Part2 -->
Dengan
kekhawatiran akan jawaban sang anak ia mencoba menepis rasa takut. Takut bahwa
anaknya sudah menyerah atau takut bahwa anaknya menginginkan hal yang mustahil.
“Apa yang kau
inginkan anakku? Jika itu memungkinkan, ayah tentu akan membantumu
memenuhinya.”
Sebuah senyum
kelegaan terukir tipis di bibir pucat putra kecilnya, “Aku ingin bisa menonton
televisi di rumah ini, meski hanya semalam.”
Darah dalam tubuh
sang ayah terasa seketika membeku. Dan membuat detak jantungnya begitu melaju
cepat. Menyekolahkan sang anak saja ia tak mampu. Bagaimana ia bisa membelikan
televisi untuknya. Begitu juga dengan anytetnanya. Listrik untuk satu bohlam
saja ia harus menumpang pada tetangganya. Tak mungkin ia lagi-lagi merepotkan
mereka.
Sehingga ia
hanya terdiam dalam kesepian di hari yang kian malam. Bersama hembusan angin
anaknyapun tertidur. Tanpa jawaban pasti, namun dalam tidurnya ia sangat
menaruh harap pada sang ayah.
***
Hari ini ia
bekerja sangat keras. Diantara jalanan penuh kendaraan yang menunggu waktu.
Jika perlu ia berlari. Ke sana kemari, lalu kembali, berulang kali. Dia tak
henti mencari. Mungkin diantara orang-orang itu ada yang membutuhkan koran dan
tidak menghiraukan siapa penjualnya. Ia harap mereka tidak akan risi untuk
membeli koran dari penjual dengan satu kaki.
Dibantu krek
kusam miliknya ia ingin segera memenuhi harapan putranya. Siapa tahu, dengan
begitu ia segera sembuh tanpa membeli obat yang mahal itu. Dan diharapkannya,
televisi bekas itu tak akan semahal obat-obatan. Lagipula ia akan mencari
televisi termurah di pasar loak. Meski kecil ataupun kuno, asalkan masih
berfungsi.
Tadi pagi,
ketika ia mencoba bercerita pada tetangganya, ia disambut rasa lega. Dengan
penuh keramahan, mereka bersedia membantunya. Karena sungkan, diapun
menjanjikan akan membayar tiap bulannya. Tetangganya yang sangat baik itupun
menyetujuinya, alih-alih mereka pula tak masalah jika dia terlambat membayar.
Usai mendapatkan
segenggam uang, ia segera mengunjungi sebuah pasar loak yang agak dekat dari
tempatnya bekerja. Hari ini ia sudah bekerja keras, namun itu tak mungkin cukup
untuk membeli televisi. Sehingga sebelum ia pulang ia hanya menyempatkan diri
ke sana, untuk sekedar menanyakan harga televisi tersebut.
Dia berjalan
penuh hati-hati. Sebab banyak sekali pengunjung berlalu-lalang. Dan di
sana-sini sudah dipenuhi kotoran. Ia tak ingin terjatuh, lalu menjadi bahan
tawaan. Dari puluhan orang ini, mungkin hanya ada satu yang mau menolongnya,
nanti.
Sudahlah, ia
mencoba menghapus pikiran buruk itu. Lagipula, ia tak akan jatuh. Ia berjanji.
Sebuah kios
penuh debu dan barang-barang elektronik dihampirinya. Alunan lagu dari Iwan
Fals berjudul tak sanggup mengalahkan hiruk pikuk pasar.
“Cari apa pak?”
Tanya seorang lelaki seumurannya. Dia terlihat sopan dan cukup ramah disbanding
penjual lainnya. Beruntunglah ia.
“Ada televisi
yang murah, pak?”
“Semurah apa?”
“Yang paling
murah. Tapi masih berfungsi.”
Penjual itu
segera mengangkat sebuah televisi yang cukup parah. Ditemukan lecet dan goresan
dimana-mana. Bingkainya sudah agak terlepas. Namun ukurannya tidak sekecil yang
ia bayangkan. “Yang aku jual di sini semuanya masih berfungsi. Teve ini masih
bagus, cuma fisiknya saja yang buruk.”
Masih dilihatnya
keadaan televise itu lebih teliti.
“Itu teve yang
paling murah.”
Benar saja,
harganya cukup murah dibanding harga televisi yang ia ketahui. Namun uang yang
ia miliki, tetaplah belum mencukupi untuk membelinya hari ini. Selain itu, ia
tetap harus membeli obat warung dan sebungkus nasi untuk putranya. Semoga
putranya menghabiskan nasi itu, meski itu berarti ia tak makan hari ini. Namun
kesehatan putranya tetap yang terpenting.
Tadi pagi,
sebelum ia berangkat bekerja, seperti biasa ia membelikan sebungkus nasi dan
tempe. Namun pagi ini berbeda, putranya makan dengan lahap. Mungkin ia
benar-benar berharap ayah akan membelikan televisi untuknya hari ini.
“Kau boleh
membayar kekuranganmu besok.” Ujar penjual itu mengetahui bahwa ia tengah
melamun.
Seakan terasa
seperti sebuah madu menetes pada pahitnya hidup. Dan angin menghembus pada
gerahnya hidup. Ia dibawa membumbung tinggi melepas penat dan gelisah. “Bapak
mempercayai saya?”
“Kau penjual
koran di jalan itu kan?” Ditunjuknya arah jalan tempat ia berjualan.
Ia mengangguk,
“Aku percaya. Jadi jangan mengecewakan kepercayaanku. Kembalilah besok dengan
uang yang cukup untuk melunasinya.”
***
Tuhan memang
selalu memberikan jalan. Namun apakah ini jalan tepat yang diberikan Tuhan?
Semoga.
Lelaki itu
selalu berharap hari-harinya lancar, perjalanannya mulus, hidupnya baik-baik
saja. Seakan mengharapkan dunia ini tidak pernah ada hujan.
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please