This is The Young Red Riding Hood.
Awalnya, mau aku pake kata Little tapi uda biasa dan banyak di internet, dan pasti nyambungnya ke cerita dongeng.
Jadi, aku pilih kata 'Young', yang juga digunakan di film itu dalam menyebut nama Megan sebagai Young Valerie.
Yeah, ini harusnya mau dicantumin di filmnya –RED RIDING HOOD-. Tapi gak jadi, karena dananya uda ngepas dan buru-buru! Jadi yahh, ceritanya dikasihin aku buat aku posting di blog! Hehe xD –khayalan tingkat tinggi-
Awalnya, mau aku pake kata Little tapi uda biasa dan banyak di internet, dan pasti nyambungnya ke cerita dongeng.
Jadi, aku pilih kata 'Young', yang juga digunakan di film itu dalam menyebut nama Megan sebagai Young Valerie.
Yeah, ini harusnya mau dicantumin di filmnya –RED RIDING HOOD-. Tapi gak jadi, karena dananya uda ngepas dan buru-buru! Jadi yahh, ceritanya dikasihin aku buat aku posting di blog! Hehe xD –khayalan tingkat tinggi-
Pokoknya, ini cerita saat Valerie masih keciiil banget. Sebelum dia tahu kalo Ayahnya itu serigala. Valerie kecil diperankan oleh Megan Charpentier.
So, check this out! :* Boleh disebarin atau dishare! Tapi, cantumin alamat blog ini juga loh!!
Sudah belasan menit kami berputar-putar mencari daging. Meski aku tak begitu menginginkan masakan daging bakar nenek, namun nenek tetap memaksa ingin memasakanku itu.
“Nenek benar-benar ingin membuatkannya untukmu, sayang.” Ujar nenek sekali lagi. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Meski lelah, namun aku tidak mau kalah dengan nenek yang tetap bersemangat.
“Benarkah tidak ada satupun tempat yang masih menjual daging?”
“Sepertinya nyonya, karena hari ini banyak sekali pembeli daging.”
Oh, nenek tetap tidak putus asa meski sudah mendengar kata-kata pedagang lain.
“Bagaimana kalau kita beli sayuran saja, nenek?” Kataku ketika memandang sayuran segar yang kami lewati.
“Kau tak begitu suka sayuran, nenek tahu itu, Valerie.” Jawab nenek.
Ya, nenek benar. Aku hanya meminta itu karena aku sudah putus asa dan kakiku mulai sakit.
“Bagaimana mungkin aku tidak sadar sedari tadi. Gadis kecilku kelelahan, maafkan nenek sayang.” Nenek menunduk menatap kaki kecilku.
Kemudian kami duduk sebentar di sana. Tempat duduk kosong milik penjual kayu bakar. Mataku rasanya begitu berat. Secara perlahan iapun menutup dan tak dapat kucegah.
“Baiklah kita beli ikan saja. Kau setuju?” Ujar nenek mengagetkanku yang membangunkan tidurku.
Aku mengangguk mencoba senang.
Kami kembali menuju tempat pedagang ikan yang tadi sempat kami lewati. Tiba-tiba nenek berhenti, memandang papan besar. Aku mencoba membacanya meskipun memang sulit. Aku hanya anak kecil berumur enam tahun, membacaku belum terlalu lancar.
“Men…ju…al...”
“Berbagai macam daging.” Sambung nenek yang membantuku.
Aku belum pernah melihat papan ini, juga tempat di mana papan ini digantungkan.Sepertinya baru saja buka. Ini pedagang daging baru. Diapit oleh pedagang kain dan pedagang ikan. Tanpa ragu-ragu nenek menggandengku untuk memasuki tempat penjual daging yang begitu tertutup.
Tidak ada orang di sana, hanya ada daging-daging segar bergelantungan. Terlihat menjijikan karena kerudung merahku terkena daging yang membuat noda darah di sana.
“Tak apa sayang. Nodanya tak kelihatan karena sama-sama berwarna merah.”
Itu kerudung merah buatan nenek untukku saat ulang tahunku. Kerudung kecil yang diberikan nenek ketika aku menginginkan sebuah mantel untuk hari ulang tahunku.
“Karena ini hari ulang tahunmu nenek hanya memberikan kerudung. Namun suatu hari nanti di hari spesialmu nenek akan memberikan mantel cantik untukmu.” Kata nenek hari itu.
Aku agak kecewa, dan bertanya-tanya apa yang dimaksud nenek dengan hari istimewaku, dan kapan hari itu akan tiba?
Namun, Ibu hanya menjawab agar aku menerima yang sudah aku miliki dan jangan terlalu memikirkan hal yang belum kumiliki. Aku hanya anak kecil, bagaimana aku bisa mengerti itu.
Dan, tiba-tiba terdengar suara bantngan pintu. Menghapus lamunanku. Aku memandang ke arah pintu kedatangan kami. Tertutup rapat. Hatiku mulai resah. Nenek menenagkanku agar tidak berpikir macam-macam. Ya, semoga tadi itu hanya karena angin.
“Permisi.” Teriak nenek.
“Nenek kita pulang saja.” Pintaku
“Jangan buru-buru anak manis…” Ujar sepintas suara.
Kami langsung menatap arah sumber suara. Apa itu? Aku langsung bersembunyi di belakang nenek. Dia semakin mendekat, kami mulai melangkahkan kaki mundur. Gelapnya ruangan di arah suara itu tak dapat memperlihatkan rupanya.
Ketika dia sudah terkena cahaya, yang artinya dia berada cukup dekat dari kami, terlihatlah rupanya.
Serigala itu ada di dekat kami saat ini. Nenek masih mendekapku dan terus melangkah mundur.
“Aku tidak akan menyakitimu jika kau menuruti perintahku. Kemarilah, nak.”
Nak? Apa maksudnya? Aku? Tidak! Serigala tidak mungkin bisa bicara dengan manusia. Aku hanya berhalusinasi.
“Apa maumu?” Teriak nenek melindungiku.
“Valerielah yang kuinginkan.” Balas serigala itu. Tidak mungkin! Serigala itu bahkan tidak bisa bicara, itu hanya imajinasi jawaban.
“Aku tidak akan menyerahkan cucuku!”
Salah! Nenek juga mendengar yang aku dengar. Artinya serigala itu memang benar-benar bicara. Nenek menoleh-nolehkan kepalanya, seperti mencari senjata. Ya, sangat kelihatan hingga serigala itupun juga mengetahui isi pikiran nenek.
“Tidak ada benda yang dapat kau jadikan senjata, ya?”
Aku menangis ketakutan. Aku dan nenek terjebak di sini, karena daging.
Nenek menghembuskan nafas. “Bagaimana jika kuserahkan diriku saja, dan kau bebaskan Valerie.” Aku menatap mata nenek.
“Aku tidak mebutuhkanmu.”
“Kalau begitu aku akan tetap bersama Valerie.”
“Baiklah.”
Serigala itu mendekat dan memojokkan kami di antara dinding.
“Duduk di situ!” Teriak serigala.
Kami melakukannya. Dan serigala itu meninggalkan kami, dia memasuki sebuah ruangan di tempat itu.
“Dia meninggalkan kita.” Ujarku girang.
“Karena kalian tidak akan bisa kabur.” Kudengar serigala itu berkata lagi.
Dia mendengarnya. Betapa tajamnya telinga serigala itu. Nenek tidak mengeluarkan kata-kata sedikitpun.
“Nenek, aku takut.”
“Tenanglah sayang. Semua pasti baik-baik saja.”
Nenek menghapus air mataku. Nenek terdiam lama sambil mengamati tempat kami berada.
“Pintunya terbuka, ayo kita kabur.” Bisik nenek.
Aku menatap ke arah pintu. Telapak tangan nenek mendekap mulutku, mungkin agar aku tidak berteriak kegirangan. Pelan-pelan nenek membuka tangannya.
“Pintunya masih tertutup nenek.” Bisikku balik.
“Benar, yang pasti serigala itu tidak mendengar percakapan kita sekarang.”
Aku mengerti maksud nenek, nenek hanya mengetes pendengaran serigala.
“Nenek punya rencana sayang, kau harus kabur dari sini dan meminta bantuan.”
“Jadi nenek masih di sini?”
“Ya, dan kau harus menyelamatkan nenek.”
“Bagaimana kalau aku gagal?”
“Kau pasti bisa. Begini caranya, kau izinlah ke toilet dan cari fentilasi. Nenek akan mengecoh serigala itu, jika dia mengawasimu.”
Aku mengangguk. Badanku kecil jadi aku pasti muat memasuki fentilasi, namun bagaimana caraku memanjat.
“Aku tidak bisa memanjat nenek.”
“Berusahalah sayang, ini taruhan nyawa kita.”
***
“Aku butuh ke toilet, nenek.” Ujarku setengah berteriak.
Serigala itu langsung datang.
“Kau harus menahannya hingga nanti malam.”
“Aku tidak bisa.” Aku menyeringai.
“Baiklah ayo ikut aku!” Serigala itu akhirnya mengalah pada anak kecil sepertiku.
“Matanya.” Aku mendengar nenek bersuara.
Serigala itu berbalik dari tatapan nenek. Aku ingin ikut mencoba memperhatikan mata serigala itu, tapi aku terlalu takut untuk melakukannya. Serigala itu menungguku di luar, dan aku mendengar ia melangkah pergi.
Apa? Dia meninggalkanku? Sepertinya dia tahu bahwa aku tidak mungkin dapat kabur. Benar, fentilasi itu benar-benar tinggi dan tak ada benda yang dapat kupanjat.
Aku mendengar teriakkan nenek dan serigala yang menyerang. Aku ketakutan, aku segera keluar dari sana dan mencari nenek. Kulihat kunci terbuang di ruangan kami tadi tertahan. Sepertinya tadi belum ada, dan kini nenek yang tidak ada.
Aku mendengar suara keributan dan serangan itu makin keras di ruangan serigala. Sepertinya nenek berada di sana untuk mengambil kunci ini.
Aku segera membuka pintu itu hingga terbuka, aku berusaha menunggu nenek atau menjemput nenek. Aku mendengar nenek berteriak, “Lari, Valerie!”
Kemudian kulihat serigala itu muncul dari sana dan hendak menyerangku. Aku segera berlari menuju pintu dan keluar dari tempat itu.
Aku terus berlari, mataku seakan tak dapat terbuka. Aku terlantung hendak jatuh kalah dengan angin yang kulawan.
Aku terjatuh. Aku memandang sekitarku, banyak sekali pepohonan. Sepertinya, aku berada di hutan. Aku menoleh ke belakang. Kosong. Hanya ada daratan rumput dan daun kering yang dikelilingi pohon. Tidak ada tempat yang tadi kutinggalkan, tidak ada pintu.
Aku datang dari pasar di desa hingga memasuki sarang serigala, dan meninggalkan itu namun tiba di hutan. Aneh!
Ketakutan mengalahkanku untuk berfikir. Buru-buru aku segera berdiri dan melanjutkan berlari. Aku menuju rumah nenek yang terletak di tengah hutan.
Mungkin tadi aku hanya tertidur di hutan dan bermimpi seaneh itu. Aku mencari-cari nenek di setiap penjuru ruangan.
“Nenek? Kau di rumah?” Teriakku.
Tak ada jawaban.
Angin berhembus, tirai-tirai di jendela rumah nenek berkibaran. Nafasku terengah-engah. Karena takut serigala itu mengikutiku, maka aku segera berlari untuk pulang ke desa.
-TO BE CONTINUED-
by: LIA AYU KUSUMANINGRUM
Seru nih ceritanya!!
ReplyDelete