertama, dan kemuakanku pada bocah-bocah yang langsung tertarik padanya. Tapi sekarang, jika kuingat lagi wajahnya di pikiran mereka, aku tidak mengerti kenapa aku tidak lansung menilai dia cantik. Padahal jelas-jelas wajahnya cantik.

Saat ini—dengan rambut gelap berantakan diseputar wajah pucatnya, memakai kaos oblong usang dengan celana panjang katun lusuh, roman rileks pulas, dan bibirnya yang penuh sedikit merekah—dia membuatku terpesona.

Dia tidak bicara. Barangkali mimpinya sudah selesai.

Aku menatap wajahnya sambil berusaha mencari jalan lain selain dua pilihan masa depan yang ada. Apa pilihanku cuma tinggal mencoba pergi lagi?

Yang lain sudah tidak bisa membantah lagi sekarang. Kepergianku tidak akan membahayakan siapa-siapa. Tidak akan ada yang curiga. Tidak akan ada yang mengkait-kaitkan dengan insiden kemarin.

Aku sebimbang tadi siang, dan semua kelihatannya mustahil.

Aku tidak mungkin menyaingi bocah-bocah manusia itu, entah ada yang membuat dia tertarik atau tidak. Aku seorang monster. Bagaimana mungkin ia akan melihatku sebagai sosok yang lain? Jika dia tau siapa diriku sebenarnya, itu akan membuatnya ngeri ketakutan. Sama seperti para korban dalam film horor, ia akan lari gemetar penuh teror.

Aku ingat hari pertamanya di kelas biologi...itu adalah reaksi yang paling tepat dari dia.

Sungguh konyol membayangkan bahwa jika saja aku yang mengajak dia ke pesta dansa, mungkin ia akan membatalkan rencananya ke Seattle dan setuju pergi denganku.

Bukan aku yang dia takdirkan untuk dijawab ya. Melainkan orang lain, seseorang yang hangat dan manusia. Dan bahkan—suatu saat nanti, ketika kata ya terucap—aku tidak boleh memburu pria itu dan membunuhnya. Bella pantas mendapatkannya, siapapun itu. Dia layak mendapatkan kebahagiaan dan rasa sayang dari siapapun pilihannya.

Aku berhutang itu padanya; aku tidak bisa lagi pura-pura hampir mencintai gadis ini.

Bagamanapun, tidak ada pengaruhnya kalau aku pergi, karena Bella tidak akan pernah melihatku dengan cara yang seperti kuharapkan. Dia tidak akan pernah melihatku sebagai sosok yang pantas dicintai.

Tidak akan pernah.

Bisakah jantung beku yang telah mati patah? Rasanya jantungku bisa.

“Edward,” ucap Bella.

Aku membeku, memperhatikan matanya yang tertutup.

Apa dia terbangun, melihatku disini? Dia kelihatanya pulas, namun suaranya sangat jernih...

Dia mendesah pelan, kemudian bergerak gelisah lagi, berguling kesamping—masih pulas dan bermimpi.

“Edward,” dia bergumam lembut.

Dia memimpikan aku.

Bisakah jantung beku yang sudah mati kembali berdetak? Sepertinya punyaku bisa.

“Tinggal lah,” dia mendesah. “Jangan pergi. Tolong... jangan pergi.”

Dia memimpikan aku, dan itu bukan mimpi buruk. Dia menginginkan aku tinggal bersamanya, disana di mimpinya.

Aku berjuang mencari istilah dari perasaan yang membanjiri diriku, tapi aku tidak punya istilah yang cukup kuat untuk mengartikannya. Selama beberapa lama, aku tenggelam, berenang-renang di dalamnya.

Ketika muncul ke permukaan, aku bukan lagi orang yang sama.

Hari-hariku tidak berujung, malam gelap tanpa akhir. Selalu tengah malam bagiku. Jadi bagaimana mungkin matahari bisa terbit sekarang, di tengah tengah-malamku?

Pada hari dimana aku menjadi vampir, menukar jiwa dan kefanaanku dengan keabadian, dalam proses transformasi yang menyiksa, aku benar-benar telah membeku. Badanku menjadi sesuatu yang menyerupai batu daripada daging, kekal dan tidak berubah. Kepribadianku juga ikut membeku—yang aku suka dan tidak suka, mood dan hasaratku; semua membeku.

Hal yang sama juga terjadi pada yang lainnya. Kami semua membeku. Batu hidup.

Ketika kemudian terjadi perubahan pada kita, itu langka dan merupakan sesuatu yang permanen. Aku melihatnya terjadi pada Carlisle, dan sepuluh tahun kemudian pada Rosalie. Perasaan cinta merubah mereka dalam cara yang kekal, cara yang tidak akan pernah pudar. Sudah lebih dari 80 tahun Carlisle menemukan Esme, dan tetap saja dia masih menatap Esme dengan tatapan yang sama seperti saat menemukan cinta pertamanya. Dan akan selamanya begitu bagi mereka.

Akan selalu seperti itu juga bagiku. Aku akan selalu mencintai gadis rapuh ini, untuk selama eksistensiku yang tak terbatas.

Aku memandangi wajahnya yang terlelap, merasakan perasaan cintaku menetap pada tiap sel di tubuh beku-ku.

Dia tidur lebih nyaman sekarang. Sebaris senyum pada bibirnya.

Aku akan selalu mengawasi dia seperti ini.

Aku mencintai dia, jadi aku akan berusaha menjadi kuat untuk bisa meninggalkan dia. Aku tau aku tidak sekuat itu sekarang. Akan kuupayakan. Tapi barangkali akhirnya aku akan cukup kuat untuk mengelakan masa depannya dengan cara lain.

Alice hanya melihat dua takdir bagi Bella. Kini aku memahami keduanya.

Mencintai dia bukan berarti membuatku tidak akan membunuhnya, jika aku sampai membuat kesalahan.

Namun begitu aku tidak bisa merasakan monster itu sekarang, tidak bisa menemukan dimanapun dalam diriku. Barangkali cinta telah membungkam dia selamanya. Jika aku membunuh Bella sekarang, itu bukan disengaja, hanya ketidak sengajaan yang mengerikan.

Aku akan sangat hati-hati. Aku tidak akan pernah mengendurkan kewaspadaannku. Aku akan selalu mengontrol tiap tarikan napasku. Aku akan selalu menjaga jarak.

Aku tidak akan pernah membuat kesalahan.

Aku akhirnya memahami takdir yang kedua. Selama ini aku tidak habis pikir dengan penglihatan itu—apa yang terjadi hingga dia akhirnya menjadi tahanan keabadian seperti diriku ini? Sekarang—dibutakan kerinduan pada gadis ini—aku bisa mengerti, bagaimana aku, dengan keegoisan yang tidak termaafkan, meminta tolong ayahku untuk melakukannya. Meminta padanya untuk mengenyahkan jiwa gadis ini agar aku bisa mendapatkan dia selamanya.

Dia berhak mendapatkan yang lebih baik.

Tapi aku melihat masa depan yang lain, satu benang tipis yang mungkin bisa kulewati, jika dapat menjaga keseimbangan.

Apa aku sanggup? Bersamanya dan membiarkan dia menjadi manusia?

Secara sengaja aku mengambil napas dalam-dalam, membiarkan aromanya membakar diriku. Kamarnya pekat dengan wangi tubuhnya; bau tubuhnya menempel di setiap permukaan. Kepalaku seperti tenggelam, tapi kulawan pusing itu. Jika berniat menjalin hubungan dengan dia, aku harus membiasakan diri dengan ini. Aku mengambil napas lagi, napas yang membakar.

Aku memperhatikan dia tidur hingga matahari terbit dibalik awan timur, menyusun rencana dan terus bernapas dalam-dalam.

Aku baru tiba di rumah setelah yang lain sudah berangkat sekolah. Aku cepat-cepat ganti baju, menghindari tatapan penuh tanya Esme. Dia melihat binar samar di wajahku. Dia merasa cemas sekaligus lega. Kesenduan panjangku membuatnya sedih, dan ia lega karena sepertinya telah berakhir.

Aku berlari ke sekolah, sampai beberapa detik sebelum saudaraku. Mereka tidak menoleh, meskipun Alice pasti telah memberitau aku akan disini, di kerimbunan hutan dekat parkiran. Aku menunggu sampai tidak ada yang melihat, kemudian berjalan santai dari balik pepohonan ke parkiran.

Aku mendengar truk Bella menderu keras di belokan. Aku berhenti di belakang sebuah suburban, di posisi aku bisa mengamati tanpa kelihatan.

Dia masuk ke parkiran, mendelik ke Volvoku selama beberapa saat sebelum mengambil tempat parkir di ujung yang paling jauh. Dahinya mengerut.

Rasaya aneh mengingat dia sepertinya masih marah padaku, dan dengan alasan yang baik pula.

Aku ingin menertawakan diriku sendiri—atau menendang sekalian. Semua gagasanku jadi tidak ada artinya jika ternyata dia tidak tertarik padaku. Mimpinya tadi malam bisa tentang sesuatu yang lain. Aku benar-benar bodoh dan tidak tau diri.

Well, jauh lebih baik buat dia jika dia tidak tertarik padaku. Itu tidak akan menghentikanku mengejar dia, tapi aku akan memberinya peringatan bahaya. Aku berhutang itu padanya.

Aku berjalan tanpa suara, memikirkan cara yang paling baik buat mendekatinya.

Dia membuatnya jadi mudah. Kunci truknya terlepas dari genggaman saat ia keluar, dan terjatuh ke dalam kubangan.

Dia membungkuk, tapi aku duluan, mengambilnya sebelum tangannya harus menyentuh air dingin.

Aku bersandar ke truknya sementara dia terkejut dan berdiri.

“Bagaimana kau melakukan itu?” tanyanya sebal.

Iya, dia masih marah.

Aku menyerahkan kuncinya. “Melakukan apa?”

Dia mengulurkan tangan, dan aku menaruh kuncinya di telapak tangannya. Aku mengambil napas panjang, menghirup aromanya.

“Muncul tiba-tiba.”

“Bella, bukan salahku jika kau tidak pernah memperhatikan sekelilingmu.” aku sedikit bergurau. Apa ada yang dia tidak lihat?

Apa dia mendengar bagaimana aku mengucapkan namanya dengan penuh perasaan?

Dia mendelik padaku, tidak menghargai gurauanku. Jantungnya berdetak lebih cepat—karena marah? Takut?

Setelah beberapa saat ia menunduk.

“Kenapa kemarin kau membuat kemacetan?” dia bertanya tanpa melihat mataku. “Kupikir kau seharusnya berpura-pura aku tidak ada, bukannya membuatku kesal setengah mati.”

Masih sangat marah. Butuh sedikit kerja keras agar bisa berbaikan dengannya. Aku ingat dengan niatku untuk jujur...

“Itu demi Tyler, bukan aku. Aku harus memberi dia kesempatan.” Kemudian aku tertawa. Aku tidak bisa menahannya, memikirkan ekspresi Bella kemarin.

“Kau—” dia terengah, terlalu marah untuk meneruskan kata-katanya. Itu dia—ekspresi yang sama. Aku menahan tawaku. Dia sudah cukup marah.

“Dan aku tidak pura-pura kau tidak ada,” aku melanjutkan perkataanku tadi. Lebih baik menggodanya dengan santai seperti ini. Dia tidak akan mengerti jika kutunjukan perasaanku yang sebenarnya. Aku akan menakuti dia. Aku harus meredam perasaanku, menjaga agar tetap kelihatan cuek...

“Jadi kau memang berusaha membuatku kesal setengah mati? Mengingat van Tyer tidak melakukan tugasnya?”

Luapan marah langsung melandaku seketika itu juga. Apa dia sungguh-sungguh mempercayai itu?

Tidak rasional bagiku untuk merasa terhina—dia tidak tau transformasi yang terjadi tadi malam. Tapi tetap saja aku marah.

“Bella, kau benar-benar sinting,” Tukasku marah.

Mukanya merah. Kemudian ia berbalik dan pergi.

Aku langsung menyesal. Aku tidak berhak marah.

“Tunggu,” aku memohon.

Dia tidak berhenti, jadi aku mengejarnya.

“Maafkan aku, sikapku tadi itu kasar. Aku tidak bilang itu tidak benar,” —tidak masuk akal membayangkan akan menyakiti dia—“tapi tetap saja itu kasar.”

“Kenapa kau tidak meninggalkanku sendirian?”

Percayalah, aku ingin mengatakannya. Aku sudah mencobanya.

Oiya, dan juga, aku benar-benar jatuh cinta padamu.

Santai.

“Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi kau mengahalangiku.” sebuah kejadian terlintas di benakku dan aku tertawa.

“Apa kau berpkepribadian ganda?” Dia bertanya.

Pasti kelihatannya seperti itu. Moodku tidak jelas, begitu banyak emosi melandaku.

“Kau melakukannya lagi,”

Dia mendesah. “Baik lah. Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Aku bertanya-tanya, jika seminggu setelah sabtu depan...” aku mendapati ekspresi shok di wajahnya, dan harus menahan tawa lagi. “Kau tau, hari pesta dansa musim semi—”

Dia memotongku, akhirnya kembali menatapku. “Apa kau mencoba melucu?”

Ya. “Biarkan aku menyelesaikannya.”

Dia menunggu diam. Giginya menggigit bibir bawahnya yang lembut.

Pemandangan itu mengalihkan aku selama sedetik. Aneh, reaksi yang ganjil menggeliat dari inti kemanusiaanku yang terlupakan. Aku mengusirnya agar dapat terus memainkan peranku.

“Kudengar kau akan pergi ke Seattle hari itu, dan aku bertanya-tanya kalau-kalau kau butuh tumpangan?” Aku menawarkan. Aku menyadari, daripada hanya menanyakan rencananya, lebih baik ikut sekalian.

Dia menatapku kosong. “Apa?”

“Apa kau butuh tumpangan ke Seattle?” berdua dalam mobil bersamanya—tenggorokanku terbakar hanya dengan memikirkannya. Aku mengambil napas dalam-dalam. Biasakan.

“Dengan siapa?” matanya melebar dan penuh tanya lagi.

“Denganku tentu saja,” aku menjawab pelan.

“Kenapa?”

Apa sebegitu mengejutkannya bahwa aku ingin menemani dia? Pasti dia mengartikan yang terburuk dari tindakanku yang lalu.

“Well,” aku menjawab sesantai mungkin, “Aku berencana pergi ke Seattle dalam beberapa minggu kedepan, dan jujur saja, aku tidak yakin apa trukmu sanggup kesana.” kelihatannya lebih aman menggodanya daripada menjawab serius.

“Trukku baik-baik saja, terima kasih banyak atas perhatianmu,” dia menyahut dengan keterkejutan yang sama. Dia mulai jalan lagi. Aku menyamakan langkahku.

Dia tidak menjawab tidak, jadi kumanfaatkan celah itu.

Apa dia akan berkata tidak? Apa yang akan kulakukan jika begitu?

“Tapi apa trukmu bisa sampai dengan satu kali isi bensin?”

“Kupikir itu bukan urusanmu,” Dia menggerutu.

Itu masih bukan tidak. Dan jantungnya berdetak lebih cepat lagi, napasnya bahkan lebih cepat.

“Penyia-nyian sumber daya yang tidak dapat diperbaharui adalah urusan semua orang.”

“Jujur saja, Edward, aku tidak mengerti denganmu. Kupikir kau tidak mau berteman denganku.”

Hatiku bergetar ketika ia mengucapkan namaku.

Bagaimana bisa bersikap cuek dan jujur sekaligus? Well, jauh lebih penting untuk jujur. Terutama pada saat ini.

“Aku bilang akan lebih baik jika kita tidak berteman, bukannya aku tidak mau jadi temanmu.”

“Oh, terimakasih, itu menjelaskan segalanya,” dia berkata sinis.

Dia berhenti, dibawah atap kafetaria, dan bertemu pandang denganku lagi. Detak jantungnya tidak beraturan. Apa dia takut?

Aku memilih kalimatku hati-hati. Tidak, aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi mungkin dia cukup cerdas untuk meninggalkan aku, sebelum terlambat.

“Akan lebih...bijaksana jika kau tidak berteman denganku.” melihat kedalam mata coklat-mudanya yang dalam, aku tidak mampu mempertahankan sikap cuek-ku. “Tapi aku lelah berusaha menjauh darimu, Bella.” kalimat itu terucap dengan terlalu banyak perasaan.

Napasnya terhenti, dan sedetik kemudian kembali. Itu membuatku cemas. Seberapa besar aku menakuti dia? Well, aku akan segera tau.

“Maukah kau pergi ke Seattle denganku?” aku bertanya apa adanya.

Dia mengangguk. Jantungnya berdebar-debar sangat keras.

Ya. Dia berkata ya pada ku.

Kemudian kesadaran menghantamku. Seberapa besar dia harus membayar ini?

“Kau benar-benar harus menjauhi aku,” aku memperingatkan dia. Apa dia mendengarku? Apa dia akan berhasil melarikan diri dari ancamanku? Apa aku bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya dariku?

Santai... aku meneriaki diriku sendiri. “Sampai ketemu di kelas.”

Aku harus berkonsentrasi menahan diri agar jangan sampai lari dan terbang.



*lengkapnya: download pdf Midnight Sun
--diambil dari: Alankoesumah--

No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please