--- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice --- contact me: liaayuka@gmail.com --- follow me: @violettice ---
RSS

Friday, November 25, 2011

The Young Red Riding Hood (Little Valerie) part 2


Haii.. Udah baca THE YOUNG RED RIDING HOOD part.1 oleh LIA AYU KUSUMANINGRUM??


Mau tahu lanjutan ceritanya The Young Red Riding Hood?
Langsung dibaca aja dehh.. Silakan!! J *But, Saya butuh komentar untuk membuat cerita makin seru* Siapa yang mau bantu kasih komentar??

Akhirnya aku tiba di rumahku. Semuanya baik-baik saja. Aku segera berlari mencari ayah dan ibu.
                “Kau kenapa Valerie?” Tanya Lucie.
                “Mana ayah dan ibu?”
                “Mereka di luar.”
                Aku segera berjalan setengah berlari keluar rumah. Lucie mengikutiku. Kulihat ayah dan ibu sedang berbincang di samping rumah. Kenapa tadi aku tidak melihat mereka? Karena aku datang dari arah yang berlawanan.
                Aku segera memeluk mereka.
                “Ada apa sayang?” Tanya ibu.
                “Nenek… Dia tertangkap serigala itu.”
                Semuanya menatapku. Semuanya. Penduduk desa yang mendengarnya.
                “Bagaimana bisa?” Tanya ayah.
                Penduduk desa mendekat. Sunyi.
                “Serigala itu punya rumah di desa ini. Dia tinggal di sini.”
                Semuanya terkaget. Beberapa lari. Ibu menganga mendengarnya.
                “Ceritakan pada kami yang terjadi.” Kata salah seorang penduduk.
                “Dimana dia tinggal.”
                “Ayo serang serigala itu!”
                “Hei, itu hanya tipuan anak kecil!”
                Penduduk mulai mengeluarkan suara mereka. Ada yang percaya, takut, dan merasa ditipu.
                “Ayah, kita harus menyelamatkan nenek.” Aku masih menangis.
                “Tentu saja sayang.” Jawab ayah yang kemudian memelukku.
                Para penduduk yang percaya segera membawa senjata dan obor api. Aku berada di depan bersama ayah menuju pasar di desa.
                “Benarkah serigala itu tinggal di pasar ini dan mejual daging?”
                “Mungkin saja, dia membunuh dan menjual daging manusia dengan menyamar sebagai manusia.”
                Aku masih saja mendengar pendapat orang-orang.
                Dan… Kami tiba. Aku kaget melihatnya. Papan dan tempat itu tidak ada. Tidak ada jeda atau tanah kosong diantara pedagang kain dan pedagang ikan.
                “Dimana tempat serigala itu nak?” Tanya ayah dengan lembut ketika melihatku hanya terpaku.
                “Tadi, berada di antara tempat ini. Ada pedagang daging di sini.” Jawabku lirih.
                “Tentu saja itu hanya gurauan anak kecil.” Teriak salah seorang yang kemudian menjatuhkan senjatanya dan pergi.
                “Kita tertipu.” Sambung yang lain.
                “Jangan-jangan serigala itu adalah salah satu dari pedagang ikan dan kain.” Teriak seorang penduduk yang kini menjadi pusat pandangan.
                “Benar juga. Ayo bawa mereka!” Teriak yang lainnya.
                “Aku tidak tahu apa-apa.” Bantah pedagang kain.
                “Anak itu hanya membohongi kalian.” Teriak pedagang ikan.
                “Bukan mereka.” Belaku lirih.
                Tapi, bagaimana kalau memang salah satu diantara mereka.
                “Kita periksa saja rumah mereka.” Kata ayah yang memecahkan masalah.
                Dan, ketika aku hendak ikut masuk juga…
                “Kau pulang saja, Valerie.” Pinta ayah.
                Aku menurutinya.
***
                Berjam-jam aku menangis dan merintih memanggil nama nenek. Ibupun tak dapat menenangkanku. Kemudian ibu kembali menemuiku dan membawakanku roti.
                “Kau ingat apa yang sering nenek katakan padamu?”
“Semua kesedihan akan berkurang dengan roti.”
Kemudian aku berusaha mengunyah dan menelan roti itu. Air mata masih membanjiri pipiku.
“Mungkin kau hanya bermimpi, Valerie.” Kata Lucie.
“Tapi nenek benar-benar tidak ada di rumahnya.”
“Mungkin nenek hanya pergi.” Bantah Lucie lagi.
Aku hanya terdiam.
Kudengar kedatangan ayah yang terlihat murung.
“Bagaimana?” Tanya ibu.
“Mereka mati.”
“Siapa?”
“Kedua pedagang itu.” Jawab ayah.
Meski mereka berbincang dengan lirih, namun aku masih dapat mendengarnya.
“Bagaimana jika mereka sebenarnya tidak salah?” Tanya Lucie.
“Penduduk terlalu emosi, karena ditemukan benda-benda aneh di rumah mereka. Juga darah manusia.”
“Benarkah?” Tanyaku. Aku langsung turun dari tempatku.
“Apa itu artinya nenek sudah…”
“Valerie.” Ibu mencoba menenangkanku dengan memelukku.
“Tapi pasti salah satu di antara mereka tidak bersalah.” Ujar Lucie.
“Ya, kau benar Lucie.” Jawab ayah.
***
                Pagi-pagi sekali, aku langsung berkemas juga mengisi makanan pada keranjnagku. Aku tak sabar mengunjungi nenek. Semalaman aku mencoba tertidur dan berharap hari kemarin hanya mimpi.
                “Kau mau kemana, Valerie?” Tanya Lucie.
                “Mengantar makanan untuk nenek.”
                Kemudian dia berhenti berkata-kata. Aku hanya mencoba tegar dan tidak menangis.
                Aku membuka pintu rumahku. Kulihat seorang wanita berlari mendatangiku dengan membawa pisau.
                “Jangan lari kau, pembunuh!” Teriaknya.
                Aku terpaku kembali. Dan ibu dan ayah yang mendengarnya langsung keluar rumah. Dia memandangku yang sudah rapi hendak pergi. Kemudian memandang wanita itu.
                “Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Ibu.
                “Aku akan membunuhnya seperti dia membunuh suamiku!” Bentak wanita itu.
                Orang-orang mulai keluar dari rumahnya. Wanita itu adalah istri pedagang ikan. Sedangkan pedagang kain sudah tidak memiliki istri.
                “Dia hanya anak kecil. Dia juga korban.” Bantah ibu yang mulai mendekapku.
                “Tidak! Dia pembunuh!” Teriak wanita itu setengah menjerit seakan kerasukan roh jahat.
                Orang-orang mulai menahan wanita itu, dan mencoba menenangkannya. Namun wanita itu terus berontak. Pisau digenggamnya erat, tak mau dia lepaskan.
                “Penduduk desalah yang membunuh suamimu. Dan itu demi keamanan kita semua.” Bela ayah.
                “Dia hanya frustasi.” Ujar seorang penduduk.
                “Ayo kita pulang. Tenangkan dirimu.” Tambah seorang wanita setengah baya, yang sepertinya akrab dengan wanita itu.
                Wanita itu masih menangis namun sudah tidak mengerikan lagi. Dia menjatuhkan pisau itu di tanah dengan lemah.
                Mereka segera menuntun wanita itu, selagi dia mulai reda. Dan membawanya pergi. Menjauh dari gadis kecil sepertiku. Mereka pulang.
                “Kau mau kemana?” Tanya ibu yang sadar oleh keberadaan sebuah keranjang di tanganku.
                “Mengantar makanan untuk nenek.” Jawabku dan langsung berbalik pergi.
                Kulihat ibu resah, namun ayah justru memasang wajah aneh. Ada senyum tipis di bibirnya. Mungkin karena wanita tadi sudah pergi. Aku kembali menolehkan kepala, mata ayah—
                Oh, apa yang kupikirkan? Yang benar saja.(.......)
***


                Akhirnya aku tiba di rumah nenek. Kubuka pintu dan meletakkan keranjang makanan.
                “Nenek, aku datang mengunjungimu.”
                Tak ada jawaban. Aku mendengar suara dari kamar mandi.
                “Apa nenek di sana?” Tak ada jawaban lagi. Aku membuka pintu itu, tak ada siapapun.
                Aku kembali mendengar orang membuka pintu. Aku segera menghampiri, namun itu hanya angin. Aku segera menaiki tangga menuju kamar nenek. Akhirnya, ada sesorang dibalik selimut tempat tidur nenek. Siapa lagi kalau bukan—
Aku membuka selimut itu perlahan. Oh, aku hampir saja terjatuh kaget.
“Nenek.”
“Oh, kau di sini sayang. Nenek tak mendengarmu masuk?”
“Apa nenek sakit?” Aku memegang kening nenek. Panas sekali.
“Kemana saja nenek?”
“Kemarin, aku berkeliling hutan seharian. Dan kelelahan.”
“Kupikir nenek ditangkap serigala.” Air mataku kembali menetes.
“Kemari sayang, ikutlah berbaring bersama nenek. Nenek akan menenangkanmu.”
Akupun ikut berbaring bersama nenek di tempat tidurnya. Air mataku tak juga berhenti. Kepalaku mencoba berbalik dari nenek untuk menyembunyikan air mataku.
Akhirnya, aku sudah tenang.
“Nenek.”
Nenek menatapku sangat tajam.
“Besar sekali matamu.”
“Agar bisa melihatmu lebih baik, sayang.”
Kemudian nenek mengangkat kepalanya. Hendak duduk, aku mengikutinya.
“Nenek, besar sekali telingamu.”
“Agar bisa mendengarmu lebih baik, sayang.”
Dan, nenek tersenyum sangat lebar.
“Dan besar sekali gigimu.”
“Agar bisa memakanmu lebih baik, sayang.”
Lalu, dia mendekat dan lebih dekat.
Tiba-tiba pandanganku pudar, seakan semua yang kulihat tadi dapat tersapu dengan mudah oleh angin yang berhembus. Begitu juga dengan suara yang kudengar. Semuanya berhenti terdengar saat itu juga.Yang ada hanyalah kegelapan.

To be Continued—
By: Lia Ayu Kusumaningrum

1 comment:

Leave a comment, please