OLEH : LIA AYU KUSUMANINGRUM
part1
part1
Terik mentari
semakin menipis. Ditinggalkannya awan-awan yang dirundung rindu akan kehadiran
sang bulan. Sinar kuning kemarahan mulai meredup. Berganti biru petang mewarnai
alam.
Dengan begitu
tertatih, dibukanya sebuah pintu dari kayu yang rapuh. Sambutan senyum hangat
menyapa kepiluannya. Diciumnya kening sang anak yang masih berbaring itu. Lalu
ditempelkan telapak tangannya pada beberapa bagian kulit sang anak. Seperti
sebelumnya, suhu panas tubuhnya belum juga reda.
Dengan sayatan
tersembunyi, ia mencoba tersenyum. “Ayah bawakan makanan kesukaanmu, nak.”
Anaknya
mengumbar senyum bahagia. Lalu segera ia membuka bungkusan itu. Di dalamnya
sudah ada ikan asin dan sebola nasi.
Sang ayah
menyuapinya dengan perlahan dan penuh kasih sayang. Meski kesedihan dan
kegelisahan itu tetap menancap dalam hatinya. Terlihat jelas, ia kebingungan
mencari akal. Sudah berhari-hari anaknya demam. Dan ia hanya mampu membeli obat
turun panas yang dibelinya di warung dengan susah payah. Namun tak ada guna.
Sakit putranya tak kunjung reda. Malah kian hari keluhan kian bertambah.
Ia hanya seorang
penjual koran dengan satu kakinya. Penghasilannya tak seberapa. Ia menjual
koran-koran dengan berkeliling diantara lampu-lampu lalu lintas. Namun
sepertinya kendaraan-kendaraan yang berhenti itu mungkin lebih tertarik membeli
koran dari penjual koran dengan kakinya yang sempurna. Dan di jalan itulah dia
mendapatkan penghasilannya, meski sedikit. Karena jalanan lain sudah dihuni
oleh penjual koran lain yang tentu mengusir keberadaannya.
“Perutku mual,
ayah.” Ujar si kecil yang baru melahap seperempat nasi bungkusnya. www.arliasworld.blogspot.com
Sang ayah yang
terlihat sedih segera membantu putranya meminum segelas air putih. Usai itu,
sang anak hendak kembali berbaring. Namun kemudian ia bangkit lagi, dan berlari
ke luar gubuk mereka.
Dimuntahkannya isi
perutnya. Dengan dibantu ayahnya yang terus mengusap leher sang anak. Lalu
sebuah cairan tipis menetes dari kedua bola mata sang ayah.
Dengan lemas
sang anak kembali ke gubuk kecil yang membuatnya teduh dari dinginnya menuju
malam. Masih terus memutar pikirannya, sang ayah membantu anaknya berjalan
dengan tergopoh-gopoh. Biarlah, muntahan itu menjadi urusan nanti. Justru
jikalau bisa, ia ingin sekali meninggalkan gubuk ini semalam dan membawa putra
tunggalnya itu ke klinik.
Tetapi mungkin
belum waktu bagi dirinya. Karena malam ini ia hanya mampu memberi obat turun
panas seperti biasanya. “Minumlah nak. Besok, ayah janji akan membawamu ke
puskesmas.”
Janji-janji akan
gratisnya pengobatan untuk masyarakat miskin tak lagi mempengaruhinya.
lanjut baca...
Berdasarkan pengalamannya, bagaimanapun juga pengobatan yang ia jalani pasti dipungut biaya. Entah macam apa alas an mereka. Dan tentunya, biaya pungutan itu tidaklah sedikit baginya.
Berdasarkan pengalamannya, bagaimanapun juga pengobatan yang ia jalani pasti dipungut biaya. Entah macam apa alas an mereka. Dan tentunya, biaya pungutan itu tidaklah sedikit baginya.
Sedangkan
jamkesmas yang diumbar-umbarkan pemerintah. Hanyalah alasan kesejahteraan
palsu. Pembuataannya rumit, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Jikalau ingin
lebih cepat, tentulah memerlukan pungutan.
Lagi-lagi
kepalsuan.
Dengan penuh
kesedihan dan perih dalam batin dan fisiknya ia menjawab, “Aku tak perlu
berobat ayah. Itu tidak akan mampu mengobatiku. Berilah aku kesempatan memenuhi
hasratku.”
Dengan
kekhawatiran akan jawaban sang anak ia mencoba menepis rasa takut. Takut bahwa
anaknya sudah menyerah atau takut bahwa anaknya menginginkan hal yang mustahil.
“Apa yang kau
inginkan anakku? Jika itu memungkinkan, ayah tentu akan membantumu
memenuhinya.”
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please