Saturday, September 7, 2013
Ajari Aku Pandai Bersyukur Part I
Prolog
Akhirnya setelah mengalami perdebatan dengan orang tuaku, akupun menyerah. Aku bukan saja berhasil dibujuk. Aku juga bersedia menjalani rencana tersebut. Aku sudah cukup dewasa, menurut orang tuaku untuk menyadari situasi. Inilah yang terjadi, dan aku harus menerimanya. Harus menyetujui keputusan yang sudah dibuat orang tuaku, demi kebaikanku.
Ya, aku sadar hal itu demi kebaikanku.
Hanya saja, aku merasa...
***
Ajari Aku Pandai Bersyukur Part I
Bertahun-tahun aku menahan rasa tidak nyaman itu, sejak (lumayan akhir) sekolah dasar. Tidak parah, menurutku. Tapi cukup mengganggu. Segala aktivitasku tidak dapat kujalani dengan baik. Benar-benar mengusik.
Namun aku cukup menahannya.
'Besok juga sembuh.' Itulah harapanku setiap harinya.
Seperti ada sesuatu di situ, sangat sulit untuk pergi. Membuatku kesulitan bernapas. Membuatku ingin mendorongnya sekuatku. Aku tidak merasakan sakit, aku hanya terganggu.
Hal yang kupikir sepele, justru berkelanjutan tahunan. Saat aku duduk di sekolah menengah pertama, aku dikabarkan menderita alergi blablabla (cukup banyak).
Kemudian aku menjalani terapi berkali-kali. Menurut dokter, alergiku terhadap blablabla sudah berkurang, tinggal alergi dingin, debu, dan asap.
Meskipun alergiku berkurang, aku sama sekali tidak merasakan perbedaan terhadap penyakit itu. Seakan terapi medis itu tidak ada hasil.
Apalagi terapi tersebut terus menipiskan biaya keluarga.
Sehingga, aku berhenti menjalani terapi.
Aku pasti kuat. Lagipula, 'besok juga sembuh.' Dan, aku masih tetap hidup meski terganggu penyakit itu. Aku akan mengabaikannya.
***
Ternyata, tidak mudah.
Orang tuakupun mencoba untuk membawaku ke pengobatan alternatif. Aku hampir lupa sudah berapa orang yang kami datangi dengan pengobatannya.
Mulai dari terapi energi dalam, racikan obat alami, jamu tetes, lalu kembali pada obat medis. Mulai dari biaya sumbangan sembako hingga uang ratusan ribu tiap pertemuan. Mulai jarak beberapa meter hingga kilometer. Dan tentunya memakan waktu yang cukup lama.
Apakah aku sembuh dengan perjuangan orang tuaku dan aku, sedemikian rupa?
Kadang, aku merasa sembuh dan normal. Kadang, sesuatu itu kembali mengusik. Apakah itu dapat dibilang sembuh? Apakah itu dapat dibilang perjuangan kami sia-sia?
Tuhan, kenapa penyakit yang tidak cukup parah namun menganggu ini harus sebegini merepotkannya?
arliasworld.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Leave a comment, please