--- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice --- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice ---
RSS

Wednesday, November 14, 2012

Hasrat Pertama dan Terakhir Sang Putra part1


OLEH : LIA AYU KUSUMANINGRUM 
part1
Terik mentari semakin menipis. Ditinggalkannya awan-awan yang dirundung rindu akan kehadiran sang bulan. Sinar kuning kemarahan mulai meredup. Berganti biru petang mewarnai alam.
Dengan begitu tertatih, dibukanya sebuah pintu dari kayu yang rapuh. Sambutan senyum hangat menyapa kepiluannya. Diciumnya kening sang anak yang masih berbaring itu. Lalu ditempelkan telapak tangannya pada beberapa bagian kulit sang anak. Seperti sebelumnya, suhu panas tubuhnya belum juga reda.
Dengan sayatan tersembunyi, ia mencoba tersenyum. “Ayah bawakan makanan kesukaanmu, nak.”
Anaknya mengumbar senyum bahagia. Lalu segera ia membuka bungkusan itu. Di dalamnya sudah ada ikan asin dan sebola nasi.
Sang ayah menyuapinya dengan perlahan dan penuh kasih sayang. Meski kesedihan dan kegelisahan itu tetap menancap dalam hatinya. Terlihat jelas, ia kebingungan mencari akal. Sudah berhari-hari anaknya demam. Dan ia hanya mampu membeli obat turun panas yang dibelinya di warung dengan susah payah. Namun tak ada guna. Sakit putranya tak kunjung reda. Malah kian hari keluhan kian bertambah.
Ia hanya seorang penjual koran dengan satu kakinya. Penghasilannya tak seberapa. Ia menjual koran-koran dengan berkeliling diantara lampu-lampu lalu lintas. Namun sepertinya kendaraan-kendaraan yang berhenti itu mungkin lebih tertarik membeli koran dari penjual koran dengan kakinya yang sempurna. Dan di jalan itulah dia mendapatkan penghasilannya, meski sedikit. Karena jalanan lain sudah dihuni oleh penjual koran lain yang tentu mengusir keberadaannya.
“Perutku mual, ayah.” Ujar si kecil yang baru melahap seperempat nasi bungkusnya. www.arliasworld.blogspot.com
Sang ayah yang terlihat sedih segera membantu putranya meminum segelas air putih. Usai itu, sang anak hendak kembali berbaring. Namun kemudian ia bangkit lagi, dan berlari ke luar gubuk mereka.
Dimuntahkannya isi perutnya. Dengan dibantu ayahnya yang terus mengusap leher sang anak. Lalu sebuah cairan tipis menetes dari kedua bola mata sang ayah.
Dengan lemas sang anak kembali ke gubuk kecil yang membuatnya teduh dari dinginnya menuju malam. Masih terus memutar pikirannya, sang ayah membantu anaknya berjalan dengan tergopoh-gopoh. Biarlah, muntahan itu menjadi urusan nanti. Justru jikalau bisa, ia ingin sekali meninggalkan gubuk ini semalam dan membawa putra tunggalnya itu ke klinik.
Tetapi mungkin belum waktu bagi dirinya. Karena malam ini ia hanya mampu memberi obat turun panas seperti biasanya. “Minumlah nak. Besok, ayah janji akan membawamu ke puskesmas.”
Janji-janji akan gratisnya pengobatan untuk masyarakat miskin tak lagi mempengaruhinya. lanjut baca...

Berdasarkan pengalamannya, bagaimanapun juga pengobatan yang ia jalani pasti dipungut biaya. Entah macam apa alas an mereka. Dan tentunya, biaya pungutan itu tidaklah sedikit baginya.
Sedangkan jamkesmas yang diumbar-umbarkan pemerintah. Hanyalah alasan kesejahteraan palsu. Pembuataannya rumit, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Jikalau ingin lebih cepat, tentulah memerlukan pungutan.
Lagi-lagi kepalsuan.
Dengan penuh kesedihan dan perih dalam batin dan fisiknya ia menjawab, “Aku tak perlu berobat ayah. Itu tidak akan mampu mengobatiku. Berilah aku kesempatan memenuhi hasratku.”
Dengan kekhawatiran akan jawaban sang anak ia mencoba menepis rasa takut. Takut bahwa anaknya sudah menyerah atau takut bahwa anaknya menginginkan hal yang mustahil.
“Apa yang kau inginkan anakku? Jika itu memungkinkan, ayah tentu akan membantumu memenuhinya.”

No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please