--- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice --- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice ---
RSS

Monday, November 26, 2012

Hasrat Pertama dan Terakhir Sang Putra part3


OLEH: LIA AYU KUSUMANINGRUM

Seperti hari-hari sebelumnya, sang anak berada di atas tikar dengan kain sarung menyelimutinya. Ia tersenyum menyambut sang ayah. Namun sang ayah datang seperti biasa. Ditangannya hanya tergantung sebungkus nasi. Seketika, senyuman itu tidak bertahan lama. “Dimana televisinya ayah?”
“Makanlah nasi ini dulu.”
Mendengar perkataan ayahnya ia segera bangkit dan melahap nasinya hingggga habis, tanpa disuapi ayahnya.
“Dimana televisinya ayah?”
Dengan senyuman bangga sang ayah berkata, “minumlah obatmu dulu.”
Sekali lagi, ia menuruti permintaan ayahnya. Diminumnya obat itu segera. Lagi-lagi ia mengucapkan pertanyaan yang sama, “Dimana televisinya ayah?”
“Tidurlah, itu akan siap besok pagi.”
Mendengar ucapan ayahnya kali ini, ia menjadi murka. Bukan melakukan hal yang diminta ayahnya itu, ia justru berlari keluar dan memuntahkan seisi perutnya. Ia tidak mual. Ia hanya memaksa diri untuk membuat ayahnya khawatir.
Ayahnya dengan menangis menyesal ia berkata, “Cukup nak. Baiklah, kau akan melihatnya malam ini juga.”
“Harus malam ini. Aku tidak bisa besok pagi, ayah.” Rengeknya dengan tangisan tersedu-sedu.
“Iya, ayah berjanji.”
Mendengar perkataan ayahnya, kali ini ia luluh. Badannya lemas sekestika. Meski sakit, ia belum pernah menangis. Sang anakpun dibaringkan kembali ke tikarnya. Dan ayah mengambil televisi yang dititipkannya pada rumah tetangga.
“Tidak jadikah kau memberinya kejutan dengan memasangnya saat ia tidur?”
“Kurasa tidak. Ia sudah tidak sabar.”
Usai itu, akhirnya ia mempersiapkan televisi dengan antenanya. Antena pendeknya membuat sinyal yang didapatpun minimal. Namun apa daya, hanya itulah yang sanggup terlaksanakan saat ini.
Ditekan-tekan tombol televisi untuk mengaturnya. Sang anak dengan penuh semangat terus mengamati ayahnya yang kebingungan.
Hari semakin malam. Dan televisipun siap dipertontonkan. Hanya beberapa stasiun televisi yang dapat tampil, itupun agak pudar. Namun sang ayah masih saja mencari-cari acara televisi yang cocok untuk putra kecilnya, kartun mungkin. “Sudah ayah. Seadanya dulu saja.”
“Yang mana?”
“Terserah ayah.” www.arliasworld.blogspot.com
Dipilihnya stasiun televisi yang paling jernih dibanding lainnya. Meski semut masih saja mendominasi layar televisi. Sebuah acara berita.
Sang anak dengan terkagum-kagum menatap gambar yang bergerak dalam kotak. Inilah kali pertama ia menonton televisi bersama ayahnya. Sebelumnya ia hanya mampu mengintip televisi milik tetangga dari luar jendela. Entah apa yang membuat para tetangga itu seakan risi untuk mempersilakannya masuk. Hanya ada satu keluarga yang cukup baik padanya, dan mereka jarang sekali berada di rumah. Membuat rumah mereka sepi tanpa ada sorot layar televisi. Dan listrik untuk satu bohlam itu merupakan bayaran untuk ayahnya yang mengawasi rumah mereka.
“Mereka sedang apa ayah?” Tanya sang anak tanpa memalingkan pandangannya.
“Sedang berdemo.” Jawab sang ayah yang turut menganga pada berita tentang sebuah demonstrasi yang terjadi di Jakarta.
“Demo itu apa?”
“Mereka menuntut supaya pejabat itu dihukum lebih berat.”
Sang ayah memang belum sempat menyekolahkan putranya. Seharusnya di umurnya saat ini dia sudah bisa membaca. Meski begitu, tiap harinya saat ia sehat ayah selalu mengajarinya sedikit-sedikit membaca tulisan di koran. Dan tak segan-segan diajarinya istilah atau pelajaran yang cukup dimengertinya. Karena ia sendiri dulunya hanya lulusan sekolah dasar. Sesungguhnya, ingin dia sekolahkan anaknya melebihi predikat yang dimilikinya. Namun hingga saat ini, ia tak juga memiliki biaya.
Sekolah gratis, namun tentunya memerlukan seragam, buku, juga membayar uang pembangunan sekolah. Memang negerinya penuh misteri.
 “Kenapa?” Kali ini putranya memandang ayahnya.
“Karena dia sudah mencuri uang untuk orang-orang seperti kita.”
“Bukankah pejabat itu kaya, ayah?”
“Iya, tapi dia masih merasa kekurangan uang.”
“Kita miskin, tapi tidak pernah mencuri.Berarti dia lebih miskin dari kita?” Kata sang anak dengan pintarnya.
Membuat ayahnya kagum dan tersenyum. “Mungkin saja.”
“Lalu dia dihukum apa, ayah?”
“Dia dikurung di kamar dan tidak boleh keluar.”
“Sampai kapan?”
“dua tahun.”
“Lalu kalau mereka berdemo pejabat itu akan dihukum apa?”
“Tetap dua tahun. Tuntutan mereka percuma.”
“Lalu kenapa masih berdemo? Tidak lelah. Kalau aku lebih baik ke masjid dan berdo’a supaya pejabatnya sadar dan sabar, ayah.”
Hatinya terhenyak mendengar perkataan putra kecilnya. Mungkin seharusnya ia menyekolahkan putranya itu. Membuatnya berpendidikan dan bermoral tinggi. Bisa saja, dialah calon pemimpin negeri yang dapat mengubah semua misteri di negerinya sendiri. Mungkin putra kecilnyalah yang ditunggu-tunggu rakyat Indonesia.
***
Mungkin malam itu adalah malam terindah di hidup putranya.  Dan mungkin itu berlaku juga bagi sang ayah. Membahagiakan satu-satunya orang yang dimilikinya adalah hal yang paling penting dari apapun. Istrinya sudah lama pergi, dan tak pernah kembali. Bukan pergi karena tidak terima akan keadaan suaminya. Namun ia pergi untuk memberi kebahagiaan pada suaminya sebelum ia pergi.
Melahirkan putranya.
***
Dan malam itu akhirnya dia tertidur juga. Sementara putranya masih asyik menyaksikan televisi. Dan di tengah malam semua itu terjadi. Namun ia beru menyadari saat mentari sudah menyoroti tubuhnya. Televisi menyala semalaman. Dan putranya masih tertidur di sebelahnya. Dipikir, putranya tengah bermimpi tentang televisi barunya. Terbukti dengan bibirnya yang terus saja mengukir senyuman.
Seusai mandi dan membelikannya nasi bungkus, sang ayah mulai geli. Tentu putranya terjaga hingga larut malam. “Nak, bangun dan sarapan dulu.”
Namun putranya tak juga bangun. Lalu dicoba sentuhnya kening sang anak. Dingin.
Dingin? Apakah ia sudah sembuh?
“Nak, bangunlah. Sudah pagi.” Ujar sang ayah dengan suasana hati cukup ceria.
Dibelikannya televisi benar-benar membuat putranya langsung sembuh seketika. Tak henti-hentinya ia bersyukur. Namun anaknya tidak juga mau bangun. Selelah apapun putranya, ia tidak pernah sesulit ini untuk dibangunkan.
“Nak?”
Sebuah rasa takut luar biasa menghantam perasaan sang ayah. Terpikir satu cara mengetahuinya. Didekatkan ujung jarinya ke lubang hidung sang anak. Dia menunggu. Terus menunggu. Namun selama apapun itu, ia sadar bahwa tidak akan ada nafas berhembus di sana.
Dia pergi. Putranya. Satu-satu yang ia milikki di dunia. Kini dia sendiri.


Sunday, November 18, 2012

Hasrat Pertama dan Terakhir Sang Putra Part2

Oleh Lia Ayu Kusumaningrum

Part2 -->

Dengan kekhawatiran akan jawaban sang anak ia mencoba menepis rasa takut. Takut bahwa anaknya sudah menyerah atau takut bahwa anaknya menginginkan hal yang mustahil.
“Apa yang kau inginkan anakku? Jika itu memungkinkan, ayah tentu akan membantumu memenuhinya.”
Sebuah senyum kelegaan terukir tipis di bibir pucat putra kecilnya, “Aku ingin bisa menonton televisi di rumah ini, meski hanya semalam.”
Darah dalam tubuh sang ayah terasa seketika membeku. Dan membuat detak jantungnya begitu melaju cepat. Menyekolahkan sang anak saja ia tak mampu. Bagaimana ia bisa membelikan televisi untuknya. Begitu juga dengan anytetnanya. Listrik untuk satu bohlam saja ia harus menumpang pada tetangganya. Tak mungkin ia lagi-lagi merepotkan mereka.
Sehingga ia hanya terdiam dalam kesepian di hari yang kian malam. Bersama hembusan angin anaknyapun tertidur. Tanpa jawaban pasti, namun dalam tidurnya ia sangat menaruh harap pada sang ayah.
***
Hari ini ia bekerja sangat keras. Diantara jalanan penuh kendaraan yang menunggu waktu. Jika perlu ia berlari. Ke sana kemari, lalu kembali, berulang kali. Dia tak henti mencari. Mungkin diantara orang-orang itu ada yang membutuhkan koran dan tidak menghiraukan siapa penjualnya. Ia harap mereka tidak akan risi untuk membeli koran dari penjual dengan satu kaki.
Dibantu krek kusam miliknya ia ingin segera memenuhi harapan putranya. Siapa tahu, dengan begitu ia segera sembuh tanpa membeli obat yang mahal itu. Dan diharapkannya, televisi bekas itu tak akan semahal obat-obatan. Lagipula ia akan mencari televisi termurah di pasar loak. Meski kecil ataupun kuno, asalkan masih berfungsi.
Tadi pagi, ketika ia mencoba bercerita pada tetangganya, ia disambut rasa lega. Dengan penuh keramahan, mereka bersedia membantunya. Karena sungkan, diapun menjanjikan akan membayar tiap bulannya. Tetangganya yang sangat baik itupun menyetujuinya, alih-alih mereka pula tak masalah jika dia terlambat membayar.
Usai mendapatkan segenggam uang, ia segera mengunjungi sebuah pasar loak yang agak dekat dari tempatnya bekerja. Hari ini ia sudah bekerja keras, namun itu tak mungkin cukup untuk membeli televisi. Sehingga sebelum ia pulang ia hanya menyempatkan diri ke sana, untuk sekedar menanyakan harga televisi tersebut.
Dia berjalan penuh hati-hati. Sebab banyak sekali pengunjung berlalu-lalang. Dan di sana-sini sudah dipenuhi kotoran. Ia tak ingin terjatuh, lalu menjadi bahan tawaan. Dari puluhan orang ini, mungkin hanya ada satu yang mau menolongnya, nanti.
Sudahlah, ia mencoba menghapus pikiran buruk itu. Lagipula, ia tak akan jatuh. Ia berjanji.
Sebuah kios penuh debu dan barang-barang elektronik dihampirinya. Alunan lagu dari Iwan Fals berjudul tak sanggup mengalahkan hiruk pikuk pasar.
“Cari apa pak?” Tanya seorang lelaki seumurannya. Dia terlihat sopan dan cukup ramah disbanding penjual lainnya. Beruntunglah ia.
“Ada televisi yang murah, pak?”
“Semurah apa?”
“Yang paling murah. Tapi masih berfungsi.”
Penjual itu segera mengangkat sebuah televisi yang cukup parah. Ditemukan lecet dan goresan dimana-mana. Bingkainya sudah agak terlepas. Namun ukurannya tidak sekecil yang ia bayangkan. “Yang aku jual di sini semuanya masih berfungsi. Teve ini masih bagus, cuma fisiknya saja yang buruk.”
Masih dilihatnya keadaan televise itu lebih teliti.
“Itu teve yang paling murah.”
Benar saja, harganya cukup murah dibanding harga televisi yang ia ketahui. Namun uang yang ia miliki, tetaplah belum mencukupi untuk membelinya hari ini. Selain itu, ia tetap harus membeli obat warung dan sebungkus nasi untuk putranya. Semoga putranya menghabiskan nasi itu, meski itu berarti ia tak makan hari ini. Namun kesehatan putranya tetap yang terpenting.
Tadi pagi, sebelum ia berangkat bekerja, seperti biasa ia membelikan sebungkus nasi dan tempe. Namun pagi ini berbeda, putranya makan dengan lahap. Mungkin ia benar-benar berharap ayah akan membelikan televisi untuknya hari ini.
“Kau boleh membayar kekuranganmu besok.” Ujar penjual itu mengetahui bahwa ia tengah melamun.
Seakan terasa seperti sebuah madu menetes pada pahitnya hidup. Dan angin menghembus pada gerahnya hidup. Ia dibawa membumbung tinggi melepas penat dan gelisah. “Bapak mempercayai saya?”
“Kau penjual koran di jalan itu kan?” Ditunjuknya arah jalan tempat ia berjualan.
Ia mengangguk, “Aku percaya. Jadi jangan mengecewakan kepercayaanku. Kembalilah besok dengan uang yang cukup untuk melunasinya.”
***
Tuhan memang selalu memberikan jalan. Namun apakah ini jalan tepat yang diberikan Tuhan? Semoga.
Lelaki itu selalu berharap hari-harinya lancar, perjalanannya mulus, hidupnya baik-baik saja. Seakan mengharapkan dunia ini tidak pernah ada hujan.


Wednesday, November 14, 2012

Hasrat Pertama dan Terakhir Sang Putra part1


OLEH : LIA AYU KUSUMANINGRUM 
part1
Terik mentari semakin menipis. Ditinggalkannya awan-awan yang dirundung rindu akan kehadiran sang bulan. Sinar kuning kemarahan mulai meredup. Berganti biru petang mewarnai alam.
Dengan begitu tertatih, dibukanya sebuah pintu dari kayu yang rapuh. Sambutan senyum hangat menyapa kepiluannya. Diciumnya kening sang anak yang masih berbaring itu. Lalu ditempelkan telapak tangannya pada beberapa bagian kulit sang anak. Seperti sebelumnya, suhu panas tubuhnya belum juga reda.
Dengan sayatan tersembunyi, ia mencoba tersenyum. “Ayah bawakan makanan kesukaanmu, nak.”
Anaknya mengumbar senyum bahagia. Lalu segera ia membuka bungkusan itu. Di dalamnya sudah ada ikan asin dan sebola nasi.
Sang ayah menyuapinya dengan perlahan dan penuh kasih sayang. Meski kesedihan dan kegelisahan itu tetap menancap dalam hatinya. Terlihat jelas, ia kebingungan mencari akal. Sudah berhari-hari anaknya demam. Dan ia hanya mampu membeli obat turun panas yang dibelinya di warung dengan susah payah. Namun tak ada guna. Sakit putranya tak kunjung reda. Malah kian hari keluhan kian bertambah.
Ia hanya seorang penjual koran dengan satu kakinya. Penghasilannya tak seberapa. Ia menjual koran-koran dengan berkeliling diantara lampu-lampu lalu lintas. Namun sepertinya kendaraan-kendaraan yang berhenti itu mungkin lebih tertarik membeli koran dari penjual koran dengan kakinya yang sempurna. Dan di jalan itulah dia mendapatkan penghasilannya, meski sedikit. Karena jalanan lain sudah dihuni oleh penjual koran lain yang tentu mengusir keberadaannya.
“Perutku mual, ayah.” Ujar si kecil yang baru melahap seperempat nasi bungkusnya. www.arliasworld.blogspot.com
Sang ayah yang terlihat sedih segera membantu putranya meminum segelas air putih. Usai itu, sang anak hendak kembali berbaring. Namun kemudian ia bangkit lagi, dan berlari ke luar gubuk mereka.
Dimuntahkannya isi perutnya. Dengan dibantu ayahnya yang terus mengusap leher sang anak. Lalu sebuah cairan tipis menetes dari kedua bola mata sang ayah.
Dengan lemas sang anak kembali ke gubuk kecil yang membuatnya teduh dari dinginnya menuju malam. Masih terus memutar pikirannya, sang ayah membantu anaknya berjalan dengan tergopoh-gopoh. Biarlah, muntahan itu menjadi urusan nanti. Justru jikalau bisa, ia ingin sekali meninggalkan gubuk ini semalam dan membawa putra tunggalnya itu ke klinik.
Tetapi mungkin belum waktu bagi dirinya. Karena malam ini ia hanya mampu memberi obat turun panas seperti biasanya. “Minumlah nak. Besok, ayah janji akan membawamu ke puskesmas.”
Janji-janji akan gratisnya pengobatan untuk masyarakat miskin tak lagi mempengaruhinya. lanjut baca...