--- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice --- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice ---
RSS

Sunday, November 18, 2012

Hasrat Pertama dan Terakhir Sang Putra Part2

Oleh Lia Ayu Kusumaningrum

Part2 -->

Dengan kekhawatiran akan jawaban sang anak ia mencoba menepis rasa takut. Takut bahwa anaknya sudah menyerah atau takut bahwa anaknya menginginkan hal yang mustahil.
“Apa yang kau inginkan anakku? Jika itu memungkinkan, ayah tentu akan membantumu memenuhinya.”
Sebuah senyum kelegaan terukir tipis di bibir pucat putra kecilnya, “Aku ingin bisa menonton televisi di rumah ini, meski hanya semalam.”
Darah dalam tubuh sang ayah terasa seketika membeku. Dan membuat detak jantungnya begitu melaju cepat. Menyekolahkan sang anak saja ia tak mampu. Bagaimana ia bisa membelikan televisi untuknya. Begitu juga dengan anytetnanya. Listrik untuk satu bohlam saja ia harus menumpang pada tetangganya. Tak mungkin ia lagi-lagi merepotkan mereka.
Sehingga ia hanya terdiam dalam kesepian di hari yang kian malam. Bersama hembusan angin anaknyapun tertidur. Tanpa jawaban pasti, namun dalam tidurnya ia sangat menaruh harap pada sang ayah.
***
Hari ini ia bekerja sangat keras. Diantara jalanan penuh kendaraan yang menunggu waktu. Jika perlu ia berlari. Ke sana kemari, lalu kembali, berulang kali. Dia tak henti mencari. Mungkin diantara orang-orang itu ada yang membutuhkan koran dan tidak menghiraukan siapa penjualnya. Ia harap mereka tidak akan risi untuk membeli koran dari penjual dengan satu kaki.
Dibantu krek kusam miliknya ia ingin segera memenuhi harapan putranya. Siapa tahu, dengan begitu ia segera sembuh tanpa membeli obat yang mahal itu. Dan diharapkannya, televisi bekas itu tak akan semahal obat-obatan. Lagipula ia akan mencari televisi termurah di pasar loak. Meski kecil ataupun kuno, asalkan masih berfungsi.
Tadi pagi, ketika ia mencoba bercerita pada tetangganya, ia disambut rasa lega. Dengan penuh keramahan, mereka bersedia membantunya. Karena sungkan, diapun menjanjikan akan membayar tiap bulannya. Tetangganya yang sangat baik itupun menyetujuinya, alih-alih mereka pula tak masalah jika dia terlambat membayar.
Usai mendapatkan segenggam uang, ia segera mengunjungi sebuah pasar loak yang agak dekat dari tempatnya bekerja. Hari ini ia sudah bekerja keras, namun itu tak mungkin cukup untuk membeli televisi. Sehingga sebelum ia pulang ia hanya menyempatkan diri ke sana, untuk sekedar menanyakan harga televisi tersebut.
Dia berjalan penuh hati-hati. Sebab banyak sekali pengunjung berlalu-lalang. Dan di sana-sini sudah dipenuhi kotoran. Ia tak ingin terjatuh, lalu menjadi bahan tawaan. Dari puluhan orang ini, mungkin hanya ada satu yang mau menolongnya, nanti.
Sudahlah, ia mencoba menghapus pikiran buruk itu. Lagipula, ia tak akan jatuh. Ia berjanji.
Sebuah kios penuh debu dan barang-barang elektronik dihampirinya. Alunan lagu dari Iwan Fals berjudul tak sanggup mengalahkan hiruk pikuk pasar.
“Cari apa pak?” Tanya seorang lelaki seumurannya. Dia terlihat sopan dan cukup ramah disbanding penjual lainnya. Beruntunglah ia.
“Ada televisi yang murah, pak?”
“Semurah apa?”
“Yang paling murah. Tapi masih berfungsi.”
Penjual itu segera mengangkat sebuah televisi yang cukup parah. Ditemukan lecet dan goresan dimana-mana. Bingkainya sudah agak terlepas. Namun ukurannya tidak sekecil yang ia bayangkan. “Yang aku jual di sini semuanya masih berfungsi. Teve ini masih bagus, cuma fisiknya saja yang buruk.”
Masih dilihatnya keadaan televise itu lebih teliti.
“Itu teve yang paling murah.”
Benar saja, harganya cukup murah dibanding harga televisi yang ia ketahui. Namun uang yang ia miliki, tetaplah belum mencukupi untuk membelinya hari ini. Selain itu, ia tetap harus membeli obat warung dan sebungkus nasi untuk putranya. Semoga putranya menghabiskan nasi itu, meski itu berarti ia tak makan hari ini. Namun kesehatan putranya tetap yang terpenting.
Tadi pagi, sebelum ia berangkat bekerja, seperti biasa ia membelikan sebungkus nasi dan tempe. Namun pagi ini berbeda, putranya makan dengan lahap. Mungkin ia benar-benar berharap ayah akan membelikan televisi untuknya hari ini.
“Kau boleh membayar kekuranganmu besok.” Ujar penjual itu mengetahui bahwa ia tengah melamun.
Seakan terasa seperti sebuah madu menetes pada pahitnya hidup. Dan angin menghembus pada gerahnya hidup. Ia dibawa membumbung tinggi melepas penat dan gelisah. “Bapak mempercayai saya?”
“Kau penjual koran di jalan itu kan?” Ditunjuknya arah jalan tempat ia berjualan.
Ia mengangguk, “Aku percaya. Jadi jangan mengecewakan kepercayaanku. Kembalilah besok dengan uang yang cukup untuk melunasinya.”
***
Tuhan memang selalu memberikan jalan. Namun apakah ini jalan tepat yang diberikan Tuhan? Semoga.
Lelaki itu selalu berharap hari-harinya lancar, perjalanannya mulus, hidupnya baik-baik saja. Seakan mengharapkan dunia ini tidak pernah ada hujan.


No comments:

Post a Comment

Leave a comment, please